Sudut lorong ini begitu sepi, kursi yang berjejer di setiap sudutnya juga tak berpenghuni, sepanjang ruangan kelas yang dilewati belum ada manusia yang kutemui, hanya ada beberapa petugas kebersihan yang tampak sedang membersihkan sisa-sisa daun yang berguguran dari dahannya. Kulihat jam yang melingkar di tanganku, pukul 06.30 wib. Benar saja aku sepagi ini berada di sekolah.
Aku duduk mengisi kekosongsn kursi di depan kelasku, mengeluarkan ponsel untuk mengusir kebosananku. Cukup lama, hingga suara cempreng itu mengalihkan pandanganku. “Ami, ini elo? Wih kesambet jin di mana loe bisa sepagi ini dateng ke sekolah? Wah bisa jadi berita paling update nih, Ami Kiara, siswi kelas XI.A SMA Bhakti Budi yang suka telat masuk sekolah, hari ini jadi orang pertama yang dateng ke sekolah” tawa Ira begitu nyaring di telinga Ami, hingga Ami di buat geleng-geleng mendengarnya. “Ami, loe dateng duluan? Nggak salah nih? Ini beneran loe kan?” Yeti teman sekelas Ami juga sangat terkejut melihat Ami yang sudah duduk di depan kelas. “Iya bener Ami lah Ye, nggak mungkin dong kembaran Ami, Ami kan nggak punya kembaran” Dina ikut nimbrung menertawai Ami. “Udah selesai nanyanya? Perlu juga gue jawab? Dari pada kalian sibuk ngurusin gue, mending kalian masuk dan duduk manis nungguin lonceng” Ami memasang muka cuek terhadap teman-temannya. “Tanpa loe suruh pun kita juga masuk kali, Ira bilangin ya sama sahabat loe ini, pagi-pagi itu sarapan nasi, bukan sarapan sensi. Nggak lucu kali ntar kalau sendawa yang keluar emosi, bisa kebakar ni kelas ntar” Yeti terlihat geram dengan raut wajah Ami.
Yeti berlalu ke dalam kelas, membanting tasnya di atas meja. Ia begitu kesal, karena sepagi ini sudah jadi pelampiasan emosi Ami. Sedangkan Ira masih duduk di sebelah Ami.
“Loe kenapa mi, kayaknya kesel banget pagi ini?” Ira meraih pundak Ami. “Nuri mana? Kok nggak bareng sama loe?” tanya Ami dengan wajah datarnya. “Nuri udah beberapa hari ini nggak bareng lagi sama gue berangkatnya mi, dia udah ada temen baru, kesel banget gue sama dia, tiap gue ajak bareng, dia selalu bilang nggak bisa, apa salahnya coba berangkat bertiga, empet gue tau nggak” Kini Ira yang berceloteh kesal kepada Ami.
Ami hanya diam, tanpa membalas sepatah katapun celotehan Ira, matanya menatap dua orang siswi yang sedang tertawa bersama di ujung koridor kelas, pandangannya yang datar kini berubah menjadi tajam, ada raut wajah tak suka terpampang di wajah ovalnya. Ira yang tak direspon oleh Ami menoleh ke arah Ami, ia mengikuti arah pandangan Ami, ia melihat Nuri dan Rima yang sedang bergurau menuju kelas. Nuri yang melihat Ami dan Ira duduk di muka kelas tersenyum lalu mampir sedangkan Rima memasuki kelas terlebih dahulu.
“Ami, tumben loe udah ada di sekolah, biasanya juga telat, ada angin apa loe berangkat pagi, ngeduluin gue lagi” tawa Nuri kepada Ami. “Gue? Gue berangkat pagi, cuma mau liat aja, seberapa bahagianya sahabat gue yang dapet temen baru, dan ternyata bener-bener bahagia ya. Gue bener kan ra?” Ami menjawab pertanyaan Nuri dengan sedikit senyum tipis di sudut bibirnya. Lalu berlalu masuk ke dalam kelas. “Kalau gue sih males ngeliatnya” Ira menyambung ucapan Ami sambil menatap Nuri dan segera berlalu menuju kelas. Nuri terkejut mendengar jawaban Ami, ia beranjak memasuki kelas, tak ia dapati Ami di sebelahnya. Ami berpindah duduk di sebelah Dina.
Tak berapa lama bel masuk pun berbunyi. Dan para guru pun sudah memasuki kelas. “Stt.. Ira, Ami marahan sama Nuri?” tanya Yeti membisiki Ira. “Ira, jawab dong, loe pelit banget sih” yeti masih saja bertanya kepada Ira “Yeti, ada apa” tanya Bu Silvi “Nggak papa kok buk, pena saya jatuh buk” Yeti mecari-cari alasan agar tak ketahuan dengan Bu Silvi. “Benalu tetap saja benalu, tak akan berubah jadi pohon yang lebat, hanya suka mengusik ketentraman pohon yang sedang bersemi, mematikan tanpa perasaan. Ya dia si benalu.”
Ami menatap kesal ke arah dua siswi itu, siapa lagi kalau bukan Nuri dan Rima. Tak ada inisiatif untuk meminta maaf sedikitpun kepada Ami. Jangankan untuk minta maaf, mungkin sadar akan kesalahan saja tidak. Sebab terlalu sibuk dengan sesorang yang baru, yang lebih nyaman di bahu.
