Kampus akan mengadakan sebuah acara workshop, dan aku menjadi salah satu panitianya. Karena acara itu diadakan malam hari, mau tidak mau harus nginap di kampus. Hari itu aku kurang beruntung, kondisi tubuhku tidak bersahabat ditambah lagi harus melakukan ini dan itu untuk persiapan nanti malam. Akhirnya aku pingsan saat acara mau mulai, terpaksa aku dibawa ke ruang UKS. Disana benar-benar tidak ada yang menemaniku, karena temanku yang lain sibuk mempersiapkan segalanya, ditambah lagi dengan tidak adanya aku pasti sangat sibuk sekali.
Terpaksa aku menghubungi Radit untuk membawakanku makanan. Karena seharian penuh aku belum makan apa-apa. Tidak lama kemudian Radit datang membawakan sekotak bubur ayam dan sebotol air putih. Meskipun aku merasa merepotkan Radit, tapi sama siapa lagi kalau bukan sama Radit. Dia sahabat yang slalu ada buat aku selama ini, ya meskipun nyebelin.
“Sya lo baik-baik aja kan?” Tanya Radit khawatir. Terlihat jelas saat ia melihatku terbaring lemah. “Gue baik-baik aja ko, cuman kecapean doang” ucapku “Syukur deh, oh ya nih gue bawain lo bubur. Makan ya?” “Makasih ya Dit, jadi ngerepotin lo?” “Iya sama-sama, kaya sama siapa aja? kalau ada apa-apa lo bilang aja ke gue. Lagian rumah guekan dekat dari sini!”. Radit begitu perhatiannya sama aku, terlebih ia mau menjagaku di UKS.
Sudah hampir tengah malam Radit masih terjaga, menjagaku yang sudah tertidur lelap sejak tadi. Saat aku sadar, namun aku masih memejamkan mataku karena terlalu berat untuk membukanya. Tapi tiba-tiba Radit memegang tanganku, entah apa yang mau Radit lakukan, aku bingung. Sampai akhirnya Radit mengucapkan kata-kata yang tak sempat aku pikirkan.
“Sya, gue sayang sama lo?” Radit benar-benar mengucapkan kata-kata itu. Radit pikir saat itu aku benar-benar tertidur lelap, mangkanya ia tidak ragu mengatakan sayang kepadaku, padahal aku sudah lama tersadar. Saat itu Radit berbicara sendiri dan menceritakan semua perasaannya padaku. Membuatku benar-benar tidak percaya, ‘mengapa Radit menyayangiku?’ batinku.
Setelah lama Radit memandangku dengan terus memegang tanganku dengan kedua tangannya. Tiba-tiba Radit mencium keningku, membuatku tak bisa apa-apa. Kalau misalkan aku terbangun, mungkin keadaannya akan jauh lebih canggung. Aku tidak ingin merusak persahabatanku, mungkin dengan pura-pura tidak tahu jauh lebih baik. Itulah mengapa aku berusaha tidak terbangun dari tidurku.
Jam 12 malam, akhirnya acara workshop telah selesai. Temanku Ina kemudian menemuiku di UKS, untuk menemaniku. “Radit, ternyata ada kamu” Tanya Ina heran “Eh Ina” Radit kaget, dan langsung melepaskakan tanganku yang sejak tadi dia pegang. “Iya, kata Meisya dia tadi pingsan. Mungkin dia kecapean ya? apalagi seharian dia belum makan apa-apa, jadi aku kesini bawain dia bubur. Saat aku kesini gak ada yang jagain, jadi aku jagain dia disini” sambung Radit salah tingkah.
“Oh gitu, makasih ya udah jagain Meisya, Tadi kami sibuk jadi gak bisa jagain Meisya, Untung ada kamu, makasih ya Dit?” Ucap Ina. “Iya sama-sama, kalau gitu aku pulang dulu ya?” Izin Radit “Oh iya, gak usah khawatir sekarang ada aku kok yang jagain. Jadi kalau mau pulang, pulang aja! Sekali lagi makasih ya?” “Iya sama-sama, aku pulang dulu ya?” Setelah Ina mengiyakan, Raditpun langsung pulang.
Ketidakpercayaanku terhadap Radit membuatku selalu kepikiran. ‘Mungkinkah? Ah mana mungkin?’ gerutuku dalam hati. Masih belum percaya atas perasaan Radit kepadaku, mungkin Radit hanya sayang kepadaku sebagai seorang sahabat. Ah membuatku bingung. Tak lama seseorang membuyarkan lamunanku yang sejak tadi terus kepikiran Radit.
“Heeeeeyy, bengong aja. Awas tar lo kesambet?”. Tiba-tiba Radit mengagetkanku. “Ih dasar lo, bikin gue jantungan tau?” Kesalku “Lo udah sembuh?” Tanya Radit. “Alhamdulillah agak baikan ko, kalau lo gak bawa gue makanan. Pasti gue udah mati sekarang” candaku. “Ih lebay, buktinya lo masih idup sekarang. Lagian kalau mau ngapa-ngapain makan dulu, tau rasa kan akibatnya?” “Iya bawel” Aku berusaha tidak merasa canggung
“Sya, Minggu besok ada acara gak?” Tanya Radit. “Emm, gak ada. Kenapa emang?” Tanyaku heran. “Kita jalan yu?” Ajaknya “Kemana?” “Ke pantai aja gimana? Kita kan sudah lama gak jalan bareng” ucap Radit. “Ya udah” jawabku “Bener ya, tar gue jemput ya?” Akupun mengiyakan.
