Namaku Fauziah Ashari, umurku 17 tahun tepat saat sahabat karibku menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit, akibat penyakit kanker yang dideritanya sejak kecil.
Dialah Maharani Saputri, sosok sahabat sekaligus motivasi terbesarku dalam menghadapi masalah demi masalah dalam hidup ini. Allah telah merekam skenarionya dengan jelas, alurnya begitu mengesankan bagi siapa saja yang mengalaminya, tak terkecuali aku sendiri.
Perjuangan Ara untuk melawan penyakitnya adalah kenangan paling penting dalam persahabatan kami, sebab darinya banyak pelajaran yang dapat kuambil, kalau kita nggak boleh menyerah, nggak boleh gampang putus asa, harus tetap optimis walau sesulit apapun keadaannya, harus tetap yakin kalau semua akan indah pada waktunya, pada saat yang tepat. Dan semua itu aku saksikan sendiri, Ara tak pernah menyerah untuk berjuang melawan penyakitnya, senyuman tulus tak pernah hilang dari wajahnya setiap kali aku membesuknya di rumah sakit, jiwanya begitu tegar, walau kutahu kondisinya semakin hari semakin lemah, sebab kankernya sudah mencapai stadium akhir, kemungkinan untuk sembuhpun sangat kecil, tapi dialah Ara, yang takkan semudah itu menyerah dengan keadaannya.
Ia percaya kalau Allah sudah berkehendak pasti akan terjadi, begitupun ia percaya, kalau Allah ingin ia sembuh pasti dia akan sembuh, tapi kalau Allah ingin dia beristirahat, maka iapun siap kapanpun Allah akan mencabut nyawanya, sebab yang kutahu walau dalam keadaan lemah sekalipun ia tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslimah yang baik, tak pernah ia tinggalkan ibadahnya pada penciptanya.
Sempat juga ia mengalami koma selama dua bulan dan dinyatakan sadar saat matahari menyapaku di hari ulang tahunku yang ke 17.
Setelah dokter menyatakn kalau kondisinya sudah stabil. Aku mengajaknya bicara panjang lebar, kuceritakan semua aktivitasku selama ia mengalami koma, namun dia hanya menanggapinya dengan senyuman, aku paham mungkin tubuhnya masih lemas. Tapi saat aku sudah selesai bercerita, tiba-tiba dia mengenggam tanganku dan mengatakan sesuatu yang aku sendiri bingung harus bagaimana, karena kulihat wajahnya mulai terlihat pucat, hatikupun juga mulai cemas dengan kondisinya, aku berpikir akan memanggil dokter, tapi dia menahan pergelangan tanganku dan menyuruhku untuk duduk kembali.
“Asha jangan pergi dulu ya, mungkin ini saat terakhir Ara bisa melihat wajah cantik Asha, Ara udah nggak punya banyak waktu lagi…” ia berhenti sejenak, kuperhatikan ia mulai kesulitan bernafas, akupun tak kuasa untuk menahan airmataku lagi. “Udah Ra, kamu ngomong apa sih, Ara harus tetap hidup, Ara harus selalu ada di samping Asha…” di mengusap airmataku yang meluncur dengan bebas di kedua pipiku. “Pokoknya nanti kalau Ara pergi Asha nggak boleh sedih, apalagi terpuruk, allah sangat membenci hambanya yang berlarut-larut dalam kesedihan ya, pokoknya Ara sayang banget sama Asha..” “Asha juga sanyang banget sama Ara.” lantas kurengkuh dia dalam pelukanku, tapi kurasakan suhu tubuhnya semakin menurun, lalu dia membisikkan sesuatu di telinga kiriku.
“Tolong sampaikan terima kasih Ara sama Pak Burhan dan Bu Hafsah ya, karena telah merawat dan menjaga Ara selama ini, dan terima kasih juga Sha karena sudah mau jadi sahabat sejatinya Ara, Ara pamit dulu ya.” Kudengar ia melantukan dua kalimah syahadat dengan lancar, dan setelah itu tak lagi kurasakan hembusan nafasnya, Ara telah pergi untuk selamanya.
Dan inilah akhirnya, ternyata Allah lebih memilih untuk Ara beristirahat, ia tersenyum indah dan wajahnya putih bersih walau terlihat pucat, aku begitu kagum padanya, dialah Maharaniku, dialah sahabat dunia dan akhiratku.
Aku berharap allah mengabulkan do’aku agar aku bisa reuni di syurga bersamanya, kau selalu dalam hatiku sahabat, kau tak akan pernah terganti.
Cerpen Karangan: Alfi Maulida Blog / Facebook: Maulida