Rima mengumpulkan nama-nama kelompoknya kepada Ira yang masih duduk bersama dengan kelompok campingnya. “Ni Ra” Rima meletakkan selembar kertas di meja Ira. “Dasar, benalu” ucap Dina saat Rima berlalu, Rima pun berbalik. “Loe ngatain gue?” tanya Rima tak terima dengan omongan Dina. “Oh jadi loe ngerasa kalau loe itu benalu, bagus deh, karna loe itu emang benalu” Dina tak mau kalah. “Maksud loe apa?” kini Rima mendorong bahu Dina. “Eh, santai aja loe, nggak usah dorong-dorong sahabat gue” Yeti mendorong bahu Rima karena tak terima dengan perlakuan Rima kepada Dina. “Oh ini sahabat loe, yang mulutnya cablak nggak bisa dikemas ini, miris banget sih loe” Rima membela diri. “Biarin aja sahabat gue mulutnya cablak, yang penting gue punya sahabat, emang nya elo, yang nggak punya siapa-siapa dan terobsesi pengen punya sahabat, sampai-sampai sahabat orang lain loe ambil juga, dasar benalu” Yeti dengan sinis menjawab omongan Rima.
Ami yang mendengar adu mulut itu hanya diam, dia tidak ingin kata-kata panasnya menambah suasana panas dalam ruangan kelas yang tak begitu besar itu. Sedangkan Nuri mencoba menarik Rima untuk keluar dari kelas. Ira menatap sinis Nuri dengan Rima yang berlalu keluar kelas. “Kau datang layaknya tamu diundang, padahal kehadiranmu benar-benar tak diingikan, benalu”
Pagi ini semua murid sudah berkumpul di hutan untuk melaksanakan Camping, mereka satu persatu mulai mendirikan tenda untuk bermalam, tak terkecuali Ami dan teman-temannya. “Ih Dinda yang bener dong pegang kawatnya, roboh lagi kan jadinya, gimana sih loe” Ira terlihat kesal dengan tingkah Dina. “Sorry sorry, iya nih gue pegang bener nih” Dina meminta maaf sambil tertawa melihat ekspresi kesal Ira. “Yaelah loe pada lama banget ngediriin tenda gitu aja, sini-sini, loe pegang sana Gib” Radit dan Gibran mengambil alih tenda Ira.
Sementara di tenda lainya, “Akhirnya siap juga” Nuri mendudukkan tubuhnya di pintu tenda.
“Nuri, Rima sudah siap tenda kalian?” tanya Bu Silvi “Sudah dong buk” Rima menjawab antusias. “Ya sudah, kalian berdua jadi perwakilan kelompok untuk cari kayu bakar ya, yang lain udah cari, oh ya sekalian bilangin ke kelompok Radit ya, ibu harus cek yang bagian dapur, tolong ya Rima, Nuri” Perintah Bu Silvi. “Males banget tau nggak kesana, apalagi ketemu sahabat-sahabat loe itu, ih” Rima menggerutu kesal. “Udahlah rim, mending kita kesana, nanti dimarahin Bu Silvi lagi kita, cuekin ajalah mereka ngomong apa, yang penting loe bukan benalu, tapi loe sahabat gue” Ucap Nuri kepada Rima “My Best Friend, My Lovely Friend, I Love You” Rima membesarkan suaranya sambil memeluk Nuri.
Ira dan Ami yang melihatnya hanya terdiam, sementara Dinda dan Yeti berceloteh panjang lebar, Radit dan Gibran hanya geleng-geleng melihat masalah cewek yang benar-benar rumit ini.
“My Best Friend, My Lovely Friend Uekkk” Yeti dan Dina memuntahkan kata-kata yang diucapkan Rima. “Mi, loe diem aja gitu, Nuri bareng sama tu benalu, ih kalau gue, gue labrak tu orang, seenaknya aja jadi benalu, emang dia fikir dia siapa, anak presiden? Main sesuka hatinya aja” Yeti sepertinya sangat geram kepada Rima. “Udah nggak usah kompor” Radit menasehati Yeti dan Dina. “Udahlah biarin aja, kita lihat aja, seberapa lama nyamannya sama Rima, nggak perlu ngotorin tangan untuk nyingkirin benalu, kalau pohon itu kuat dia juga nggak akan bisa dimatikan gitu aja sama benalu, sebaliknya kalau dia lemah, mungkin dia akan mati dan nggak akan gue kenang” Ami menjawab omongan Yeti dengan tenang namun begitu menusuk.
Rima dan Nuri berjalan kearah tenda Ami, mereka hendak menyampaikan pesan Bu Anis. “Gue kesini cuma mau kasih pesen dari Bu Anis aja, nggak mau cari ribut sama kalian. Radit, tadi Bu Anis pesen sama gue, perwakilan dua orang untuk nyari kayu bakar” ucap Rima kepada Radit. “Gue juga males cari ribut sama benalu, benalu kan muka tembok, nggak punya perasaan, jadi gue males berurusan sama orang yang nggak punya perasaan” Dina menjawab kata-kata Rima dengan jelas.
