Senja itu aku duduk di atas sofa kuning keemasan yang hampir berusia 10 tahun tersebut. Hal yang biasa aku lakukan, mungkin setiap hari. “Jangan terlena dengan rutinitasmu yang biasa-biasa saja. Jadilah seseorang yang berpikir menjadi sesuatu yang tidak biasa” kata-kata itu terngiang di benakku. Yang keluar dari lisan orang besar. Tak lain adalah dosenku.
“Ren, kamu bersedia membantuku kan?!” ucap Gyo memecah lamunanku yang begitu singkat itu. Kali itu perbincanganku dengan Gyo lebih dari sekedar rutinitas. Menulis artikel tokoh untuk majalah kampus; inspirasi itu muncul saat sebagian dari kita tak menyadarinya. “Kamu mau mengambil tokoh siapa untuk mengirim artikel ke alamat majalah tersebut?” katanya sambil membolak-balik kertas di hadapannya. “Hemm… mungkin ir. Soekarno” jawabku spontan “Yaah.. pasti karena kamu baca biografi yang di perpustakaan itu kan?” katanya menebak dengan nada kecewa. Aku mengangguk “Lo! Kenapa?! Apa kamu mau memyorot tokoh itu Yo?” tanyaku mengiba berniat mengurungkan jawabanku selanjutnya. Ia berfikir, matanya mendongak menatap langit-langit ruangan. Jemarinya lincah membolak-balik kertas dengan sampul warna biru tersebut, mencari sesuatu. Aku diam memperhatikan.
“Oke, Ren ini cadangannya..” katanya tiba-tiba saat menemukan lembaran dengan kalimat pertama berhuruf kapital semua *KING ABDUL AZIZ*. “King Abdul Aziz?” kataku membaca judul itu mengerutkan dahi. “Seperti pernah dengar tapi..” timpalku sambil mengingat-ingat. “Dia itu orang hebat sama dengan ir. Soekarno, sekarang jadi raja di Arab Saudi.” jelasnya singkat. “Terus..!! Terus..!!” kataku meminta penjelasan lebih detail. “Naahh, dulu itu Arab Saudi dipimpin oleh raja yang..” kalimatnya terputus. Aku yang menyimak sontak bertanya-tanya. “Lo, kenapa diam Yo?! Teruskan!” “Sstt..” jawabnya dengan isyarat sembari mengacungkan jari telunjuknya pas di depan bibirnya. Aku terdiam, berusaha mengerti, sesaat aku faham. Dari kejauhan terdengar suara adzan, suaranya merdu, mengalahkan kesejukan angin di Pantai Parangtritis. Lalu kita sama-sama diam, merebahkan badan di atas sofa, menghela nafas menikmati keheningan itu.
Tak lama aku memberi isyarat lalu beranjak untuk memenuhi panggilan itu. Melangkah menuju Masjid. Senja itu aku dan Gyo memulai. Memulai bertindak untuk sebuah mimpi.
Tak lebih dari 3 hari aku menyelesaikan artikelku. Besok sesuai perjanjian Gyo akan tiba ke tempat ini lebih cepat dari biasanya. Pagi-pagi betul aku sengaja membuka messenger-ku untuk mengirimkan pesan padanya. “Yo, jangan lupa, berangkat jam berapa kamu dari rumah?” kataku membuka pembicaraan di messenger itu. Seperempat jam aku menunggu jawaban, tapi nihil. “Mungkin dia sedang tidak membuka messenger-nya” kataku menduga sembari mengambil salah satu buku bacaan, mengisi kekosongan. Belum genap satu jam aku sudah tertidur.
Kenyataan jauh dari rencana. Aku tertidur lumayan lama, berkisar 3-4 jam-an. Di sekekilingku teman-teman sedang sibuk dengan laptop di hadapannya cukup serius. Tak lama, tiba-tiba salah satu temanku melangkah cepat menuju tempat kita. Nafasnya tersengal-sengal tak beraturan. Matanya berkaca-kaca. “Lo Shya, kenapa?” kataku bersama yang lainnya spontan, lalu mengerumuninya. Bukannya bicara, ia malah menangis, seperti mencoba mengatur nafasnya, menenangkan diri. Sontak keadaan berubah. Lengang, kita menunggu penjelasan darinya. “Sekarang kalian lihat facebook kalian masing-masing. Lihat di beranda postingan orang yang bernama Asyhilla” katanya sambil terisak dengan tangisan yang makin menjadi. Mereka yang membawa laptop segera melakukan intruksi tersebut, menegangkan. Aku mendekat kesalah satu temanku yang sedang membuka postingan itu.
