Kring… Kring… Kring… “Yeee…” Bel pulang disambut girang anak anak. Heran, sudah kelas 11 masih suka bel pulang. Seperti anak SD saja.
“Risa, yuk pulang.” Ajakku sambil beranjak dari kursiku. “Ayo. Tapi ke kantin dulu yah, pengen minum nih.” Risa justru mendahului langkahku. Dasar si manis, semakin cantik saja kau kalau seperti itu. Tak sadar kekagumanku pada teman sejak kecilku ini semakin meningkat. Tapi tentu saja aku tak menjadikan dia sebagai pacar. Bukan aku tak berani. Hanya kurasa kebersamaan kami akan selalu ada jika sebagai sahabat. Aku tak mau ambil resiko merusak kebersamaan karena kami pacaran. Ya tahu sendiri, pacaran kan pasti ada putusnya. So, mending kita sahabatan saja terus sampai waktunya kami bisa bersama seumur hidup dalam ikatan pernikahan. Ah, lagi lagi aku membayangimu yang tidak tidak manis.
“Nino! Ayolah, cepet jalannya, lama deh.” Suaranya mengagetkan lamunanku. Ternyata aku tertinggal agak jauh dengan Risa. “Eh, loe yang kecepeten jalannya.” Aku percepat langkahku mengejarnya. Dia membalikkan badan namun langkahnya tak henti menuju kantin, “kan gue udah bilang, gue pengen minum. Ntar kalo gue dehidrasi terus pingsan gimana? Loe mau tanggung jawab?” Ia masih saja berjalan mundur. Aku terkekeh melihat tingkahnya. “Jalannya yang bener, ntar nabrak orang lagi.” “Makanya kamu cepet dong jalannya.” Dia membalikkan badannya agar tak berjalan mundur. Ketika ia membalikkan badan ternyata di depannya ada seorang laki laki yang sedang berjalan. Aku tak sempat memberitahu Risa, alhasil menabraklah Risa pada orang itu.
“Auu!!!” Risa terjatuh, aku segera berlari untuk menolongnya. “Loe nggak apa-apa Ris?” Aku agak khawatir. Segera aku bantu Dia untuk berdiri. “Sorry mba, nggak sengaja. Sorry ya bro, doi loe jatuh gara gara gue. Sorry banget.” Laki laki itu berkata dengan penuh sesal. Tapi aku dan Risa justru berpandangan keheranan. “Hahaha…” tawa kami terkeluarkan. Laki laki itu jadi bengong karena kami tertawa. Risa menghentikan tawanya, “Iya nggak apa apa. Tapi asal loe tau aja, Dia bukan pacar gue.” “Oh, gue kira kalian pacaran.” “Nggak, kita ini sohib.” Kataku sambil merangkul pundak Risa.
“Kenalin, gue Rio, murid baru disini.” Laki laki itu mengulurkan tangan kanannya padaku. “Nino.” Aku menjabat tangannya.”Ini Risa, sohib gue, bukan pacar.” Aku meledeknya. Risa dan Rio berjabat tangan. Ada yang tidak biasa dari tatapan Rio pada Risa. “Oh anak baru rupanya, pantesan kaya asing. Kelas berapa?” Tanya Risa pada Rio. “Sebelas bahasa 2.” “Berarti kelas kita sebelahan dong. Gue sama Nino sebelas bahasa 1.” Rio mengangguk mengangguk dengan pemberitahuan dari Risa. “Kalo gitu kita cabut dulu ya Ri, semoga betah sekolah disini.” Kataku sembari menepuk pundak kanan Rio. “Oke, thanks.”
Kami berlalu meninggalkan Rio dengan tujuan yang masih sama, kantin. “Cakep juga si Rio.” Deg. Aku kaget mendengar ucapan Risa. Tapi sebisa mungkin kubuat sikap biasa saja. “Loe suka?” Tanyaku dengan nada meledek. Walaupun sebenarnya ada rasa penasaran juga. “Mmm… Nggak sih, biasa aja.” “Ooo biasa aja…” nada bicaraku semakin menunjukkan ledekan. “Iih kenapa sih, nggak percayaan banget!” Risa kesal. “Siapa yang nggak percaya?” “Loe si, ngomongnya kaya nggak percaya gitu.” “Ah, perasaan loe doang kali, gue mah biasa aja ngomongnya.” Aku melebarkan senyumku. “Tapi, kalo Dia suka sama loe, gimana?” Kulirik Risa, Dia tersenyum, “Ya gue mau aja sih, Hehe…” “Itu berarti loe suka sama Dia. Sok bilang nggak lagi.” “Manusiawi lah No, kadang kadang timbul cinta gitu.”
Aku sudah melihat tatapan aneh Rio pada Risa, ternyata Risa juga suka padanya. Oh Tuhan, seperti sudah sangat jelas apa yang kan terjadi. Tapi apa yang bisa kuperbuat. Melarang Risa? Aku bukan pacarnya. Tapi aku tak mau Dia terluka karena cinta nantinya.
