Sejak kawasan pel*curan Kramat Tungak ditutup pada tahun 1999, bertebaran cafe-cafe baru disekitar wilayah Jakarta Islamic Center. Di situ dapat dijumpai wanita-wanita berdandan menor bercengkrama menunggu malaikat yang diutus tuhan untuk menyelamatkan hidup mereka. Sesekali mereka menggoda lelaki yang lalu lalang. Menawarkan minuman dan kepuasan setelah ada kesepakatan harga. Tak usah risau mencari tempat melampiaskan hasrat. Tinggal menuju hotel-hotel kecil yang biasa di sewa short time. Tidak jauh, masih disekitar Jl Kramat Jaya. Cukup 5 menit untuk menuju hotel-hotel itu dengan bersepeda motor.
Ini pukul 2 dini hari, sudah larut malam. Fina masih duduk termangu menungu lelaki hidung belang yang tak kunjung datang. Tidak seperti biasannya, malam itu terlampau sepi.
“Kok sepi banget ya malam ini.” Ketus Fina. “Lagi disekap kali sama istri-istrinya” timpal salah seorang dari mereka. “Atau malah gak dapet alasan buat kabur dari ketiak bininnya” sergah wanita di seberang meja sambil cekikikan. “Bah, fina yang biasannya laku duluan aja masih njamur disitu, apa lagi kita-kita” pecah sudah tawa mereka terbahak-bahak.
Fina memang paling laris manis diantara senior-seniornya. Kebanyakan dari mereka adalah wanita tuna susila keramat tungak dulu. Teman seperjuangan dari Alia, Zaitun dan Umiyati. Mungkin mereka bertiga telah memindahkan lokalisasi pel*curan ke tempat lain. Beberapa masih ada yang menetap dan menolak untuk hijrah. Mereka tidak ingin meninggalkan Kramat Tunggak yang dulu pernah menjadi lokalisasi prostitusi tersohor se-Asia Tenggara. Membohongi agungnya Jakarta Islamic Center yang kini sibuk dengan aktivitas kajian-kajian islam setiap harinya. Kramat Tunggak dikubur dalam-dalam bersama ratusan bahkan ribuan manusia yang menjadikannya sumber penghidupan.
Kalimat wanita di seberang meja itu sebenarnya adalah sindiran untuk Fina. Fina sendiri merasa tidak enak hati dengan pendahulu-pendahulunya itu. Namun apa daya, para Germo itu sendiri yang menentukan pilihan. Hampir setiap malam Fina tidak pernah absen memberikan kepuasan kepada pasiennya. Sementara tidak banyak dari pekerja dewasa di tempat Fina biasa mangkal hanya mendapat jatah tiga hari sekali, atau malah tidak sama sekali. Tidak heran, Fina paling gadis diantara mereka. Umurnya masih 16 tahun, kulitnya masih kencang, halus, tampa keriput. Setiap kali pria datang selalu Fina menjadi rebutan untuk digandeng tanggannya lantas dibonceng menuju hotel terdekat.
“Duluan ya mbak, buk.” Kalimat itu yang selalu keluar dari mulut Fina setiap kali wanita disekitarya memandangnya dengan penuh rasa iri. Dan selalu, pamitan Fina itu hanya dibalas dengan cibiran mulut mereka.
Tidak dengan malam itu. Sampai pukul setengah tiga Fina masih duduk terkulai menanti pahlawan yang tak kunjung menjemputnya. Akhirnya dia memilih untuk meninggalkan cafe itu tepat 15 menit sebelum jam 3 pagi. “Mungkin libur dulu untuk malam ini” dalam benaknya. “Saya pulang dulu ya mbak, buk. Udah pagi takutnya ntar Fina kesiangan.” Izin Fina kepada teman-temannya. “Iya iya, tumben lu Fin malem ini gak dapet jatah. Ntar di sekolah lu kedipin aja gurumu. Ajakin buat ntar malem. Hahaha” guyon wanita yang paling senior diantara mereka. “Ah bisa aja ibuk ini, masa iya Fina maen sama guru sendiri.” Balas Fina, sudah biasa dia menjadi bulan-bulanan oleh orang-orang disekitarnya. “Bisa aja Fin kalau lu mau, jangankan Gurumu, bisa jadi Pak Gubernur aja klepek-klepek kalau lu godaiin.” Tidak ada pembicaraan yang lebih asyik buat mereka selain membuly Fina habis-habisan.
