“Teman-teman! Sini deh!” seru Fajrin melambaikan tangan padaku, Rudi, dan Tia.
Kami pun menghampiri Fajrin yang duduk di pojok kelas sambil memegang gitar kesayangannya. Aku merasa heran dengan sikap Fajrin yang tidak seperti biasanya. Tingkah konyol dan nakalnya tidak tampak hari ini. Ia terkesan menjadi lebih pendiam dan pemurung.
“Kesambet setan apaan lu? Tumben lu jadi pendiam gitu,” goda Tia. “Hus! Lu itu ngomong apaan sih? Orang lagi serius malah lu ajak bercanda,” tegur Rudi. “Please deh, Tia. Kalau mau ngomong itu lihat-lihat dulu dong situasinya kayak gimana,” ujarku. “Hehe… iya deh, iya. Maafin gua,” ujar Tia. Fajrin tertawa kecil. “Iya, iya. Enggak apa-apa kok, Tia. Gua maafin.”
“Eh, omong-omong, mau ngapain lu panggil kita kemari?” tanya Rudi. “Teman-teman, gua pengen nyanyi bareng kalian. Gua yang petik gitarnya,” ujar Fajrin. “Boleh juga,” ujar Tia.
Fajrin memetik gitar dan kami pun mulai bernyanyi. Lagu ‘Tinggal Kenangan’ yang dipopulerkan oleh Gaby terdengar mengalun sendu dari suara gitar yang dipetik Fajrin. Kami pun sangat menikmati nyanyian kami. Tapi, setelah cukup lama bernyanyi, entah apa yang membuat lagu ini terdengar ganjil. Aku begitu terbawa perasaan sampai dadaku terasa sesak dan air mata pun mengalir deras di pipiku. Kulihat, Fajrin tampak begitu meresapi petikan gitarnya. Namun, Rudi terlihat tidak nyaman dan menangis terisak-isak.
“Udah, udah! Gua enggak kuat lagi buat nyanyiin lagu ini,” ujar Rudi terisak-isak. “Loh?! Emangnya kenapa? Lagunya kan enak,” kata Fajrin heran. “Mendingan kita ganti sama lagu lain aja. Soalnya gua juga ikutan baper,” timpalku sambil menyeka air mata. “Ya elah, kalian itu gimana sih? Nyanyi aja baper,” ujar Tia yang tampak berkaca-kaca. “Ya udah, nanti gua ganti lagunya,” ujar Fajrin tersenyum. “Tapi, sebelumnya gua mau ngomong sesuatu sama kalian.” “Emangnya lu mau ngomong apaan? Kenapa lu jadi kelihatan serius gitu sih?” tanya Tia mengernyitkan kening. “Gua mau bilang, kalau misalkan esok atau lusa kalian lihat hidung gua ditutup sama kapas, itu berarti gua lagi pilek. Nah, kalian cariin obatnya buat nyembuhin gua. Dan, kalau kalian lihat gua pakai kain kafan, itu berarti gua lagi sembunyi. Kalian harus berusaha buat nemuin gua gimana pun caranya. Tapi, kalau kalian lihat gua dikubur sama tanah merah, itu berarti gua udah enggak ada lagi di dunia ini. Kalian enggak usah cariin gua lagi, cukup doakan gua aja dari jauh,” jelas Fajrin.
Seketika, kami tercengang mendengar perkataan Fajrin. Tia tampak gusar dan berkata, “lu itu ngomong apaan sih? Kayak lu bakalan mati besok aja. Udahan aja deh bercandanya. Enggak lucu tahu!” ujar Tia. “Gua enggak lagi bercanda, Tia. Gua serius!” ujar Fajrin menegaskan. “Gua enggak peduli! Pokoknya lu harus balik lagi kayak kemarin-kemarin. Kalau lu serius kayak gini, gua jadi males temenan sama lu,” ujar Tia kesal.
Fajrin terdiam sejenak. Tak lama kemudian, ia menatap kami satu per satu. “Teman-teman gua pesan sama kalian semua. Kalian itu jangan terus-terusan bolos sekolah. Kasihan orangtua kalian yang banting tulang siang malam buat masa depan kalian. Sayang banget kan kalau hasil jerih payah orangtua kalian enggak dihargai? Patuhi orangtua kalian selagi masih ada, karena doa mereka sangat berarti buat hidup kalian. Gua juga wanti-wanti sama kalian, jangan sampai kalian ninggalin salat lima waktu, sebab kita semua enggak tahu kapan ajal itu datang.”
Kami terdiam mendengar perkataan Fajrin. Tidak biasanya ia membicarakan hal serius seperti itu. Aku tidak menyangka, siswa paling nakal di sekolah ternyata bisa berubah drastis hanya dalam satu hari. Tapi, aku bersyukur Fajrin bisa berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
Keesokan harinya, aku dan Tia tidak melihat Fajrin di sekolah. Kami mencarinya di kantin tempat Fajrin biasa nongkrong, tapi kami tidak menemukannya. Setelah sekian lama berkeliling di sekitar sekolah, akhirnya kami mendapat kabar dari Rudi kalau Fajrin sudah tiada. Ayah Fajrin berkata pada Rudi bahwa Fajrin meninggal karena jantungnya terbakar akibat kecanduan minuman keras. Kami tersentak mendengar pernyataan dari ayahnya Fajrin. Isak tangis pun pecah di antara kami bertiga. Kami tidak menyangka kalau kemarin adalah hari terakhir kami bersama Fajrin.
Cerpen Karangan: Ira Solihah