Lagi dan lagi. Khilya, salah satu temanku. Aku terheran-heran, kenapa dia selalu memakai sepatu itu? Warna hitam dengan corak abu-abu di sampingnya, tidak. Sepertinya itu berwarna putih sebelumnya.
Tali yang tipis, banyak jahitan pada bagian sepatu itu. "Apakah kau tidak malu?" Ujarku dengan nada keheranan. "Malu? Kenapa?" Dia tersenyum dan menatap lurus ke arah mataku, salah. Matanya melihat ke arah lain.
"Kau tau apa maksudku. Sepatu usang itu, kenapa kau selalu memakai itu? Kau tahu, itu sudah rusak."
"...aku suka sepatu ini."
"Aneh, apakah kau tidak punya sepatu lain?"
"Ya"
Aku masih ingat, hari yang sangat panas. Siang itu adalah jam pelajaran olahraga, sial. Aku benci olahraga, kau tahu kenapa? Aku tidak suka Pak Bambang, guru mesum yang menyebalkan. Ini wajar, karena bukan hanya aku yang membencinya. Kami suka menggunjing nya dibelakang. Apakah kami buruk? Entahlah, setidaknya itu membuat kami merasa lebih baik.
Ah, sepatu itu lagi.
Rasanya sangat melelahkan harus berlari mengelilingi lapangan, sudah putaran ke 3 dan kami masih harus melakukan 2 putaran lagi.
Dia masih memakai itu, benar-benar membuat frustasi. Padahal, kondisi nya sudah tidak tertolong, ada yang sedikit terbuka dan bolong. Apakah aku bereaksi berlebihan? Tidak, sepatu itu bahkan sudah kulihat selama 6 tahun dan sudah dalam keadaan tidak dapat diselamatkan lagi! Dasar.
Saat semua sibuk membeli makan di kantin, dia menatap ke bawah dengan lesu.
"Tidak bawa uang?"
"Celine...haha, iya. Uangku habis ku pakai memperbaiki sepatu kemarin."
"Khilya, aku bisa beri kamu sepatu baru. Jadi, buang aja benda itu," menatap serius dan sedikit empati.
"Kau tau, aku tidak bermaksud jahat. Aku temanmu, rasanya menyebalkan melihat mu kesulitan."
Dia tidak menjawab, hanya terdiam dengan senyuman dan kemudian memelukku. Dalam keheningan, aku menariknya untuk ke kantin dan membelikan jajan untuknya.
Aku, sangat ingin tahu. Apa yang sebenarnya kau lihat dari benda itu? Padahal, aku selalu bisa membantu mu, tapi kau menolak ku.
Rasanya sakit. Apakah kau bahkan tahu? Tidak mungkin kau tidak tahu. Terkadang, kau akan tertawa atau hanya merenung saat benda usang itu membuat mu kesulitan lagi. Terus saja tersenyum dan berkata baik-baik saja. Apa dia pikir aku bodoh? Dasar bajingan. Kalau mau menangis, menangis saja. Kau membuat ku seperti penjahat disini.
Selalu mendapatkan nilai bagus, baik, sopan dan ramah. Itulah dia, setidaknya inilah alasan aku masih mau berteman dengannya. Aku tidak tahu kondisi ekonominya, tapi tanpa ku jelaskan. Mungkin kalian juga akan paham. Setahuku, dia yatim. Aku yakin karena pernah melihat namanya dalam daftar saat aku sedang membantu guru di ruang guru.
Walaupun kami teman, rasanya hanya aku yang terbuka. Sebaliknya dia tertutup. Seperti tirai saja. Aku selalu menunjukkan sisiku dan dia selalu menutupi dirinya. Rasanya, ingin kubuka paksa topengnya itu. Menyebalkan.
"Lin! Dari mana aja?" Yura memanggil dari kejauhan sambil berlari. Ekspresi nya, terlihat panik.
"Ngapain lari-lari sih?"
"Itu si khilya!"
Sesaat namanya di sebut, firasat ku sudah buruk. Aku langsung bertanya dengan cepat.
"Ada apa?"
"Dia jatuh pas lagi naik tangga!"
