Kehilangan “… memang bukanlah hal yang menyenangkan. Tetapi kita diharuskan untuk belajar merelakan tanpa terus menyalahkan keadaan…”
Jujur menyakitkan mengingat semua memori bersama orang yang kita sayang ketika ia pergi begitu saja. Masih teringat jelas kebersamaan itu dimana kita saling bersama, bercanda ria, belajar bersama Dan bermain bersama. 2 tahun bukan waktu yang sebentar semenjak kehilanganmu. Aku masih tidak bisa berpikir jika malam itu adalah malam terakhir aku melihatmu.
Namaku Lala. Kini aku duduk di bangku kelas 11 SMK, di sebuah sekolah di kota Solo. Dulu aku mempunyai seekor kucing cantik bernama Ayu. Ia sangat menggemaskan bagiku. Ia memiliki bulu berwarna belang tiga. Setiap pulang sekolah, Ayu selalu menunggu dimana biasanya aku memarkir sepedaku.
Ketika memiliki waktu luang, aku berusaha untuk memanjakannya dan mengajaknya bermain sebisaku karena keterbatasan tempat. Ayu selalu duduk di pangkuanku jika aku datang menemuinya dan menempelkan kepalanya di dadaku untuk bisa memberikan aroma tubuhnya ke tubuhku.
Kebiasaan yang selalu ia lakukan ketika bersamaku ialah dimana Ayu selalu tidur dengan kepala di atas tanganku dan memelukku dengan kakinya yang menggemaskan itu. Disaat itu, aku hanya bisa mengelus kepalanya sayang supaya ia bisa tertidur dengan nyaman. Tak jarang, aku selalu merasa takut jika ia tiba-tiba mati dan pergi meninggalkanku.
Aku adalah orang yang sensitif terhadap sesuatu jika aku benar-benar menyayanginya seperti halnya aku menyayangi Ayu layaknya keluarga bukan peliharaan. Karena aku tak pernah merasakan ini sebelumnya. Ketika ia sakitpun, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menyuruhnya tidur dengan selimut di badannya supaya suhu tubuhnya normal lagi karena saat itupun ia sangat tidak mood untuk makan. Aku hanya bisa melihatnya dari jauh dan berdoa supaya ia cepat sembuh.
Hingga suatu hari, ketakutanku mulai terjadi dimana tiba-tiba ia menghilang dan tidak kembali. Aku berusaha mencarinya dan mengajak teman-temanku untuk membantuku.
“Ayu…” “Kamu dimana sayang?” “Mama kangen…” Aku memanggilnya dengan keras berharap Ayu mendengarku dan pulang ke rumah seperti semula. Namun, hasilnya nihil. Tidak ada tanda-tanda Ayu menyahut teriakanku ataupun teriakan teman-temanku. Disaat itu, aku mulai berusaha positif dan berpikir ia sedang bersenang-senang diluar sana.
Namun, 2 hari sejak kepergiannya itu membuatku waspada jika apa yang selama ini aku takutkan terjadi. Kurasa teman-temanku bisa mengikhlaskannya karena kami merawat Ayu bersama sedangkan diriku? Aku masih belum bisa menerima kenyataan pahit itu.
Setiap hari aku meneriakkan namanya dan berusaha untuk menajamkan pendengaranku supaya bisa mendengar sahutan kucing kesayanganku itu.
“Sudah ikhlaskan saja, jika memang takdirnya dia pergi. Dia sudah tenang dialam sana bersama ibu dan anaknya”, Okta, temanku ini meyakinkanku bahwa ia bahagia disana. “Iya bener juga. Ikhlasin kepergian dia. Semoga dia bahagia bertemu ibu dan anaknya yang duluan pergi”, timpalku.
Sejak hari itu, aku memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan Ayu karena itu hanya bisa membuatku menangis tanpa suara. Aku hanya bisa mendoakannya disini supaya ia bisa berbahagia disurga.
“Karena memang dasarnya harus mengikhlaskan, mengapa harus dipaksa untuk menetap? Jika takdirnya ia pergi?”
Cerpen Karangan: Lala Putri Safitri Aku biasa dipanggil Lala. Kini aku duduk dibangku kelas 11 SMK disebuah sekolah di Solo. Mohon kritik sarannya untuk cerpen saya ini.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 1 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com