Kisah yang dituliskan olehnya sangat membosankan. Banyak kata-kata yang dia tulis tidak bisa kumengerti, apalagi susunan tulisannya begitu jelek dilihat. Namun, ia dikenal sangat pintar dan setiap tulisannya diapresiasi oleh banyak orang. Ya! Dia adalah Dila, si rangking satu di sekolah. Banyak yang tertipu oleh prestasinya, aku pun awalnya juga begitu, sangat mendukungnya. Tapi itu dulu. Sekarang aku tidak menyukainya dan kesal dengannya. Tidak ada yang tahu tentang ini, kecuali kita berdua saja, aku dan si Dila.
Cerita ini diawali saat aku duduk dibangku kelas 1 Sekolah Dasar. Sekolah yang sederhana, dindingnya hanya berlapis kayu, bangku dan meja sudah rusak-rusak, dan sekolah yang jauh sekali dari perkotaan. Sekolah yang hanya ada di desa halamanku.
Aku saat itu adalah anak pindahan dari kota ke desa. Dengan alasan yang tidak masuk akal, karena kedua orangtuaku ingin pindah hidup di perdesaan. Yang kata orang, desa adalah tempat yang sejuk, bebas dari polusi, dan masyarakatnya tentram. Aku dulu juga berpikir seperti itu, dan aku pun setuju aja untuk pindah karena saat itu juga masih kecil.
Hari berikutnya, tepat hari senin pagi. Ini adalah awal aku mulai sekolah di sekolah baru. Aku yang saat itu dengan raut wajah senang tak kepalang, aku menyuruh Ayah untuk cepat-cepat ke sekolah baru. Meski, setelah sampai sekolah, awal mula kisah ini pun mulai terlihat.
Sesampainya di sekolah, aku pun memasuki kelas yang akan aku tempati. Wali kelas, siswa-siswa di kelas menyambutku dengan senang.
“Anak-anak, kita mempunyai teman baru nih.., ayo Nak, perkenalan.” kata Bu Guru menenangkan kelas. “Hai teman-teman! Perkenalkan aku Ida Lestari, panggil saja aku Ida. Salam kenal.” kataku dengan percaya diri. “Baik Ida, selamat datang. Silahkan duduk di bangku belakang sebelah Dila ya.” kata Bu Guru memberitahu. “Iya Bu…”
Setelah selesai perkenalan di depan kelas, aku dengan semangat duduk di bangku kosong tersebut yang diberitahu oleh Bu Guru.
“Hallo… kamu Dila ya?” sapaku padanya dengan senyuman. “Ha..Halloo..” jawabnya gugup “Hehe, aku Ida. Salam kenal ya!” kataku sambil memberi salam kepadanya. Namun… “Hai, kau Ida? Aku Dian, salam kenal ya.” balas Dian tiba-tiba, yang duduk di depan bangku aku. “Eh iya..!” kagetku terhadapnya.
Selama pelajaran pertama berjalan dengan lancar. Bel istirahatpun berbunyi. Murid-murid pun berhamburan kelas dengan semangat. Ada yang ke kantin, toilet, ataupun ke perpustakaan. Aku yang masih baru, hanya di dalam kelas duduk di bangku bersama Dila juga. Tetapi…
“Eh Ida, yuk kita ke kantin!” ajak Dian yang mau beranjak dari bangkunya. “Ee…eh.. iya.., Dila kau mau ikut?” kataku dan sambil mengajak Dila yang dari tadi diam saja. “Ida, dia tidak mau tau diajak. Kamu saja yuk,” ajak Dian yang cepat-cepat menggeret lenganku. Ada apa ini sebenarnya?
Sesampainya di kantin, telihat suasananya sangat ramai. Dari kelas manapun menjadi menyatu di kantin, sehingga, kantin menjadi desak-desakan dan tidak muat. Untung aku dengan Dian langsung membeli makanan yang ada dan langsung membayarnya.
“Ida, kita duduk dulu yuk disitu.” kata Dian setelah membayar. “Oke.” aku pun mengiyakan. Lalu kita berdua duduk yang diberitahu Dian tadi.
“Oya, Ida, kamu tidak takut sama Dila?” tanya Dian tiba-tiba. “Hah? Emangnya dia kenapa?!” kagetku, pasti ini sedang ada rumor. pikirku saat itu. “Tidak apa-apa sih, tapi, dia itu kalau diganggu sama ditanya langsung marah-marah. Jadi sih, teman-teman di kelas takut padanya.” kata Dian menjelaskan. “Ouhh.., maklum lah. Kan dia sedang diganggu, wajarlah marah. Sudah ah, gapapa. Yuk, kita bisa menemaninya dan bertanya padanya.” jawabku yang tidak percaya. “Gak ah Ida, kamu saja yang jadi temannya. Awas loh, kamu dibenci satu kelas!” Semenjak kata-kata terakhir Dian itu, aku pun mengabaikan perkataan dan bisikan yang aneh-aneh seperti itu.
Aku pun dengan senang hati berteman dengan Dila sampai saat ini. Ternyata ia terlihat baik kok, orang-orang saja yang menilainya dengan buruk. Ia sering membantuku bila kesusahan, sering main ke rumahku dengan senang hati, dan lain-lain.
Yah…, akhirnya aku dulu berpikir seperti itu. Berpikir positif untuk teman baikku apalagi sudah aku anggap sahabat sejati sampai sekarang ini. Namun, kepercayaan itu, lama-kelamaan kisah ini sirna ataupun hilang bagai ditelan bumi.
Aku mendapati dirinya sedang menelepon seseorang untuk membunuhku di suatu saat. Tidak tahu kenapa ia akan membunuh seseorang. Apalagi, itu adalah sahabat sejatinya sendiri. Ya! sejak saat itu, aku pun memutuskan untuk tidak ada lagi hubungan kontak dengannya dan menjauh dari hadapannya.
10 tahun lamanya aku sudah tidak memikirkannya dan sudah melupakannya untuk kehidupanku. Namun, ingatan masa lalu yang sudah aku lupakan kini bangkit kembali. Ia, Dila, datang kembali dalam kehidupanku. Ia sekarang adalah teman satu jurusan aku di kampus. Di kampus ia sudah dianggap sebagai anak berprestasi dan disukai banyak orang. Dan suatu hari, ia melewatiku dengan sombong dengan berkata….
“Hai, bertemu lagi… Hidup itu Tanpa Arti kawan!” Ucapnya dengan nada yang menjengkelkan dan tatapannya yang sinis sekali. Aku tidak tahu apa maunya itu, manusia yang aneh.
Cerpen Karangan: Salma Nur Hanifah Hai, saya Salma Nur Hanifah. Terimakasih yaa.., telah membaca karanganku. Semoga kalian suka. Jangan lupa follow instagramku yaa… @salmaxxhan