“Loe kenapa sih, ada masalah loe sama gue, soal Nuri, eh denger ya, gue nggak pernah ngambil Nuri dari mereka berdua, Nuri emang mau jadi sahabat gue dengan kemauannya sendiri. Nuri itu udah nggak betah temenan sama genk yang sok-sok an kayak mereka berdua” Rima menunjuk Ira dan Ami. “Maksud loe apa?” Ami yang ditunjuk seperti itu tak diam dan langsung menanyai Rima. “Apa omangan gue kurang jelas, apa perlu gue ngomong pake toa?” Rima kini ikut menatap tajam tatapan Ami. “Harusnya loe bilang ke kita, soal ketidak sukaan loe tentang sikap kita, tentang dimana letak sok-sok an kita, gue fikir kita sahabat, tapi ternyata gue yang terlalu buru-buru nganggep loe sahabat” Ami beralih menatap Nuri. “Gue nggak nyangka loe kayak gini ri, gue nggak paham dimana letak sok-sok an kita, setelah semua yang kita lakuin ke loe, loe lupa kejadian di kelas, gimana Ami belain loe mati-matian sampe rela diskors, dan ini balasan loe?, gila nggak nyangka gue” Ira benar-benar kecewa dengan Nuri. “Maaf, tapi gue fikir, gue nggak pantes jadi sahabat loe berdua, maafin gue” Nuri menunduk tak berani menatap wajah Ami. “Maaf loe bilang?” Ira benar-benar ingin sekali melayangkan tangannya ke pipi Nuri tapi ditahan oleh Ami. “Udah ra, nggak usah buang-buang tenaga, loe boleh pergi ri, dan gue harap keputusan loe ini bukan sesuatu yang nantinya loe sesalin seumur hidup loe, memilih benalu, dari pada pohon asli loe” Ami masih dengan tatapan tajam nya ke Nuri. “Dan buat loe, loe jaga baik-baik sahabat gue yang udah loe rampas, mungkin bahu loe lebih nyaman buat dia, thanks udah jadi benalu di persahabatan gue, dan thanks udah nunjukin sosok penghianat, semoga kalian bahagia” Ami menepuk bahu Rima dan Nuri.
“Gibran, temenin gue cari kayu bakar” Ami berjalan meninggalkan mereka yang masih mematung, mencerna setiap kata-kata Ami yang begitu sangat menusuk. “Ami gue ikut” Ira berlari menyusul Ami.
“Sumpah, nggak nyangka gue sama lo ri, kelihatanya aja polos, tapi ternyata” Dina geleng-geleng melihat Nuri. “Udah cocok kok Din, Sahabat dan Benalu, eh bukan sahabat lagi tapi pengkhianat, cabut yuk” Yeti dan Dina meninggalkan Rima dan Nuri.
Kehadiranmu seperti benalu, yang seenaknya saja menggrogoti persahabatanku dengan tak berperasaan, kau merambat pada batang terindang dan mematikannya lalu kau tinggal begitu saja. Apa kau begitu bangga pada apa yang kau lakukan, terus menjadi benalu yang merusak kedamaian, selalu membiarkanmu bergelayut datang tak diundang serta pulang tak berpamitan.
Aku begitu paham kenapa dirimu mengincar sesuatu yang rindang, agar kau terkesan paling pintar, mengambil sosok baik yang telah kuperjuangkan dengan baik, ku akui kau paling hebat soal menempelkan akarmu pada pohon, mencuri kehidupannya, memanfaatkannya untuk mu agar tetap hidup, lalu setelah itu kau biarkan saja rindangnya hilang, daunnya gugur, dan batangnya kering dan dengan rasa tidak bersalahmu kau hinggap lagi bak tamu yang ditunggu di pohon rindang lainya.
Wahai manusia benalu, suatu hari nanti kan kau dapati karma dari bumi, kau bertahta sendiri di sebuah pohon yang ditinggal mati. Maka berubahlah sebelum semua itu terjadi, menjadi manusia seutuhnya, mungkin memang tak semenyenangkan saat kau jadi benalu. Tapi setidaknya, kau tidak dikutuk sumpah oleh pohon yang mati akibat ulahmu.
Cerpen Karangan: Azzah Tri Sundari Blog / Facebook: Azzah Afraisma / Azzah Afraisma Azzah Tri Sundari, saya adalah perempuan Jawa pecinta senja. Saya lahir di sudut desa kecil dengan keluarga yang sederhana, mimpi saya adalah menyenangkan pembaca yang menikmati karya saya. Instagram @azzahtrisundari Facebook “Azzah Afraisma”