“Astaghfirullah hal adzim, ini bener?” kata seorang tidak percaya menahan tangis di pelupuk matanya. Aku dan kawanku belum menemukan terus memcari, dan.., pantas saja ia menangis. Aku pun ikut terbawa keadaan. Belum percaya berita itu. “Sekarang kita pastikan dulu” kataku segera “Hubungi orang yang bernama Asyhilla itu” timpal kawanku mendukung
Seketika, semua sibuk mencari informasi kebenaran tentang berita itu. Ada yang menghubungi orang itu, mencari berita di google, hingga menghubungi teman di rumah lain. “Aduuh.. Tidak ada jawaban blass” keluh kawanku yang menghubunginya 7 kali lewat FB-nya. 10 menit berjalan, kita terdiam menunggu jawaban dari berbagai pihak.
*ting tang* Suara dering itu terdengar keras di ruangan kita yang sunyi. Bergegas semua mengerumuni asal suara tersebut. “Ada jawaban” kata pemiliknya sembari membuka pesan di messengernya. “Iya kawan-kawan. Kabar yang saya posting itu benar. Saya adalah saudaranya Gyo. Setelah insiden itu polisi langsung menuju alamat rumah yang terdapat di KTP. Sedangkan rumah saya bersebelahan dengan rumah Gyo. Gyo dan ibunya seketika meninggal akibat kecelakaan itu.” sontak seisi ruangan itu berubah, tangisan meluap tak tertahankan.
“Di google sudah muncul” timpal kawanku yang sedari tadi mencari informasi itu. Jelas sekali, insiden itu amat ganas. “Itu Gyo.. itu Gyo..” teriak salah satu kawan yang melihat Gyo bak terlempar jauh dari asalnya, tubuhnya tergeletak di antara batu-batu, tampak darah bercucuran dimana-mana. Aku terisak, pedih seperti mendapat pukulan di dada.
“Lebih baik kita ke rumah Gyo untuk lihat keadaannya.” kata salah seorang memberi ide pada kami yang hampir buntu. Bergegas kami bergerak.
Tak genap 30 menit rencana berjalan lancar. Sewaktu sampai di rumah Gyo ternyata mayat Gyo dan ibunya masih diinapkan. “Bagaimana ini.. ada yang tau dimana jasad Gyo dan ibunya diinapkan..?” tanya salah seorang temanku dengan nada panik. “Baiklah kita tanya saja pada Asyhilla, bagaimana?” sahut salah seorang lagi.
“Katanya, Gyo diinapkan di rumah sakit umum Mojokerto” kataku sambil menghadapkan layar handphoneku ke arah teman-teman. “Ayo semua cepat berangkat” timpal salah seorang kawanku
Di perjalanan semua khusyu’ dengan bacaan masing-masing. Lalu aku menghubungi dosenku untuk datang ke RS umum Mojokerto. Sekitar 20 menit kami sampai di tempat parkir RS. Kusuruh teman-teman untuk masuk terlebih dahulu, aku diluar untuk menunggu dosenku. Kira-kira 10 menit kemudian dosenku datang dengan motornya.
“Kenapa ini Ren?” tanya beliau ingin tau. Aku terbata-bata menjawab pertanyaan itu. “Gyo pak. Gy.. Yo.. Sudah berpulang ke Rahmatullah” jelasku singkat “Inalillahi wa inna ilahi rojiun (ucap beliau mengelus dada) sudah, jangan ditangisi. Kasihan dia, lebih baik sekarang kita berdo’a” lanjut beliau menenangkanku.
SENJA itu.. Senja yang tiba setelah detik itu membuatku belajar. Belajar bahwa semua titipan akan kembali pada pemiliknya.
Cerpen Karangan: Ulil Abshar Fatoni Blog / Facebook: Ulikk