Alea tak pernah sehancur ini. Baginya, ini semua tidaklah nyata. Sangat tidak nyata. Tubuh tak bernyawa Kara terbaring dalam sebuah peti. Sungguh malang nasib gadis ini. Alea tau, Alea memang bukan Tuhan, ia tak akan pernah bisa mengubah takdir, apapun yang akan terjadi, maka itu harus terjadi. Alea hanyalah manusia spesial yang dipilih Tuhan untuk dapat lebih siap dan tegar pada hari yang akan datang.
“maafkan aku, seharusnya aku lebih sigap lagi.” katanya dengan tangis yang tak bisa dibendung lagi. Setidaknya, meskipun manusia biasa tak akan pernah bisa mengubah takdir, Alea ingin menjauhkan Kara sebentar dahulu dari kematian. Selanjutnya, Alea pasti siap. “jangan salahkan dirimu, Tuhan yang sudah menjalankan semua ini, Al. Masih ada aku dan Inez. Kita doakan Kara bersama-sama.” Selanjutnya, mereka berdoa setelah selanjutnya Kara akan benar-benar dibawa ke tempat peristirahatan terakhir.
Alea, Livi, Inez, dan Kara. 4 orang sahabat yang tak pernah sungkan untuk berbagi. Best friend is sharing a cup of hot noodle. Sepertinya filosofi itu memang benar. Mereka masing-masing tau apa kelebihan bahkan kekurangan dari mereka masing-masing. Dari hal yang paling baik hingga paling busuk pun mereka sudah mengetahui dari satu sama lain. Salah satunya adalah Alea. Mereka selain Alea tau kelebihan Alea sendiri. Meskipun pada awalnya mereka memang takut ada di dekat Alea, tapi makin hari rasanya menjauh dari Alea pun tak berpengaruh bagi mereka. Vision atau untuk lebih jelasnya ‘penglihatan’. Jelas, kalian sudah tau apa yang dimaksud penglihatan disini. Untuk disambungkan pada cerita awal, mengerti bukan?.
Ya. Semua itu terjadi begitu saja. Alea yang sedang menikmati sarapannya tiba-tiba ia didera pusing kepala hebat hingga datanglah penglihatan itu. Seorang laki-laki jangkung, berambut pirang, dan parahnya membawa senjata datang mengikuti Kara dari belakang, kejadian selanjutnya, Kara diperk*sa sebelum dibunuh. Mengenaskan. Panik. Alea jadi panik mengetahuinya dan lagi ia tak tau dimana spesifik lokasi Kara berada hingga saat ia akan mencari lokasi sesuai penglihatannya, Livi menelepon, memberi kabar bahwa Kara tewas.
“Hei! Apa yang kau pikirkan, Al? Wajahmu pucat.” “Aku hanya rindu Kara.” jawab Alea seadanya. Karena memang setelah 2 hari dimakamkannya Kara, Alea sering rindu. Alea merindukan sosok tegas dan keibuan dari diri Kara. Ia jadi ingat ketika mereka berempat bepergian, Kara yang akan selalu memberondong banyak bawaan. Alasannya hanya sederhana. “aku hanya ingin menjadikan ini acara yang spesial.” “Akupun juga rindu, Al. Aku yakin Livi pun juga, sure vi?” yang ditanya hanya mengangguk mengiyakan. “Alea, jangan salahkan dirimu. Mungkin Tuhan hanya mengizinkan Kara bersama-sama kita hingga sampai saat ini saja. Aku yakin Kara pasti bahagia disana, Kara orang baik, Al.” Sedetik kemudian air mata keluar dari mata indah Alea hingga Livi yang ada di sampingnya pun langsung dengan sigap menenangkan Alea dalam pelukkan.
“Apakah kalian pernah berpikir hiks sangat amat menderitanya orang-orang sepertiku hiks aku lelah, setiap hari aku harus mendapat penglihatan yang tak ingin kulihat. Gila! Mau mati aku rasanya.!” “Alea! Stop it! kau membuatku muak. Seharusnya kau lebih siap dibanding kami. Kenapa kau selalu menyalahkan kemampuanmu itu? Bahkan kau menyalahkan dirimu! Manusia macam apa kau ini? Seluruh hidupmu penuh drama.”