Fina lebih memilih mesem menanggapi candaan teman-temannya yang kian menjadi-jadi. Fina memang masih sekolah. Dia siswi kelas 11 di SMA Negeri 13 Jakarta atau dikenal juga dengan nama GALAS. Di GALAS dia bertemu dengan cowok bejat yang menaklukkan hatinya. Memberikan janji-janji manis dibibirnya. Betapa bengisnya pemuda itu. Dia lah yang menggantarkannya ke Cafe remang-remang di wilayah Jakarta Islamic Center. Menggenalkannya pada mucikari-mucikari kelas kakap. Menjerumuskannya pada jurang kehidupan yang sangat hina. Jika ada yang harus disalahkan atas dosa-dosa yang dia perbuat. Pemuda itulah yang paling bersalah.
Dulu ibunya menggunakan semua tabungan Ayahnya untuk memasukkannya di Sekolah Menengah Atas Negeri favorit yang berada di bilangan Koja, Jakarta Utara itu. Fina tergolong gadis yang pintar. Dia selalu mendapatkan ranking 1 di Sekolah Dasar dulu. Alasan itu juga yang membuat ibunya lebih memilih untuk menyekolahkannya dibandingkan Kakaknya yang pernah tidak naik kelas semasa SD dulu. Kini kakaknya sibuk bekerja serabutan di kampung, tinggal bersama ibunya yang sudah tua.
Tepat di Lampu Merah Bangkal ada segerombol masa yang berkerumun. Fina lebih memilih untuk melanjutkan perjalanan pulang. Dari gonjang-gunjing mereka Fina menyimpulkan, sepertinya ada korban tabrak lari. Avanza yang menabraknya terbirit-birit pergi, sama sekali tak tau tanggungjawab. Sempat ada warga yang menggejarnya, namun mobil itu lebih cepat melaju melintasi jejalan Jakarta yang lenggang didini hari. Fina harus sekolah, untuk itu dia tidak berhenti untuk sekedar melihat keadaan korban tabrak lari itu. Kos-kosannya sudah dekat. Selama hidup di Jakarta, Fina tinggal di Rumah Kost TBR di Jalan Walang Baru, Tugu Utara, Koja. Tidak jauh dari tempatnya bersekolah.
Adzan shubuh berkumandang ketika dia melangkah masuk ke dalam kamarnya. Sudah hampir satu setengah tahun dia menyewa kamar itu. Dekorasinnya tidak banyak berubah, hanya beberapa perabotan tambahan di sudut-sudutnya. Kamarnya itu terasa sempit. Sebenarnya luas, cukup lapang. Namun gejolak perasaannya yang membuatnya seakan terhimpit. Jangankan kamarnya, dunia yang luas ini tak lagi terasa nyaman untuk ditinggalinnya. Malam-malamnya hanya dihabiskan untuk memuaskan nafsu birahi lelaki hidung belang yang meninggalkan ranjang istrinya di tengah malam.
“Masih ada beberapa jam lagi sebelum jam masuk sekolah. Cukup untuk sekejap ku memejamkan mata. Menggumpulkan energi untuk kembali menceburkan diri dalam hingar binggar pelajaran di kelas nanti. Semoga saja aku tidak bangun kesiangan.” Kata Fina dalam hati.
Kejadian tabrak lari di Lampu Merah Bangkal tadi masih melintas terbayang-bayang dalam kepalannya. Walhasil dalam tidurnya yang sebentar itu dia bermimpi tentang tragedi naas yang merengut nyawa bapaknya dulu.
—
Fina duduk manis di beranda rumahnya. Menunggu bapaknya yang tak kunjung pulang. Seharusnya sekarang bapaknya sudah kembali dari kerja. Duduk santai di beranda rumah dengan secangkir kopi seduhan ibunya. Bapaknya adalah seorang pegawai swasta di Kantor Pos Jonggol, Bogor. Pekerjaannya hanya sebatas menggecek resi kiriman di setiap surat dan paket sebelum melesat ke alamat-alamat tujuan. Upahnya tidak seberapa namun cukup untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya dan juga membayar SPP sekolah Fina dan kakaknya.