Hari Minggu tiba, jam 8 pagi Radit sudah sampai dirumahku. Tanpa butuh waktu lama aku sudah siap dengan rapih, kitapun langsung jalan. Sesampainya di pantai kita langsung mencari view yang bagus untuk foto-foto. Beberapa jam kemudian kitapun beristirahat dibawah pohon yang rindang di pinggir pantai, dengan disuguhkan pemandangan yang indah.
“Sya?” Tanya Radit tiba-tiba. “Ya?” Jawabku sambil terus melihat pantai tanpa menoleh kearah Radit. “Eeem, aku sayang sama kamu Sya?” Seketika aku melihatnya heran. “Hem, hahahaha ada-ada aja lo?” Jawabku berusaha mengalihkan pembicaraan. “Sya, aku serius, kamu mau gak jadi pacar aku?” Radit berusaha meyakinkanku.
Namun aku malah tidak mempedulikan kata-katanya barusan, aku hanya tidak ingin keadaan menjadi canggung. Namun tiba-tiba aku merasa kepalaku pusing lagi. “Dit pulang yu,” Ajakku. “Kok pulang?” Tanya Radit heran, Radit berpikir aku hanya mengalihkan pembicaraannya barusan. “Kepala gue pusing lagi” jawabku “Ya udah kita pulang aja” Raditpun mengiyakan permintaanku.
Sebelum jalan, tiba-tiba Radit membuka sweaternya. “Sya nih pake, biar gak kepanasan?” Tanpa basa-basi lagi aku langsung memakainya. Saat di perjalanan kepalaku benar-benar pusing, aku hanya menunduk di balik punggungnya dan akhirnya Radit menyuruhku untuk memberikan tanganku.
“Tanganmu mana?” Tanya Radit “Buat apa?” Tanyaku heran. “Udah mana sinih?” “Iya?” Aku langsung mengulurkan tangan kiriku. “Satunya lagi?” Suruh Radit lagi, yang membuatku bingung.
Ternyata Radit mengepalkan kedua tanganku untuk berpegangan. “Senderan aja Sya? Kepala kamu pasti pusing” suruh Radit lagi. “Iya” jawabku. Meskipun agak sedikit canggung, tidak ada salahnya jika kulakukan. Sepanjang perjalanan aku bersandar dibalik punggungnya sambil memeluknya. Kupikir itu hal yang wajar, karena Radit adalah sahabatku.
Setelah kejadian itu, Radit semakin perhatian seperti halnya pada kekasih. Padahal status kita memang bukan, karena aku tidak menjawab ‘iya ataupun tidak’. Namun entah mengapa perasaanku semakin hari semakin berbeda. Ku tau ini mustahil, sejak awal aku tidak memiliki perasaan apa-apa pada Radit. Namun waktu mengubahku untuk memiliki perasaan khusus terhadapnya.
“Dit, sebenarnya kamu nganggap aku apa sih?” Tanyaku penasaran. “Kamu sendiri nganggap aku apa?” Radit malah tanya balik, membuatku tak bisa menjawab apa-apa. “Aku nganggap kamu, seperti kamu nganggap aku” ucap Radit lagi. Membuatku semakin bingung. ‘jadi kalau aku nganggap Radit pacar, berarti Raditpun sama dong’ batinku.
Semenjak itu hubunganku dengan Radit benar-benar seperti halnya sepasang kekasih. Tanpa ragu Radit selalu memanggilku.’sayang’, meskipun tidak ada kepastian status yang jelas. Namun aku tidak pernah mempermasalahkan itu semua. Yang jelas hubunganku dengan Radit baik-baik saja. Kupikir statusku memang jelas, aku sudah menerimanya dengan perasaanku.
Tapi kenyataan memang bukan seperti yang kupikirkan. Semakin lama semakin aku menghindar dari Radit, bukan karena aku tidak mencintainya. Justru aku menghindar karena aku sangat mencintainya, tak banyak alasan. Aku hanya merasa malu saat bertemu ataupun bersama dengannya. Rasanya jantungku ingin meledak saat bersamanya. Entahlah, kutau aku memang seperti itu.
Aku kehilangan Dito karena aku sering menghindari untuk bertemu dengannya. Tak memberikan waktu sekedar bersamaku, mungkin itu alasan Dito meninggalkanku. Dan memilih untuk bersama orang yang slalu ada untuknya. Mau tidak mau aku harus rela kehilangan Dito, karena kesalahanku sendiri.
Dan itupun terjadi padaku lagi, lagi-lagi aku menghindari Radit. Tak ada pertemuan bahkan sekedar bertemu dan berbincang seperti dulu lagi. Membuat Radit melakukan hal sama seperti apa yang dilakukan Dito padaku. Setelah ku tau, tanpa ada penjelasan dari Radit sendiri. Aku langsung memutuskan hubungan tanpa kata putus, hanya dengan menghindar dan putus kontekan.
Karena sudah cukup untuk kali ini, aku sangat benci pengkhianat. Tak ada yang perlu kuperbaiki dari hubunganku dengan Radit. Dia mungkin mengerti apa maksudku, Radit tau kalau aku benci pengkhianat, sungguh benci. Akhirnya Radit membiarkanku seperti yang kumau. Sungguh ini sangat menyakitkan bagiku, kehilangan orang yang aku cintai sekaligus sahabat yang aku sayangi.
Cerpen Karangan: Siti Nurlaeli Blog / Facebook: Siti Nurlaely Nama Siti Nurlaeli, Tempat/Tgl Lahir di Lebak, 10 Desember 1997.