Hujan turun diluar, menemani siangku yang sepi. Aku memainkan biolaku, mencoba mengikuti irama hujan yang syahdu. Beberapa saat kemudian, pintu kamarku terbuka, dan muncullah bundaku sambil membawa plastik- sepertinya berisi makanan.
“Oalah nduk, jangan main biola dulu toh, nanti capek loh” “Melo nggak capek kok bun, lagian aku bosen nggak ngapa-ngapain” “Oh ya sudah, tapi makan dulu ya, nanti lanjut lagi” “Oke bun”
Bunda pun mengambil mangkok yang terletak di meja sebelahku, dan menuangkan bubur kedalamnya. Hmm, wanginya enak.
“Mau disuapin atau makan sendiri?” tanya bunda “Aku makan sendiri aja bun, aku bisa kok” jawabku “Yaudah, bunda beres-beres kamarmu dulu ya. Oiya, nanti temen-temenmu bakal datang, bentar lagi kayaknya. Nanti bunda kasih tau kalau udah pada dateng” “Oke bun” jawabku sambil menyuap satu sendok bubur ke mulutku. Hujan-hujan gini memang bubur paling enak. Ditambah, aku memang ingin makan bubur. Bunda memang selalu bisa membaca pikiranku.
Tepat setelah aku menghabiskan semangkuk buburku, teman-temanku datang. Hmm, sepertinya yang datang adalah Fatimah dan Kinan, karena terdengar suara teriakan Kinan yang khas. “Meloo! Kita dateng bawa makanan nih!” terian Kinan “Nggak usah teriak-teriak Kinan, itu si Melodinya kan lagi sakit” kata Fatimah “Nggak apa-apa kok Fat, lah ini aku baru aja selesai makan bubur” “Hoo, berarti makan lagi, ini bakpau kesukaanmu loh- “ kata Kinan “Oke, minta satu dong” pintaku “Yee, dasar ratu makan- aduh! Sakit Fat” teriak Kinan setelah dijitak Fatimah.
Tapi aku tidak terlalu memperhatikan mereka, karena aku sudah asyik makan bakpau dihadapanku. Perutku selalu punya ruang untuk bakpau, apalagi ini bakpau dengan rasa favoritku.
“Jadi gimana sakitmu Mel? Masih nggak enakan?” tanya Fatimah “Hmh? Bwiasa ajha shih” ucapku belepotan “Dikunyah dulu Melo” “Tuh kan dia nggak apa-apa” ucap mereka bersamaan. Aku pun mengunyah bakpauku, dan segera menjawab sebelum Fatimah memarahi Kinan lagi
“Nih Melo udah kunyah plus Melo nggak apa-apa, dari kemarin belum ada gejala apapun sih, Cuma badan lemes doang” jawabku “Yaahhh, berarti konser minggu depan jadi nggak? Padahal udah beli konser VIP biar bisa nonton paling depan” ucap Kinan sambil merenggut “Ngapain beli tiket VIP? Sekarang aja kamu duduk didepan orangnya langsung” “Iyaa, Melo bisa mainin satu lagu buat Kinan kok” jawabku sambil tertawa “Yee, kan aku mau liat kamu di panggung Mel, makanya cepet sembuh dong, jangan sakit terus. Di sekolah bosen, cuma ada Fatimah doang, Fatimah kan nggak seru. Makanya- cepet- hiks, sembuh ya” ucap Kinan sesenggukan Sambil tersenyum, aku menjawab, “Tenang Kinan, Melo pasti bakal sembuh kok”
Meskipun aku tau, hal tersebut mustahil terjadi.
Adalah sekitar 24 jam yang lalu, hari kemarin, saat pemeriksaan rutinku. Dokter Aza, dokter yang mengurusku, membicarakan tentang kondisiku.
“Melo, seperti yang kamu tahu, kanker darah itu sangat susah untuk disembuhkan. Ditambah, kamu belum menemukan donor darah yang cocok. Kemungkinan, kamu tidak akan bisa ikut konser minggu depan dengan kondisi seperti ini. Kondisimu semakin memburuk, bahkan lebih buruk dari bulan lalu” “Tapi dokter, aku sudah merencanakan konser itu dari bulan-bulan sebelumnya, aku tidak bisa membatalkannya. Lagipula, teman-temanku akan hadir disana, aku tidak bisa mengecewakan mereka” bantahku “Melo, ini demi kesehatanmu. Aku tahu kamu sangat menunggu waktu itu, karena suara biola selalu terdengar dari kamar ini. Aku tahu kalau ini sangat penting untukmu, tapi kesehatanmu lebih berharga. Semuanya tergantung keputusanmu, apakah kau ingin melanjutkan konsermu atau membatalkannya” tanya dokter “Maka seharusnya anda tahu dok, saya akan tetap melanjutkannya, bahkan jika itu adalah konser terakhirku, aku tidak akan menyesalinya” ucapku sambil berlinang air mata.