Tidak butuh waktu lama, aku berlari secepat kilat. Jantung ku berdetak seperti suara drum keras tidak karuan. Meninggalkan semuanya, pikiranku melayang entah kemana. Mataku seperti bergetar, sulit untuk melihat jelas ke depan. Sesampainya disana, aku melihat kakinya yang sudah di balut. Sial.
Kupikir hanya akan ada luka kecil. Nyatanya, ini serius. Aku ingat saat itu memarahinya selama berjam-jam. Si bodoh ini hanya tertawa dan berusaha menenangkan ku. Mataku yang melihat ke seluruh sudut ruangan melihat sepasang sepatu rusak. Sudah jelas apa yang terjadi. Aku tau, sepatu ini akan menjadi masalah cepat atau lambat. Emosi ku meluap karena rasa khawatir dan rasa sakit.
"BUANG! Aku tidak peduli lagi, buang!" Seru suaraku menggema. Dia menatap sedih dan tersenyum.
"Maaf. Aku tahu, kau pasti khawatir. Tapi, kau tahukan? Aku tidak bisa."
"Kau, kau selalu saja seperti ini. Tidak pernah mau mendengarkan ku. Aku bisa membelikan mu sepatu bagus, kau tidak perlu lagi menyisihkan uang jajanmu untuk perbaikan sepatu usang itu!"
"Celine-"
"Kau egois! Sekarang lihat, kau terluka," suara serak dan bergetar disusul isak tangis ku.
"Kumohon, berhentilah membuat ku khawatir...kau membuat ku sakit."
"Maaf, maaf..."
Merepotkan, sungguh merepotkan. Berhentilah. Kau membuat semuanya menjadi sulit. Bukankah dengan menerima pemberian ku semua akan berakhir? Kau memang keras kepala. Biarkan aku menjadi teman baik, kali ini saja.
Sudah berkali-kali aku mendengarkan ceritanya yang selalu berkata, "aku ingin menjadi seorang desainer." Itu bukan hal yang aneh, aku tahu kenapa dia mau menjadi desainer. Alasan klasik yang dia genggam bukan untuk dirinya sendiri, tapi karena orang lain. Tapi, aku senang. Itulah satu-satunya saat dia akan tersenyum cerah dan menceritakan tentang dirinya sendiri. Bukan hanya mendengarkan cerita orang lain lagi.
Ibu Tuti adalah Ibu kantin mawar, ia adalah langganan tempat beli jajan ku dan tempat hutang nya. Aku diam-diam sering melunasi dan membayar hutang-hutang kecil yang tidak seberapa itu. Ibu Tuti tahu kondisi dia, karenanya ia selalu baik.
"Bu, 2 porsi nasi goreng. 1 gak pake tomat dan yang lain pake." Ucapku lantang sambil menarik kursi di dekatku.
"Oke, mau minum apa?"
"Biasa Bu."
"Teh gula batu dan melati. Yakan?"
"Ya!"
Setelah makanan tiba, aku menyantap lahap di saat dia kebingungan dan resah. "Aku traktir, udah makan gih." Dia terdiam dan tersenyum kemudian memujiku dengan nada menjijikkan. "Makasih cantik, muah muah."
Jam pelajaran akan dimulai dalam 5 menit lagi. Selama perjalanan ke kelas, aku menatap dia sejenak sebelum akhirnya, "nanti jangan langsung pulang. Kamu ikut ke rumahku aja. Nginep." Ucapku yang menatap kearahnya.
"Serius? Kok tiba-tiba banget-" sebelum bisa melanjutkan omongan nya aku langsung berkata,
"mamaku kangen, dia bilang udah lama kau gak datang main ke rumah." Khilya tertawa dan berkata
"oh! Tante, okelah. Tapi, aku beneran langsung ke rumahmu? Pakaian nya gimana?" Tanya nya dengan senyuman tipis.
"Punyaku banyak."
Tepat pukul 15.30, kami sampai. Ibu menyambut dengan senyuman dan memeluk khilya. Sebentar, sepertinya urutan prioritas nya salah. Ibu memang seperti itu. Tapi, sudahlah.
"Menurutmu, bisa gak ya. Aku jadi desainer."
"Mungkin?"
"Kok mungkin sih?!"
"Benerin dulu nilai seni mu."
"Ih, jahat!"