“Ami jadi loe ditinggalin nih sekarang, wih keren banget ya dia, nggak inget apa perjuangan loe, yang mati-matian belain dia pas dituduh nyuri dompet di kelas, dan sekarang dia mati-matian juga jadi kacang yang lupa kulitnya, salut gue. Dia bener-bener keren” Yeti berkoar menjadi kompor diantara Ami dan Nuri. “Loe nggak usah repot-repot buat repost cerita lama, kadaluarsa tau nggak, udah ada yang baru, yang lebih dari segalanya” Ami menjawab lepas kata-kata Yeti yang sejujurnya ingin ia sampaikan pula kepada Nuri.
Nuri terdiam dari gelak tawanya yang awalnya nyaring di dalam kelas, kini matanya menatap raut wajah Ami yang begitu kesal, matanya mulai berkaca-kaca dengan sayatan kata-kata Ami, bibirnya gemetar, ingin sekali rasanya ia menghampiri Ami. Tapi apa daya semua akan percuma, Ami pasti akan berlalu darinya.
Hari berganti, sudah beberapa hari ini Ami berlalu lalang di depan Nuri, hanya berlalu lalang, tanpa ada seulas kata, senyum apalagi tawa. Ami masih dengan kebiasaan lamanya, datang terlambat ke sekolah, seperti pagi ini.
“Ami, ami, kamu ini mau jadi apa sih? Datang selalu terlambat, kamu ini perempuan, tapi tingkah laku kamu seperti laki-laki, ngidam apa mama kamu, sampai kamu jadi seperti ini” Bu Anis memarahi Ami karena datang terlambat lagi dan lagi. “Ibu tanya aja sama mama saya, tapi sepengetahuan saya sih, mama memang dulu lagi pengen anak cowok tapi lahirnya saya, jadi kayak gini deh bu, ibu kalau nggak suka, bilang aja ke mama saya, biar di review di tahun 2000 pas ngelahirin saya, atau mau saya telfonin mama saya bu?” Ami menjawab kata-kata Bu Anis dengan santai dan sontak seisi kelas tertawa mendengar jawaban Ami. “DIAM! Kamu ini ngejawab terus ya, sudah duduk kamu, pusing ibu, dikasih hukuman juga masih diulangi” Bu Anis sudah menyerah dengan tingkah laku Ami “Makasih ya ibu cantik, semoga Allah ngebales semua kebaikan ibu, walaupun banyak yang nggak baiknya sih buk, tapi kali ini saya ngucapin makasih buk” Ami mencium punggung tangan Bu Anis dan kembali ke tempat duduknya.
“Gila lo mi, guru loe gituin” Dina terkekeh berbisik kepada Ami.
Jam pelajaran terus berlalu, Bu Anis memberikan pengumuman di penghujung waktu. Bahwa akan ada camping yang diadakan khusu untuk kelas XI di Hutan belakang sekolah. “Anak-anak mohon perhatiannya sebentar, ibu akan beri pengumuman, bahwa kita akan mengadakan camping tahunan khusus untuk kelas XI untuk bulan ini, jadi pesertanya dari kelas A-D, kalian boleh memilih kelompok kalian sendiri-sendiri, masing-masing beranggotakan 6/7 orang dan harus ada 2 laki-laki di dalamnya, Ira nanti tolong kumpulkan nama-namanya ya sama ibu, ibu tunggu sampai pulang sekolah di kantor” Bu Anis menjelaskan panjang lebar dan berlalu keluar kelas.
“Ami, Ira, kita sekelompok yuk” Dina antusias mengajak Ira dan Ami. “Iya, yuk” Radit dan Gibran ikut nimbrung di depan meja Ami. “Satu Dua Tiga Empat Lima Enam, satu lagi siapa?” tanya Yeti
Ami menoleh ke arah Nuri yang tengah sibuk juga dengan kelompoknya. “Ri, loe sekelompok kan sama gue” tanya Rima pada Nuri. “Kenapa? Loe bingung ya? Mau sekelompok sama gue atau Ami? Udahlah Ri, Ami itu udah nggak peduli sama loe, tu liat, dia udah banyak isi kelompoknya, loe mau ntar kalau nggak dapet kelompok, atau gabung sama kelompok sebelah?” Rima meyakinkan Nuri agar masuk ke dalam kelompoknya. “Yaudah deh, gue…” “Nuri..” yeti lantang memanggil Nuri. “Loe, mau gabung nggak di kelompok kita, masih ada kosong satu nih?” tawar Yeti. “Terserah loe ri, kalau loe mau dicuekin disana, nggak papa sih, loe disana aja” Rima berbisik kepada Nuri. “Gue.. Gue.. udah sekelompok sama Rima, maaf ya yet” Nuri menjawab dengan terbata kepada Yeti. “Jadi loe lebih milih sekelompok sama Rima, dari pada dua orang sahabat loe ini?” tanya Dina yang begitu terlihat kesal. “Nggak gitu kok din, gue …” Nuri yang belum selesai berbicara di sela oleh Ira. “Udah udah, CATET nama kita, gue mau anter ke ruang guru” Ira menekan kata-kata nya karena terlalu kesal dengan Nuri. Ami hanya diam dengan segudang amarah yang masih ia simpan rapi di dalam dirinya. Ia tak menyangka, begitu cepat perubahan sahabatnya yang satu itu. Entah kenyamanan seperti apa yang ia dapat dari teman barunya itu, hingga Nuri benar-benar lupa untuk pulang.
Cerpen Karangan: Azzah Tri Sundari Blog / Facebook: Azzah Afraisma / Azzah Afraisma Azzah Tri Sundari, saya adalah perempuan Jawa pecinta senja. Saya lahir di sudut desa kecil dengan keluarga yang sederhana, mimpi saya adalah menyenangkan pembaca yang menikmati karya saya. Instagram @azzahtrisundari Facebook “Azzah Afraisma”