Pagi itu suasana kelas terdengar sangat riuh. Beberapa siswa perempuan sibuk menggosip. Aku meletakkan tas kemudian menuju kerumunan anak perempuan.
“Hai! Ada gosip baru ya?” tanyaku tiba-tiba. “Iya nih Sya, kabarnya, ada anak yang mau pindah ke sekolah ini, tepatnya di kelas kita!” jawab Silvi panjang lebar. “Dia, perempuan atau laki-laki?” tanyaku lagi. “Gak tau sih, moga-moga aja sih perempuan” jawab Silvi kemudian.
Bu Anis masuk. Satu per satu siswa bubar menuju bangku masing masing. Begitu pula denganku. “Assalamu’alaikum Wr.wb.” ucap Bu Lia memulai pelajaran.
Pelajaran yang cukup membosankan bagiku, pelajaran IPA. Tapi tak hanya bagiku, mungkin teman-teman juga merasakannya. Karena ada beberapa siswa yang sibuk menguap bahkan hampir tertidur. Untuk pelajaran IPA rasanya jarum jam bergerak sangat lama, seperti setahun lamanya.
Kriiing!!! Kriiing!!! Kriiing!!!, bel istirahat berbunyi. Saatnya mengisi perut setelah setahun rasanya terkurung dalam kelas. Aku berjalan sendiri menuju kantin. Sambil menunggu pesananku, tanpa disadari aku melamun. Terbayang pada lamunanku, jika aku memiliki seorang sahabat. Ke kantin bersama, duduk berdampingan, bersenda gurau bersama, dan saling bercerita. Segalanya bersama. Menurutku itu menyenangkan.
“Eeh, Mbak Aisya, siang-siang jangan melamun, ini pesanannya” ujar Bu Sari membuyarkan lamunanku. “Iya, Maaf Bu,” sahutku kaget. “Iya, ndak papa. Ayo cepat dimakan, waktu istirahatnya 10 menit lagi lho,” kata Bi Iyem. “Makasih bi,” jawabku singkat.
Selesai makan, aku kembali ke kelas. Pelajaran Matematika akan segera dimulai. Aku cukup menyukai pelajaran Matematika walaupun rumus-rumusnya membuat kepalaku botak. Tap, tap, tap.
Suara langkah Bu Vivi perlahan terdengar dari dalam kelas. Kelas hening seketika. “Assalamu’alaikum Wr.wb.” ucap Bu Vivi sambil tersenyum. “Ada PR anak-anak?” katanya lagi. “Ada bu!!!” koor kami serempak.
Setelah PR dibahas Bu Vivi mengadakan evaluasi. Beberapa soal evaluasi membuat otakku meledak. Setelah pelajaran Matematika selesai, waktunya makan siang dan shalat. Kemudian pelajaran SBK dimulai. Pada pelajaran SBK kami hanya diminta menggambar bebas. Kemudian pulang.
Sesampainya di rumah aku teringat pada siswa yang akan pindah ke kelasku. Apakah dia laki-laki?, atau perempuan? Huh sudahlah, kenapa aku harus memikirkannya?
Seminggu berlalu. Gosip baru, datang. Ada yang bilang kalau dia orang kaya. Ada juga yang bilang kalau dia itu istimewa. Aku jadi semakin penasaran.
Pagi itu aku datang agak telat. Bu Vivi guru Matematika sekaligus wali kelas kami masuk ke kelas. Seorang anak bertongkat berjalan di belakangnya. Sepertinya dia adalah siswa yang akan pindah ke kelasku. Apa yang istimewa darinya? Hanya seorang gadis dengan sebuah tongkat di tangan kanannya.
“Kenalkan, namaku Clarissa Olivia. Panggil saja aku Lissa. Semoga keterbatasanku ini tidak menjadi halangan kita untuk berteman,” katanya “Terima kasih Lissa. Silahkan kamu duduk di sebelah sana,” ucap Bu Vivi
Kebetulan saja, bangku di sebelahku kosong. Jadi, Lissa duduk di sana. Ia tersenyum padaku. “Hai! Namaku Aisya Kamila, panggil saja Aisya,” ujarku sambil mengulurkan tangan. “Owh, halo!” jawabnya sambil menjabat tanganku.
Tibalah waktu istirahat. Aku bergegas menuju kantin. Langkahku terhenti saat melihat Lissa yang kesulitan berjalan. Aku merasa iba, kemudian kubantu ia dan kuajak ke kantin bersama. Aku merasa ada aura persahabatan di antara aku dan Lissa. Mulai saat inilah aku dan Lissa selalu bersama. Tanpa perlu mengatakannya pada Lissa aku merasa telah menjadi sahabatnya. Kurasa Lissa juga merasakan apa yang kurasakan.
Keterbatasan fisik tidak menjadikan penghalang untuk bersahabat. Justru dari itulah aku bisa belajar untuk menghargai orang lain, juga saling melengkapi satu sama lain. Semoga Lissa dapat menjadi sahabat terbaikku. Begitu pula sebaliknya.
Sekarang aku dan Lissa menjadi semakin dekat. Aku sering main ke rumahnya, bahkan menginap di sana, begitu pula Lissa, Ia juga sering melakukan hal itu di rumahku. Orangtua kami juga saling mengenal. Ayahku adalah rekan kerja Papanya Lissa, jadi kami sudah sangat dekat. Bahkan bisa dibilang seperti kerabat. Aku senang sekali. “Semoga Aku dan Lissa bisa manjadi sahabat selamanya” itu yang selalu Kupikirkan.
Cerpen Karangan: Khulaimi Blog / Facebook: Memy Khulaimi