"Pfftt hahahaha"
"Heh malah ketawa. Serius nih."
"Canda-canda. Bisa kok, kamu kan serius."
"Makasih..."
"Jangan lupa kasih diskon pertemanan nanti."
"Hilih"
Canda tawa, perbincangan kecil, berkhayal tentang masa depan. Hal-hal inilah yang membuat kami tetap bersama. Kalau dia itu kain, aku adalah benang. Dia kuat, tapi juga bisa robek dan di gunting. Akulah yang menyatukan dia, sampai saat ini.
Aku benci saat dia mulai menolak. Rasanya seperti dia tidak menghargai aku. Walaupun sudah tahu kebenarannya, tetap saja menyebalkan. Tidak pernah kubiarkan dia sendirian, itu berbahaya. Aku tak mau hal itu terjadi lagi.
6 tahun yang lalu, aku melihatnya terbaring lemas dikamar dengan air mata mengalir, luka ditangan dan terdiam. Aku takkan bisa melupakan itu. Satu-satunya yang bisa ku pikirkan pada saat itu adalah menelpon Ibu.
Tidak butuh waktu lama untuk Ibu dan ambulans tiba. Aku gemetaran, takut, mual, sakit, dan khawatir. Rasanya menjijikkan, aku memuntahkan semua isi sarapan ku pagi itu.
Awalnya, aku bingung. Ibu tidak mengatakan apa-apa. Khilya juga tidak berkata sedikitpun. Entah siapa yang harus ku beri semua pertanyaan yang terus muncul dan berputar di kepalaku. Tidak butuh waktu lama untuk aku memahami semuanya. Sejak hari itu, aku selalu melihatnya memakai sepatu itu. Sudahlah, hanya masa lalu pahit.
Setiap kali aku datang ke rumahnya, akan ada ribuan amplop dimana-mana. Dia selalu menulis sesuatu, tetapi tidak tahu harus mengirim semuanya kemana. Lebih tepatnya, dia tidak tahu dimana. Dia rajin, walaupun rumahnya berantakan karena amplop yang berserakan, hanya itu yang berantakan. Mencuci, merapikan, bersih-bersih, memasak, membuat sesuatu, dia jago. Manusia super? Tidak, mandiri.
Hari yang sangat di nantikan. Bertambahnya usia, ulang tahun dia. Aku mengajaknya untuk merayakan dirumahnya. Kue coklat dengan stroberi sebagai hiasan. Itulah kesukaan nya.
"Tiup lilin dan buat permintaan!"
"Hahaha, oke-oke." dia memejamkan mata dan mengepalkan tangan.
"Doa apa?"
"Sehat, kepintaran, sukses, bisa menjadi desainer..."
"Sudah ku duga."
Kemudian aku memberikan banyak hadiah kecil, semuanya titipan dari orang-orang terdekat. Ibu, Ibu Tuti, teman-teman, dan aku. Hadiah ku yang dibuka paling terakhir sesuai permintaan ku. Sesaat setelah dia membuka kado itu, dia terdiam.
"Terimakasih, tapi... mungkin bakal jarang kepakai."
"Kalau gak kepakai, ku bakar rumah mu."
"Bercanda-canda....tapi, serius deh. Aku benar-benar serius."
"Aku juga serius."
"Kamu tau kan, aku udah-"
"Punya sepatu, sepatu kesayangan ku yang ku pakai selama ini. Gitu? Kamu egois."
"Lin, kamu tahu sendiri...itu satu-satunya penghubung aku dengan dia."
"Masih mikirin wanita itu? Kau mirip dia, sama-sama egois."
"Lin..."
"Kamu kan, punya aku. Aku khawatir."
"Iya, makasih. Maaf, aku udah egois."
"Kamu pajang aja yang lama, jadi gak bakal rusak lagi. Kenangan nya juga bakal abadi...itu satu-satunya solusi yang bisa ku beri."
"Ya."
Khilya berjalan ke arah meja dan mengambil sebuah bingkai foto di meja.
"Lin, menurutmu...mama sayang aku gak?" Suara lirih yang menahan tangis.
"...Aku gak tahu. Tapi katanya, semua ibu pasti sayang anak mereka." Jawabku yang ragu di awal.
"Mama."