Penuh drama. Penuh Drama Iya kah?. Apakah hidup Alea memang seperti apa yang Inez katakan? Alea harus tambah bersedih atau malah bersalah?.
“Alea, listen to me. Apakah kau tak melihat kami? Aku dan Livi? Kami ada disini, Al. Kara pun juga bagian dari kami, bagian dari kita. Jangan anggap itu bebanmu sendiri. Ayo kita tetap seperti ini meskipun kita tinggal tiga.” “Kami juga mencintaimu, Al. Ceritakanlah pada kami apa yang kamu keluhkan. Aku dan Inez tak akan pernah bosan mendengarnya.” Dan detik berikutnya, mereka bertiga saling berpelukkan. Seorang gadis berambut sebahu dengan pakaian serba putih dan berwajah pucat terlihat berdiri di samping pintu, tersenyum.
Pagi ini, kegiatan mulai seperti biasanya. Alea juga sudah kembali seperti semula. Kini ketiganya sudah ada di kantin sekolah.
“aku baru saja mendapat kabar dari orangtua Kara, pembunuh Kara sudah ditemukan. Ia ditemukan hampir bunuh diri di rumah gubugnya.” “Seriously, Livi? Oh! Aku tak sabar menantikan hukuman mati pria itu.” Dan cerita mereka berlanjut hingga tiba-tiba Alea terdiam dan tak lama ia terserang pusing hebat. Lagi. Vision itu datang lagi. Siapa lagi yang harus Alea saksikan kematiannya?. Tak lama, Alea pingsan.
“Al? Al? What do you see? Tell us.” Sekarang mereka sedang ada di ruang kesehatan. Alea sudah sepenuhnya sadar dari tidur sesaatnya. Tiba-tiba, tatapannya beralih pada Inez. Alea memegang pergelangan tangan Inez dengan mata yang berkaca-kaca.
“It’s okay, Al. Semuanya akan baik-baik saja. Aku bisa berjaga diri.” Hanya dengan tatapan mata, semuanya sudah jelas. Sudah dapat dimengerti. Mereka tau, Alea tak pernah salah. Ia hanya manusia spesial yang dipilih Tuhan untuk bisa menjadi pribadi yang paling siap diantara yang belum saat vision itu datang. Dan sekarang Alea harus siap kehilangan satu sahabatnya lagi.
“Inez, Inez, jangan pergi!! Tolong, tetaplah disini untuk sementara waktu. Jangan tinggalkan aku!!!.” Livi yang sedang menemani Alea tidur, terbangun karena suara bising dari Alea. “Al.. Al, bangun, ada apa? Kau mimpi buruk?.” Saat ini Alea terjaga dengan keadaan yang mengenaskan. Seluruh tubuhnya berpeluh dan jangan lupakan helaan nafasnya yang terasa berat. “Inez, antar aku, Liv! I want to see Inez now.”
Segera mereka bergegas menuju rumah Inez. Keadaan sudah gelap dan rumah Inez berada lumayan jauh dari rumah Alea. Jalanan malam yang lenggang membuat Livi makin memacu mobilnya. Sebelum sampai di rumah Inez, Livi dan Alea melihat ada segerombolan orang di pinggir jalan.
“Liv, ayo turun. Firasatku mulai tak enak.” Keduanya mulai memutuskan untuk turun. Mendekati kerumunan itu. Satu langkah, dua langkah mereka ambil dengan jantung yang terus berdegup. Mungkinkah ini? Nyatakah ini? Hingga langkah yang ke sekian, Livi dan Alea akhirnya tertegun.