“Buk kok Bapak gak pulang-pulang ya?” tanya Fina kepada Ibunya. “Bentar lagi juga dateng kok, paling kerjaanya lagi banyak Fin” jawab ibunya sambil menyapu pekarangan rumah. “Bener mungkin ya kata ibu barusan” ketus Fina dalam hati.
Sudah hampir setengah jam bapaknya tak kunjung terlihat batang hidungnya. Bising motornya Honda C 70 juga tak kunjung terdengar. Ibunya yang sedari tadi terlihat santai kini mulai terlihat raut cemas di wajahnya. Entah apa yang ada di pikiran ibunya sekarang. Yang jelas sampai detik itu Fina masih menunggu kedatangan bapaknya.
Bukannya desing motor bapaknya Honda C 70 yang masuk pekarangan rumahnya. Justru malah tukang ojek online, GRAB yang datang. Jaket yang seharusnya dikenakan itu seenaknya disampirkan di bagian depan motornya. “Siapa yang gerangan mangil GRAB ini? Apa mungkin ibu memesan makanan, atau malah kakak mau pergi, entahah” pikir Fina waktu itu.
Napas tukang ojek online itu terlihat ngos-ngosan. Dadanya naik turun seiring dengan tarikan napasnya. Peluhnya bercucuran dari dahinnya. Sepertinya dia ingin menggatakan sesuatu yang sangat penting kepada Ibunya. Fina sendiri hanya bengong melihat kejangalan yang ada di depan matannya.
“Bu, apa benar ini rumah kediaman Bapak Supardi?” Kalimat itu terbata-bata keluar dari mulut pengendara GRAB itu. “Iya mas, Supardi itu suami saya. Ada apa ya?” selidik ibunya. “Pak Supardi kecelakaan bu, korban tabrak lari. Sekarang lagi dilarikan ke Rumah Sakit.” Fina ikut terperenjat mendengar apa yang dikatakan tukang ojek itu. “Astagfirulloh gusti, terus sekarang gimana keadaan suami saya mas?” Paras Ibunya yang tadi terlihat bingung sekarang berubah drastis. “Kondisinya kritis buk.” Sekelebat tentang semua kemungkinan buruk kini bersarang di kepala Fina. Dia harus bersiap-siap untuk semua hal yang paling buruk.
“Jaga rumah Fan, Ibuk mau nemuin Bapak dirumah sakit.” Kata Ibu Fina kepada kakaknya yang sedari tadi turut menyimak apa yang terjadi. Fani adalah nama kakak Fina. Bapaknya dulu yang memberi kedua anaknya dengan awalan huruf “F”. Entah apa artinya.
Fina turut diajak oleh Ibunya. Mereka mengonceng tukang ojek yang sedang tidak di jam kerja itu. Dia mendapatkan alamat rumah Pak Supardi dari KTP yang ada di dompetnya.
Sudah terlambat. Pak Supardi sudah menghembuskan napas terakhirnya saat masih berada di ambulan. Dokter hanya bisa berusaha memberikan kejutan jantung dengan Defibilator. Mencoba untuk memulihkan detak jantung Pak Supardi. Namun dokter hanya sebagai perantara. Sejatinya yang mempunyai kehidupan hanyalah tuhan semata. Pak Supardi sudah dipanggil menghadap sang kuasa. Fina dan Ibunya hanya bisa menghadapi fakta yang ada.
Menurut keterangan saksi yang ada kejadian itu bermula ketika Toyota Camry B 1185 TOD, menabrak sebuah mobil Mercy B 811 QQ di Jalan Raya Jonggol. Karena diduga ingin melarikan diri, mobil itu melanjutkan perjalanan dan menabrak Pak Supardi dan 3 pengendara motor lainnya.
Akhirnya mobil itu tersangkut di trotoar dan menabrak pagar Masjid Agung Nurul Taqwa hinga tidak bisa lagi bergerak.