Apakah aku takut kematian? Tentu saja, ada banyak hal yang belum sempat aku lakukan di dunia ini, ada banyak kegiatan yang ingin kulakukan dengan sahabatku, dengan keluargaku. Aku masih ingin bersama bundaku, sahabatku, teman-temanku, aku masih ingin disini. Tapi aku tahu, itu adalah keajaiban yang mustahil. Tapi aku akan- meninggalkan dunia ini, dan aku harus menerimanya, harus. Aku harus menerimanya, tapi sekelebat perasaan buruk itu datang. Bagaimana bunda nanti? Bagaimana sahabatku nanti? Bagaimana mereka akan menerima kenyataan ini? Tanpa kusadari, air mataku mengalir saat bundaku datang, dan bunda sontak memelukku.
“Nduk, kamu kenapa?! Kamu kenapa nangis nduk?” tanya bunda panik “Melo- Melo takut bun, gimana kalo Melo belum jadi anak yang berbakti tapi Melo udah- pergi. Gimana kalo Melo masih banyak kesalahan, tapi Melo malah nyusul ayah?” tanyaku.
Hening pun menyeruak diantara kami, lalu bunda menjawab, “Nduk, kamu lahir sudah membuat bunda dan ayahmu bahagia, ditambah lagi kamu punya kemampuan yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan. Kamu sudah membuat kami bangga dengan segalanya, tidak perlu bersedih. Jika memang waktunya, semuanya akan pergi toh? Berdoalah nduk, semoga kamu masih bisa diberi kekuatan sama Allah. Jika sudah tiba waktunya, bunda hanya bisa pasrah, begitupun kamu” jawab bunda. Matanya berkaca-kaca saat mengucapkan kalimat tersebut. Karena kami berdua tahu, waktuku tinggal sedikit.
1 minggu pun berlalu, segala persiapan telah disiapkan untuk konser biolaku. Dokter Aza pun benar-benar memantau kesehatanku, agar tidak terjadi hal buruk diatas panggung nanti. Perjalanan menuju gedung tempat konser membutuhkan waktu sekitar 30 menit, karena tempatnya tidak terlalu jauh dari rumah sakit. Aku pun turun dari mobil dibantu oleh beberapa orang yang ikut bersamaku, dan segera menuju bagian belakang panggung.
“Melo, kamu masih bisa tahan sampai 1 jam kedepan?” tanya manajerku “Bisa kok kak” jawabku sambil tersenyum “Kalo ada apa-apa diatas nanti, langsung panggil crew aja ya?” “Iyaa kak, Melo nggak-apa-apa kok”
Sayup-sayup terdengar MC memberi pidato pembukaan, dan suara-suara para penonton. “Inilah bintang kita pada hari ini, yang sudah kita tunggu-tunggu. Mari kita beri sambutan yang meriah pada… Melodi Fayara!!”
Penampilan Melo berjalan dengan sangat bagus, meskipun gerakan menggesek biolanya terlihat sangat lemah. Semua masih berjalan normal, hingga akhir penampilan, saat Melo mendadak mimisan dan pingsan saat sedang berjalan. Semua orang menjadi panik, meskipun beberapa ada yang sudah menduga bahwa hal ini pasti akan terjadi, karena muka Melo yang terlihat pucat sejak naik keatas panggung. Aku merasa panik, dan segera menemui Bunda Melo.
“Tante, Melo kenapa tante?!” “Nggak tahu nduk, tiba-tiba saja dia jatuh, padahal tadi dia masih terlihat baik-baik saja” jawabnya sambil berjalan cepat. “Kamu nanti ikut ke rumah sakit ya Kinan?” pinta Bunda Melo “Iya tan” jawabku. Mungkinkah, Melo- langsung kutepis pikiran itu dan mengikuti Bunda Melo ke rumah sakit.
Entah kenapa, segalanya berlangsung sangat lambat. Mobil ambulan yang kutumpangi seperti berjalan dengan kecepatan paling lambat. Ya Allah, bisakah kau mempercepat mobil ini? Aku mohon, sebelum semuanya terlambat, sebelum semuanya berakhir, aku masih ingin melihat senyum khas miliknya. Senyum khas Melo, yang membuat orang lain merasa nyaman didekatnya. Kuatlah Melo, bertahanlah…
“Maaf bun, seperti yang kita tahu, cepat atau lambat, Melo akan segera pergi. Hari ini adalah waktunya. Tapi dia pergi dengan bahagia bun, lihatlah- meskipun dia telah terbujur kaku, dia masih ingin menunjukkan senyumnya. Saya sungguh minta maaf tidak bisa menyelamatkannya” kata Dokter Aza sambil berlinang air mata “Tidak apa-apa dok, anda sudah melakukan yang terbaik. Terimakasih karena telah menemani Melo disaat-saat terakhirnya, karena sekarang adalah giliran Allah untuk menjaganya. Terimakasih- sungguh terimakasih-” kata bunda sambil terduduk sedih. Dokter Aza pun memeluk bunda.
Nduk, bahkan disaat terakhirmu, kamu masih ingin membuat kami tenang dengan senyum indahmu…
Cerpen Karangan: Aiyuu
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 22 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com