Seorang gadis Berambut pirang Yang memiliki senyum secerah mentari Inez Sahabat mereka. Bagian dari mereka. Terkapar di tanah dengan tubuh berlumur darah, dan keadaannya masih dalam antara hidup atau mati. Helaan nafasnya berat, sangat berat. Hingga kemudian lutut keduanya terasa lemas seperti jelly. Mereka terduduk kemudian, menangis pada Tuhan mengapa harus sahabat mereka lagi.
“AAHHH! INEZ BANGUN! JANGAN BERCANDA! SIAL! JANGAN TINGGALKAN AKU DAN ALEA, TOLONG.!” Alea hanya bisa menangis dan tertegun. Ia sudah tau ini akan terjadi. Tapi entah mengapa, meskipun sudah mengetahuinya tetap sakit rasanya.
“HEI! KENAPA KALIAN HANYA DIAM MELIHAT KAMI? CEPAT PANGGIL AMBULANCE.!”
Tak lama, ambulance datang. Meski mereka tau usaha rumah sakit tak akan berhasil tapi setidaknya biarkan Inez pergi dengan layak. Setelah sampai di rumah sakit, Alea segera menghubungi orangtua Inez. Untungnya keduanya bisa datang dan melihat anaknya untuk yang terakhir kali.
“Ini semua pasti karena anak saya berteman dengan kamu! Jika ia tak membandel, tak mungkin Inez akan berakhir mengenaskan seperti ini! Dasar anak sial! Bakatmu itu sangat merugikan orang lain!.”
Apa lagi yang bisa Alea lakukan saat ini? Hanya terisak. Selalu begitu, panggilan ‘anak sial’ selalu menghantuinya. Selalu berhasil membuatnya terpojok. Tak hanya orangtua Inez saja yang sudah berhasil membuat Alea terpojok, sudah banyak orang yang mengatainya seperti itu hingga olokkan-olokkan itu terputar lagi dalam pikiran Alea seperti kaset tua. Hingga pada saat yang seperti ini, satu-satunya orang yang bisa menenagkan Alea adalah Livi. Siapa lagi jika bukan Livi? Kedua orangtua Alea sudah bercerai dan Alea tidak tinggal dengan salah satu dari mereka. Alea tinggal di rumah neneknya yang sudah meninggal. Jadi, kesimpulannya ia tinggal sendirian. Sesekali, Livi atau Kara akan menemaninya.
“Jika memang hanya untuk mengatai Alea anak sial, itu sudah cukup. Kami permisi, kami akan datang besok pada hari pemakaman.” Setelahnya, Livi segera mengajak Alea untuk pergi dari rumah sakit. Menghindari kata-kata menusuk yang akan keluar dari mulut orangtua Inez lagi.
Sekarang Livi maupun Alea sudah selesai dari pemakaman Inez. Keduanya saat ini sudah mendudukan diri di kursi, di rumah nenek Alea. Tentu keduanya masih dalam keadaan berduka. Bagaimana tidak? Bersahabat sudah lebih dari 14 tahun dan saat ini mereka harus dipisahkan dengan dua dimensi yang berbeda. Yang Alea takutkan saat ini adalah Livi. Bagaimana jika.. jika nanti..
“Livi, tolong jangan pergi. Tetap disini. Aku tak punya siapa-siapa lagi hiks.” Livi hanya memeluk Alea sambil menenangkan gadis itu. Livi tau apa yang dirasakan Alea. Ia paham betul. “Al, berat untuk mengatakan ini. Tapi, lusa aku harus ke Singapura. Kedua orangtuaku..” Belum selesai Livi menyelesaikan perkataannya, Alea sudah didera pusing hebat lagi. Ah! Lagi-lagi ia harus ketakutan lagi. Tak bisakah kelebihannya ini dihilangkan saja?
“Al? Kamu baik?” “Jangan pergi.. tolong.. jangan tinggalkan aku” “Hanya sebentar, Al. Aku janji aku akan baik-baik saja.” Pelukkan yang menenangkan dan juga usapan tangan Livi di kepala Alea membuat Alea sedikit lebih tenang meskipun ada rasa ketakutan juga yang melanda hati Alea saat ini.
