Matahari menunjukkan senyumannya, awan-awan putih seakan menjadi perhiasan langit biru yang membentang bagai gulungan kertas polos. Benar-benar hari yang cerah. Cocok untuk menghabiskan waktu Minggu di luar bersama keluarga, teman, kerabat, dan sejenisnya.
Sayangnya, hatiku tak seirama. Sayangnya juga, aku tidak bisa menikmati hari ini. Hari ini bukanlah hari yang cerah bagiku. Hari ini adalah …
Aku menatap sendu tubuh ibu yang terbujur kaku. Memori-memori tentangnya bermunculan tanpa bisa kucegah. Aku ingat semuanya. Aku ingat betul wajah cantiknya ketika tersenyum. Aku ingat suaranya yang lembut ketika menasihatiku. Aku ingat, aku ingat, aku i—
“HUWAAA!!!” Isakan yang dari tadi kutahan kini meluncur bebas. Mengingat kenangan bahagia bersama ibu membuatku menyesal. Seharusnya aku tidak memikirkan hal yang membuat diriku semakin terpukul.
Para penggali kuburan mulai mempersiapkan cangkulnya. Perlahan tetapi pasti, mereka mengembalikan tanah galian ke liang lahad. Aku berjalan menjauhi area pemakaman karena tidak kuat melihat prosesnya. Mungkin terkesan berlebihan, tetapi sungguh, aku tidak melebih-lebihkan.
“Eh!” Aku hampir saja terjatuh karena tersandung kerikil berukuran sedang. Kejadian ini membuat diriku menghentikan tangis, namun satu detik kemudian aku melanjutkannya.
Aku berjalan menuju tempat mobil kakak di parkirkan. Ketika aku melewati gang, orang-orang yang ingin berziarah menatapku beberapa saat, dan aku malu karenanya! Pasti wajahku sekarang sangat kacau! Lantas aku duduk di sebuah batu besar, berniat menghapus air mata dan merapikan kerudung.
“Woi!” Sebuah suara yang tidak asing tertangkap indra pendengaranku. Acara merapikan kerudungku belum selesai, jadi aku memutuskan mengabaikannya. “Kamu, lho! Ayo kesana!” Masih dengan suara yang sama, tetapi bedanya suara itu terdengar semakin dekat.
Aku berdiri. “Kak,” panggilku. “Apa?” “Mengapa … harus ada kematian?” Kakak tidak langsung menjawab. Ia tampak berpikir. “Mengapa harus ada perpisahan di setiap pertemuan?”
Kakak menatapku lekat. “Kamu tahu,” katanya, “di dunia fana ini tak ada yang abadi. Di tiap momen yang terjadi, bisa jadi momen yang terakhir bagi kita. “Kamu tak akan pernah lebih muda dari sekarang. Kita tak akan pernah mengalami masa ini lagi. Semua momen yang memiliki akhir itu patut kita syukuri …
“Karena …,” -kakak menggenggam tanganku- “setiap momen yang memiliki akhir itu … lebih bermakna …”
Aku terbengong. Ucapan kakak barusan … ada benarnya -eh tidak, memang benar.
“Ayo!” Kakak menarik lengan bajuku. Aku tersenyum kecut. Aku harus mengikhlaskan kematian ibu. Merasa risih dengan tarikannya, aku berkata, “Kak, udah ah, lepas!”
Barangkali itulah mengapa kematian ada, aku menduga. Barangkali juga itulah mengapa kita mengenal konsep berpisah dan bersua.
Ibu, meskipun kau sangat menyebalkan, aku tetap menyayangimu. Semoga kau tenang di sisi Tuhan. Amin.
Cerpen Karangan: Manulamarmar Blog / Facebook: Manula Marianna