Kasus tersebut menyebabkan 13 orang yang sebagian besar merupakan pengendara motor mengalami luka. Sedang Pak Supardi yang merupakan salah seorang dari 13 orang itu harus menghembuskan napas terkahirnya di ambulan saat sedang dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Sejak kejadian naas itu, Fani kakanya tidak lagi melanjutkan sekolahnya. Dia lebih memilih berkerja serabutan membantu meringankan beban ibunya. Sedang Fina terus melanjutkan pendidikannya dengan semua uang tabungan ayahnya semasa masih hidup. Secara tidak langsung kematian Bapaknya lah yang membawanya hidup di Ibu Kota lengkap dengan semua titik gelap yang dialaminya sekarang. Jelas tampa sepengetahuan Ibu dan Kakaknya di kampung sana.
—
Mimpi itu sama sekali tidak diinginkan Fina. Terlelap dalam mimpi membuatnya bangun kesiangan. Ia bergegas mandi lantas berangkat menuju sekolahannya. Berharap agar gerbang sekolahannya belum ditutup oleh Mang Udin.
Fina ngebut. Motornya itu dibeli setelah satu minggu pertama dia menjalani profesinya sebagai kupu-kupu malam. Sepagi itu Koja sudah sangat ramai. Jalan raya penuh sesak dengan kesibukannya. Ada yang berangkat kerja lah, pegi ke pasar lah, atau beberapa pelajar yang turut bangun kesiangan. Macet.
“Mang buka dong gerbangnya, pliss.” Fina sudah terlambat ketika dia sampai. “Wah gak bisa neng Fina, Mang Udin udah beberapa kali ditegur sama Bapak Kepala Sekolah gara-gara sering bukaiin gerbang kalau ada yang terlambat. Maaf ya neng.” “Gak bisa diajak kompromi nih Mang Udin.” Dengus Fina dalam hati.
Apa boleh buat. Gerbang sudah ditutup. Mang Udin juga engan membukakan gerbang takut kena marah Kepala Sekolah. Fina melaju motornya mencari tempat nongkrong. Aurel Kopi menjadi tempatnya melarikan diri. Fina kerap kali nongkrong disitu setiap dia bangung kesiangan dan tidak diizinkan masuk oleh Mang Udin. Dia juga sudah akrab dengan penjaga cafe disana.
“Good Day capuccino bang dingin, satu.” “Wah bolos lagi nih Fin” “Iya nih, kesiangan tadi. Mimpi buruk” ketus Fina.
Buruk sekali nasib Fina pagi itu, seburuk mimpinya semalam. Baru 15 menit dia menyenderkan punggung. Good Day Capuccinonya juga baru satu teguk diminum. Dia terjaring razia Satuan Polisi Pramong Praja (Sat Pol PP) yang melakukan penyisiran terhadap para pelajar yang bolos sekolah. Fina didapati sedang bersantai di Aurel Kopi dengan masih menggenakan seragam sekolahnya.
Fina dibawa menuju Kantor Sat Pol PP untuk dilakukan pemeriksaan dan pembinaan. Setelah sampai di kantor Satpol, petugas Satpol memeriksa HP Fina untuk mencari nomer orangtua ataupun guru. Tapi malah didapati beberapa chatingan singkat Fina dengan lelaki hidung belang yang telah memuaskan nafsunya dengan Fina beberapa hari lalu.
Fina tidak dapat banyak menggelak. Karena semua bukti sudah jelas ada berada di HP nya. Fina hanya bisa memberikan penggakuan yang sejujur-jujurnya kepada para personil Sat Pol PP yang memeriksannya. Dia menggaku tidak mempunyai keluarga ketika ditanya tentang kedua orangtuanya.
“Saya tidak punya keluarga pak. Kedua orangtua saya sudah lama meninggal. Saya hidup seorang diri di Jakarta. Ngekos di TBR jalan Walang Baru.”
Petugas itu percaya begitu saja ketika mendengar penjelasan Fina tentang keluargannya.
Fina terjerat hukum tindak pidana Pasal 61 ayat (2) dan dititipkan di Rumah Rehabilitasi Karya Wanita. Di sana dia mendapat pembinaan selama tiga bulan kedepan. Diberikan latihan seperti tata boga dan lain-lain. Juga penataran tentang bahayannya penyakit sifilis dan HIV yang menggerikkan.
Tuban, 27 April 2019
Cerpen Karangan: NF Ruddin Blog / Facebook: Najib Fachruddin Thoha NF Ruddin, lahir di penghujung tahun milenial. Hobi menulis dan naik biang lala. Menulis buku kumpulan puisi berjudul Puisi Masa Transisi.