Angin berhembus kencang mengibar-ngibarkan gorden jendela kamar saya, sejenak saya melemparkan pandangan dari buku yang sejak tadi menyita waktu saya. Baru saja hendak beranjak menutup jendela, tanpa aba-aba hujan menyerbu disertai angin yang memburu, dalam hitungan detik membanting jendela kamar saya.
Tanpa mempercepat gerakan saya sedikitpun, dengan enggan saya melepaskan kacamata saya lalu beranjak menuju jendela. Langit tampak mendung, awan gelap menggantung. Di seberang jalan saya melihat seorang penjual es krim keliling berteduh dengan wajah murung. Wajar saja, mana dia tahu hujan akan turun di musim kemarau pertengahan tahun. Saya meraih daun jendela dan segera menutupnya. Petir menggelegar dengan angkuhnya, kilat menyambar-nyambar memamerkan tariannya.
Saya duduk di tepi tempat tidur, menatap pada hujan yang sedang deras-derasnya. Saya tak pernah suka hujan dan bau tanah yang ditinggalkannya, saya tak berteman pula dengan kilat dan petir yang seringkali bergandengan dan menimbulkan kegelisahan.
Entah apa yang membawa lamunan saya pada sosok Bapak yang tiba-tiba sudah mendiami benak saya. Bapak tampak melayang-layang di udara, sementara saya hanya bisa membelalak tak percaya. Bayangan Bapak mengunci tubuh saya, tetapi menggali ingatan saya akan rupa Bapak. Bapak tersenyum hangat seperti biasa, membentuk kerutan-kerutan halus yang tidak mengurangi kesan bersahabat dari wajah Bapak. Alisnya yang tipis memutih senada dengan rambutnya yang seiring bertambahnya hari semakin sering berguguran. Bapak menatap saya penuh kerinduan, lelaki manapun tak pernah membuat saya ingin tenggelam ke dalam bola mata teduh seperti kepunyaan Bapak.
Ada hubungan apa antara hujan dengan Bapak? Mengapa Bapak muncul ditengah lamunan tentang hujan? Bapak tidak benci hujan seperti saya, Bapak juga tidak mencintai hujan seperti kakak yang dulu selalu bersorak girang ketika hujan menyapa. Atau apakah disana Bapak tengah menggigil kedinginan dibalik kuburnya yang basah dijatuhi hujan? Saya harus berbuat apa agar Bapak tetap merasa hangat ditengah hujan yang tidak bersahabat?
Saya tersentak. Bayangan Bapak tak lagi tampak. Seketika ingatan saya mundur pada peristiwa belasan tahun silam, kembali pada memori masa kecil yang takkan pernah tenggelam. Saya dan kakak perempuan saya seringkali membuat keributan, entah hanya karena berebut makanan atau cubit-cubitan diluar batas kewajaran. Sudah bisa dipastikan akan ada salah satu pihak yang kemudian meraung-raung kesakitan, apakah memang benar merasa kesakitan atau hanya malu menanggung kekalahan. Setelah itu Bapak akan datang dengan raut wajah siap menelan, tanpa omelan menjewer telinga saya dan kakak di kiri dan kanan.
Saya dan kakak dibiarkan berdua di teras rumah sebagai hukuman. Pintu bagian depan dan belakang dikunci dari dalam dengan sedikit suara bantingan, tak ada celah untuk saya dan kakak menyelinap masuk tanpa ketahuan. Saya dan kakak yang sedang bermusuhan saling membuang pandangan. Hanya sedikit jarak memisahkan, tapi kami berlagak dibatasi lautan. Lama-lama saya dan kakak merasa bosan, tanpa ada kata berbaikan kami mulai tertawa cekikikan.
Mentari kembali ke peraduan, senja perlahan menyelimuti. Tak ada tanda-tanda Bapak memanggil kami masuk dan membukakan pintu bercat merah bata itu. Butiran-butiran air menetes dari langit, hujan disertai bunyi guruh riuh membuat saya dan kakak berangkulan. Saya mulai menangis ketakutan dan kakak bersusah payah menenangkan. Saya membenamkan kepala saya dalam pelukan kakak, sesekali sesenggukan karena rasa takut yang berlebihan. Lalu kakak menggedor-gedor pintu, suaranya parau memberanikan diri meminta ampun dan mengakui bahwa sejak awal dialah alasan kami berdua harus diasingkan di teras rumah. Tangannya yang sedikit lebih besar dari tangan mungilku tidak melepaskan genggamannya.
Dari dalam terdengar suara anak kunci diputar, diikuti oleh suara pintu yang dibuka. Kepala Bapak mendongak, saya dan kakak menghambur dalam pelukan Bapak. Bapak memeluk saya dan kakak bersamaan, sambil sesekali menahan senyum yang susah payah disembunyikan. Ibu muncul dari belakang Bapak, dan tertawa menyaksikan pemandangan yang kami suguhkan. Ah… kakak. Apa kabarnya dia sekarang? Bertahun-tahun tak bertemu, baru kali ini saya merindukan kakak kembali. Seperti apa dia sekarang? Saya benci kakak yang tak kunjung datang di hari Bapak dimakamkan, padahal siang itu hujan turun mengiringi kepergian Bapak kembali ke tanah. Saya yang sejak lama membenci hujan saja setia bertahan mengantar Bapak menuju peristirahatannya yang terakhir. Saya menanti kedatangan kakak, berharap kakak menggenggam tangan saya ditengah hujan seperti dulu. Cara itu selalu berhasil membangkitkan keberanian atas separuh jiwa saya yang hendak menyerah, tapi ternyata kali itu saya harus berjuang sendirian. Bagaimana bisa kekecewaan kakak pada Bapak mengalahkan kecintaan kakak pada hujan dan hubungan darah daging antara Bapak dan kakak? Kakak bertahan pada prinsipnya, memusuhi Bapak sampai tak lagi ada di dunia.
Bapak, hujan dan kakak. Mendadak sore saya bewarna kelabu, segelap cuaca dibalik jendela. Bapak, mengapa datang disaat hujan begini? Adakah yang hendak Bapak sampaikan? Mengapa saya belum mampu mengartikan kedatangan Bapak tadi? Bapak tidak adil! Membuat saya harus berlinang air mata merindukan Bapak, padahal sudah susah payah saya menata kehidupan untuk bahagia dalam kesendirian tanpa Bapak.
Hujan, bisakah datangkan kakak sekali saja untuk temani saya? Tak terhitung banyaknya hujan yang harus saya lewati dengan menyimpan kerinduan melaluinya bersama kakak. Saya ingin menatap hujan ditemani kakak, sembari sesekali mengupas kenangan betapa seringnya dulu Bapak mengunci saya dan kakak di teras rumah yang kemudian akan berujung turunnya hujan.
Kakak, saya masih takut dan benci hujan sampai saat ini. Tahukah kakak kalau saya selalu berharap ada kakak bersama saya ditengah hujan? Saya tidak tahu mengapa kakak begitu menyukai hujan dan begitu membenci Bapak beberapa tahun belakangan. Saya tak akan bertanya seperti yang selalu saya janjikan. Saya cuman minta satu permohonan, temani saya melewati hujan sore ini sebelum saya pergi menyusul Bapak.
Cerpen Karangan: Natanya Aloifolia Munthe Blog: natanyanya.tumblr.com Natanya Aloifolia. Perempuan berzodiak Leo dan bersyukur terlahir kidal.