Keesokan harinya ketika aku dan Risa hendak pulang sekolah, kami menjumpai Rio di depan ke kelas kami. “Oh iya. Rio tunggu sebentar ya.” Kata Risa terburu buru lalu menarikku kembali ke dalam kelas. “Kayaknya loe bener No.” “Bener? Tentang?” Aku bingung. “Kayaknya Rio suka sama gue!” Risa agak girang. Aku hanya terdiam entah apa yang kurasa. Risa melanjutkan, “Semalam Dia chat gue, dan Dia ngajak pulang bareng!” Girangnya kian meningkat. Namun aku justru menjadi setengah melamun. “No!” “Eh, iya, terus gimana?” Aku agak terkejut. “Ya hari ini gue mau pulang bareng Rio. Loe nggak apa apa kan pulang sendirian” “Ya elah, kaya sama bocah aja sih Loe. Ya nggak apa apa lah gue pulang sendirian.” “Ok! Good, sekarang gue pergi dulu yah. Bye!” Risa meninju kecil lengan kiriku lalu melangkah keluar kelas. Aku tersenyum mengiringi langkah Risa. Benar saja dugaanku. Mereka berdua saling suka. Baiklah, mulai sekarang kusiapkan mental untuk menerima jika mereka akan pacaran. Karena yang utama bagiku adalah melihat kebahagiaan Risa.
Di hari kemudian, terjadi pula hal yang sama. Rio dan Risa akan pulang bersama. Hari demi hari terus seperti itu. Raut wajah Risa pun semakin ceria setiap harinya. Aku pun tersenyum bahagia melihatmu gembira, Risa. Hingga hampir satu bulan kedekatan Risa dengan Rio berjalan.
Suatu hari, kulihat ada yang berbeda dengan Risa. Ia terlihat murung sejak pagi. Hingga bel pulang, Risa terlihat enggan beranjak dari kursinya. Aku mendekat, berharap mendapat jawaban apa yang sebenarnya ia alami. “Loe kenapa sih Ris, gue perhatiin dari pagi murung terus.” Aku duduk disampingnya. Ia memandangku sejenak. Lalu kembali seolah pikirannya kosong. “Loe nggak pulang sama Rio?” Ia hanya menggeleng lemah menjawab pertanyaanku. “Lagi ada masalah?”
Setelah beberapa detik kulontarkan pertanyaan itu, kepala Risa terjatuh Di pundak kiriku. Ku mulai mendengar ia menangis. Aku mengelus elus kepalanya berharap ia bisa tenang. “Gue putus sama Rio. Ternyata pacar Rio bukan cuma gue.” Risa bercerita dengan suara yang terputus putus karena ia sedang menangis. Sudah kuduga. Putus cinta. Inilah yang kutakutkan dulu. “Ah cengeng banget si loe, gara gara cowok gitu aja nangis.” Aku berusaha menghiburnya. “Kan gue sayang sama dia.” “Sayangnya manusia biasa kadang ada kadang ngilang gitu aja. Udah lah jangan dibikin pusing. Kan masih ada gue disini.” Aku terus mencoba menghiburnya, “Pulang yuk, ntar gue beliin permen biar loe nggak nangis lagi.” Risa mengangkat kepalanya, menghadap ke arahku, “emang gue bocah.” Wajah penuh air matanya terlihat kesal. “Hehe.. Emang loe nggak inget dulu pas kecil? Pas loe jatuh dari sepeda nangis nangis, terus gue tolongin. Eh, malah loe minta permen lolipop yang lagi gue makan. Terus pas lagi di taman kanak kanak..” “Udah udah…” Risa menghapus sisa air matanya lalu tersenyum, “nggak usah diungkit lagi, kan itu dulu.” “Ya kali aja masih kayak gitu sampe sekarang.” Aku tersenyum meledek. Namun senyum di hatiku tulus melihat Risa kembali bisa tertawa.
“Udah lah, yuk pulang. Ntar kita disangka mesum lagi di kelas berduaan kayak gini.” Risa beranjak dari kursinya. Memang suasana sudah sepi karena anak anak lain sudah pulang. Akupun berdiri menyusul Risa. Kami lalu melangkah keluar kelas.
“Jadi gimana? Mau gue beliin lolipop nggak?” Aku meledek. “Apaan sih!” Risa terlihat menahan tawa namun disanding dengan kekesalan. “Gitu dong senyum. Jangan nangis terus. Kan gue juga tenang kalo liat loe senyum.”
Aku mulai melihat senyum tulus kembali ada pada Risa. Syukurlah. Aku senang bisa membuatmu ceria setelah kau alami luka, Risa.
Cerpen Karangan: Diwi HS Facebook: Diwi Haffsarri Nama: Diwi Hafsari Kelas: XII MIPA 1