Hari ini. Hari yang ditakutkan Alea datang. Hari dimana Livi memutuskan untuk berangkat ke Singapura. Alea tak bisa berbuat apa-apa lagi selain mendoakan yang terbaik. Alea berdoa agar apa yang telah diperlihatkan pada Alea tidak akan pernah terjadi. Semoga semuanya salah.
“Pesawat X dengan tujuan Indonesia-Singapura kehilangan kontak dengan pusat. Saat ini masih dalam proses pencarian” “LIVI!!!!”
Alea berlari mengitari seluruh bandara, mencari tempat informasi pesawat yang ditumpangi oleh Livi. Rasanya benar-benar tak bisa didefinisikan. Pertama, Alea harus kehilangan Kara. Shock berat benar-benar melanda mental Alea. Yang kedua, ia harus kehilangan Inez. Dan sekarang? Oh tidak! Ia tidak mau kehilangan Livi kali ini.
“Maaf, apa pesawat dengan tujuan Indonesia-Singapura sudah ditemukan kontaknya?” “Kami juga sedang sibuk dikarenakan masalah ini, jadi tolong nona tenang, silahkan masukkan nomor ponsel anda, saat ada informasi baru, segera kami beritahu”
Segera tanpa menunggu lagi Alea memasukkan alamat nomor ponselnya. Livi, don’t leave me.
Malam terasa sangat dingin. Rasanya mau mati saja Alea malam ini. Saat ini Alea sedang ada di rooftop rumahnya memandang langit. Alea merindukan mereka.
“Aku rindu kalian. Apakah kalian juga merasakan perasaan yang sama?” air mata itu tak bisa terbendung lagi.
Tiba-tiba, 3 orang gadis berpakaian serba putih dengan bunga melati yang terselip di belakang telinga mereka duduk di samping Alea. Mendengarkan seluruh tumpahan isi hati Alea. Ingin berusaha menenangkan, tapi mereka tau bahwa mereka tak tersentuh lagi, bahkan terlihat.
Ingat perkataan mereka dahulu? “Kami juga mencintaimu, Al. Ceritakanlah pada kami apa yang kamu keluhkan. Kami tak akan pernah bosan mendengarnya.” “Livi, Inez. Ketika Kara meninggal, kalian yang berjanji padaku akan selalu ada untukku. Tapi? Hiks.. semuanya tak terbukti. Hei? Bisakah kalian mendengarku? Tanyakan pada Tuhan, mengapa Ia tak mengambilku juga? Untuk apa aku hidup jika tak punya siapa-siapa lagi.” Alea mengutuk dirinya sendiri. Seluruh dunia rasanya tak ada yang menyayangi Alea setulus dan seiklas ke tiga sahabatnya. Dengan siapa ia akan bersandar nanti? Memikirkan kedua orangtuanya saja sudah malas rasanya. Karena apa? Karena percuma, mereka tak akan peduli. Hey! Masing-masing dari mereka sudah membangun keluarga sendiri.
Usapan lembut angin pada wajah Alea, menghapus air mata Alea. “Aku tau ini kalian. Tetaplah menjadi angin yang terus mendengar keluh kesahku.” Dan tiga gadis tadi, memeluk Alea, meskipun yang terasa hanya angin yang memeluk Alea.
THAT WAS THE THING ABOUT BEST FRIENDS. LIKE SISTERS AND MOTHERS, THEY COULD PISS YOU OFF AND MAKE YOU CRY AND BREAK YOUR HEART, BUT IN THE END, WHEN THE CHIPS WERE DOWN, THEY WERE THERE, MAKING YOU LAUGH EVEN IN YOUR DARKEST HOURS.
End.
Cerpen Karangan: Silvia Bella Blog / Facebook: SiLvia Bella Nama lengkap Silvia More Ken Bella, biasa dipanggil Silvia. Sudah hobby menulis semenjak kelas 5 SD dan masih dilakukan hingga saat ini, kelas 3 SMA. Lahir di Semarang, 16 Oktober 2000.