Sekolah adalah mimpi dari setiap manusia untuk mendapatkan ilmu melalui pendidikan untuk massa depan yang lebih baik, aku pun terkadang menjadi impian bagi setiap manusia untuk dikenakan, mulai dari pelosok desa hingga kota. Sejak kecil darsan, ibu selalu sibuk saban malam merangkai beberapa lembar kain menjadi sebuah seragam yang bisa darsan kenakan dengan layak. putih dan merah adalah seragam pertama yang pernah darsan kenakan ketika darsan mengenal bangku sekolah dasar. Malam itu ibu menyibukkan dirinya bersama mesin jahit yang usianya sudah tidak muda lagi, merangkai beberapa logo, sleting, saku diantara baju dan celana. Terkadang ibu merasa malu, ketika aku kisut saat dipakai oleh darsan, saat bersekolah.
Setiap hari senin ibu selalu merawatku dengan penuh kasih sayang, bahkan tak pernah lupa untuk menyemprotkan wewangian padaku. Aku selalu terlihat rapi ketika dipakai oleh darsan saat bersekolah, begitu harumnya aku sampai setiap orang sangat betah ketika berada di sampingku. Aku selalu menemani darsan saat bersekolah, bahkan ketika upacara pun aku sangat bangga terlihat rapi dan wangi diantara seragam murid-murid yang lain. Aku telah menjadi bagian dari jasa setiap manusia yang kini menjadi orang-orang hebat di negeri ini, saat lagu wajib nasional dinyanyikan aku tak bisa hanya diam, menyaksikan darsan bernyanyi. Terpa angin pagi mengelus tubuhku, mengajakku bernyanyi dan memaknai warna tubuhku.
Aku telah menyaksikan perjuangan setiap manusia di atas bangku sekolah, hingga kini mereka terlahir menjadi sosok manusia yang sangat tinggi. Mulai dari pejabat, presiden, mentri dan petinggi yang lain. aku tak pernah menyesal ada sebagai seragam, namun terkadang aku merasa sedih ketika semua melupakanku, kini aku telah jauh dari mereka yang pernah mengenakanku. Terkadang pula usiaku tak terlalu panjang, mereka memilih menghanguskanku dari pada memberikanku kepada orang lain atau mengabadikan ku.
Darsan kini telah tumbuh besar, kini dia disibukan mencari sekolah menengah pertama yang kerkualitas. Aku masih digunakan darsan untuk mendaftar ke setiap sekolah menengah pertama. Kini darsan telah mendapatkan mimpinya untuk bersekolah di sekolah yang darsan inginkan. Aku pun telah digantikan oleh darsan menjadi putih biru, namun aku merasa bangga bisa mengantarkan darsan hingga sekolah menengah pertama yang telah lama ia impikan. Putih merahku yang terpampang logo tutwuri handayani kini pun tersimpan di dalam lemari darsan.
Sosok darsan kini telah tumbuh besar, ia menjadi siswa yang pandai dalam kelasnya, hingga ia menjadi seorang pemimpin dalam kelasnya. Kulitku pun kini berubah menjadi putih dan biru tua. Aku selalu menemani darsan ketika ia mengayuh sepeda yang ayah berikan. Tetes keringat darsan membasahi tubuhku, harum tubuhku berubah menjadi bau keringat yang tak sedap untuk dicium, terkadang pula aku menjadi tempat curahan para siswa yang menuliskan dan menggambarkan berbagai macam dengan tinta bolpoin di atas tubuhku. Aku sangat merasa ternodai, apa lagi ketika sakuku diisi dengan berbagai macam benda yang menodai tubuhku. namun ibu selalu merawatku dengan ketulusannya, mencuci tubuhku hingga bersih dan menyemprotkan kembali wewangian di atas tubuhku yang mulai pudar.
Darsan kini menjadi pribadinya sendiri, ia sudah tidak pernah lagi diantarkan oleh ibunya menuju sekolah, ia menggunakan sepeda kesayangannya untuk bersekolah. namun kini darsan jarang mematuhi perintah ibu, kadang kala darsan tak pernah jujur dan seringkali berbohong, setelah ia mendapatkan teman-teman yang beragam dari sudut pandang pola berpikir. Aku merasa malu ketika darsan sering membolos sekolah, belum lagi ketika aku diletakan di tempat yang tidak semestinya. Aku selalu mendapatkan perhatian setiap orang yang melihatku di jalanan.
Darsan kini menduduki bangku kelas 3 SMP, dua tahun sudah darsan mengemban tanggung jawab sebagai seorang pemimpin dalam kelasnya. Namun kini darsan sudah tidak dipercaya lagi oleh kawan-kawan sekelasnya dan wali kelasnya. Reputasi darsan menjadi pemimpin di dalam kelasnya dan menjadi anak yang pandai dalam kelasnya kini sudah tiada. Darsan kini dikenal sebagai murid yang kurang sopan, kerap kali membolos jam pelajaran sekolah. Ibu pun harus berulang kali menghabiskan waktunya untuk menemui guru darsan, karena tindakan dan perilaku darsan yang sudah diluar batas wajar aturan sekolah. Tanpa jemu, ibu selalu menasehati darsan untuk merubah perilakunya, namun darsan tetap saja bersikukuh dan mengeyel kepada ibunya.
Kini darsan akan menghadapi ujian kelulusan sekolah menengah pertama untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Seringkali darsan mendapatkan ancama dari sekolahnya, jika ia akan dikeluarkan dari sekolah, apabila darsan selalu melanggar peraturan sekolah, darsan pun tak mau jika ia akan dikeluarkan dari sekolahnya. Dalam kesendirian dan kesunyian aku sebagai seragam yang telah menyaksikan perjuangan manusia dalam menimba ilmu merasa sedih, jika aku tidak bisa dijaga oleh darsan. Kini darsan sanggup untuk menyelesikan pendidikannya di bangku sekolah menengah pertama. Dan aku masih digunkan oleh darsan untuk mencari dan mendaftar sekolah menengah atas oleh darsan.
Darsan sudah menemukan sekolah yang ia inginkan, di sana lah darsan akan meneruskan sekolah menangah atasnya. Kini sepeda yang sering kali darsan gunakan di bangku sekolah menengah pertama, sudah berubah, menjadi sepeda motor yang sangat bagus.
Di tahun ajaran pertama di bangku sekolah menengah atas, aku jarang merasakan bangku kelas yang nampak rapi dan buku-buku pelajaran yang disodorkan oleh para guru. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat-tempat yang sangat memalukanku. Bau asap rokok kerapkali membuatku risih, belum lagi tubuhku yang semakin kisut, ketika aku diletakan dalam tas tanpa dilempit. Aku sudah tak tahan lagi dengan perilaku darsan, melakukanku dengan caranya sendiri. Sakuku kini bukan lagi ternodai oleh tinta bolpoin yang meluap, namun kini sakuku seringkali diisi oleh beberapa batang rokok dan barang-barang yang tak pantas lainnya sebagai pelajar. Aku hampir mati tanpa daya, hakekatku menjadi seragam sekolah sudah tak berguna lagi.
Tahun ini darsan akan meng akhiri pendidikannya selama 12 tahun. Desing suara knalpot motor membuatku bising, belum lagi noda warna pilok yang membuatku tanpa ada martabatnya menjadi seragam. Kini darsan sudah mengenal apa itu wanita, cinta dan pergaulan yang semakin bebas. Aku sering kali dibawa oleh darsan bersama wanita yang tak aku kenal, aku merasa sendiri berada di dalam kost, walaupun ada darsan bersama wanita yang ia cintai. Aroma alkohol menempel di atas tubuhku, aku diletakan di atas lantai yang kotor, aku melihat darsan bersama wanita yang ia bawa tanpa mengenakanku. Mereka sudah tak membutuhkanku, telanjang di hadapan mataku, melakukan hubungan yang belum pantas untuk darsan lakukan.
Aku seperti telah mati, tak berguna. Dalam kesendirian waktu, aku teringat perjuangan ibu melawan malam, menahan kantuk hanya untuk melahirkanku sebagai pakaian generasi bangsa, agar menjadi manusia berguna dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan alam semesta. Kini pupus sudah mimpi ibu, mengharapkanku menjadi pengantar darsan menjadi siswa yang berbudi.
Apalah daya jika aku ada hanya sebagai seragam, aku tak bisa berbicara melawan apa saja yang menodaiku. Aku terlalu lemah menjadi seragam, menjadi hina dan ternodai. Andaikan saja waktu mengizinkanku untuk berbicara diantara lemahnya tubuhku yang di hinakan, tak ingin aku terlahir sebagai pengantar generasi yang hidup tanpa moral, budi dan nurani. Hakekatku hanyalah sebagai seragam yang mati tanpa suara. Segala daya upaya sudah kulakukan dalam perjalanan setiap manusia untuk mengantarkannya menjadi manusia yang berbudi luhur. Kehidupan hanyalah kehidupan, yang tak mungkin dapat mengubahku menjadi hidup selayaknya manusia. Jasaku telah digunakan oleh ribuan, bahkan jutaan manusia untuk mengantarkan mereka menuju pintu gerbang pembebasan kebodohan. Kini aku sudah dilupakan oleh zaman dan waktu. Mereka sudah menjadi manusia yang hebat bagi diri mereka sendiri, sedangkan aku masih saja tetap menjadi seragam, dimana hakekatku memanglah sebuah seragam yang dilupakan tanpa daya upaya. Kini aku sendiri di dalam lemari, bahkan terkadang aku sudah dibinasakan dalam peradaban manusia.
Cerpen Karangan: Nevvinhanjuna Blog / Facebook: nevvinhanjuna.blogspot.com / Nevvin cimplukan