“Mas, tolong bantuin Fikri cari Kartu Keluarga kita dong!” ujar adikku yang sejak siang kebingungan mencari Kartu Keluarga di rak buku kami yang sudah dimakan oleh umur. “Iya sebentar, Mas masih ada tugas kantor sebentar lagi juga selesai nih.” Dengan cepat kuselesaikan tugas kantorku agar segera membantu Fikri mencari Kartu Keluarga tersebut karena dia terus merengek seperti bayi kecil.
“Mas lama banget deh, Fikri pusing nih ga ketemu Kartu Keluarganya! Fikri makan dulu aja deh, lapar banget soalnya sejak pagi belum sarapan.” Ujar Fikri sambal memegang perutnya dengan eksperesi wajah seperti tidak makan berhari-hari “Yaudah sana makan dulu, nanti mas yang cari Kartu Keluarga itu.” Ujarku yang kasihan melihat adikku menahan lapar sejak pagi tadi.
Ku berjalan seraya mengambil kemoceng untuk membersihkan Rak buku yang sudah lama tidak terjamah dan tidak pernah dibersihkan lagi sejak Lebaran tahun lalu. Debu yang sangat menumpuk cukup membuat sesak napas dan batuk karena terhirup ketika dibersihkan. Rayap yang sudah mulai membangun koloninya membuat rak ini memiliki banyak lubang disekitarnya dan semakin rapuh dibuatnya. Rak buku ini merupakan pemberian dari keluarga Ayah ketika mempersunting ibu 25 tahun yang lalu. Usianya bahkan melebihi umurku sekarang yang sudah menginjak 23 Tahun.
Saat ini, Fikri sedang menyiapkan data diri untuk mendaftar ke Sekolah Menengah Atas yang menjadi impiannya sejak dahulu. Tentu saja dia mendaftar ke SMA tersebut atas saran dari Aku dan Ayah. Fikri bilang dia ingin mengikuti jejakku menjadi siswa di SMA tersebut yang menurut orang-orang bilang, SMA ini salah satu SMA favorit yang ada di Jakarta. Lulusannya sudah pasti menjadi orang orang yang sukses dengan impian mereka. Namun, tidak dengan diriku, yang sampai hari ini masih selalu terbayang luka lama 5 tahun yang lalu.
Satu demi satu Aku turunkan buku-buku agar mudah untuk mencari Kartu Keluarga. Tanpa sengaja, folder usang berwarna merah jatuh diatas kaki. Sontak ku teriak meringis kesakitan karena folder itu cukup berat karena berisi banyak berkas. Folder bertuliskan “Berkas-Berkas Pendaftaran TNI dan Kedinasan milik Arjuno Wibowo” membuatku sedikit tertegun. Seketika terlintas dalam ingatan tentang memori lama yang sudah dipendam bertahun-tahun. Aku membuka folder tersebut dan kudapati lampiran pendaftaran Kedinasan dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Satu, dua, bahkan sampai 15 kertas pendaftaran yang kutemui membuat batinku bergejolak. Tanpa disadari, tetesan air mata membasahi berkas-berkas tersebut seraya memandangi mimpi lama yang tak kunjung terjadi sampai saat ini. Kesal dan sakit hati sekali melihatnya setelah mengendap bertahun-tahun di rak buku yang lapuk itu.
—
19 Agustus 2012 Hari Raya Idul Fitri 1433, dimana semua umat Muslim di seluruh dunia merayakan hari kemenangan setelah melaksanakan ibadah puasa selama 1 bulan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, para perantau yang bekerja di pusat ibukota berbondong-bondong kembali ke kampung halaman (mudik) untuk bersilahturahmi dengan sanak saudara. Begitu pula dengan keluargaku yang sudah berangkat mudik terlebih dahulu 3 hari sebelum Hari Lebaran ke Tegal, Jawa Tengah. Setelah melaksanakan Solat Ied berjamaah, kami sekeluarga berkeliling untuk bersilaturahmi dengan keluarga terdekat dan tetangga di kampung.
“Wah, ini anaknya Susi ya? Tinggi sekali seperti kakekmu. Pasti nanti mau jadi TNI ya? Harus bisa mengikuti jejak kakekmu ya sebagai seorang priayi kebanggan kampung ini!” ujar Mbok Lastri, tetangga samping rumah kakek yang rumahnya sedang kami kunjungi. “Iya mbok, ini anakku namanya Arjuno. Sekarang sudah SMP. Aamiin mbok semoga bisa mengikuti jejak kakeknya”. Kata ibuku sembari menyalami tangan Mbok Lastri.
Kakekku merupakan seorang Pensiunan TNI, orangtuanya merupakan Pegawai Negeri di era Kolonial Belanda sedangkan kakaknya sendiri pernah menjabat sebagai Kepala Desa. Oleh karena itu, keluarga kami dihormati oleh warga kampung karena memiliki peran yang penting di desa. Setelah bersilaturahmi, kakek mengajakku ke kebun di belakang rumah. Menanyakan kabar dan kehidupan sekolahku di Jakarta. “Juno, Sini Mbah mau ngomong sebentar” “Iya Mbah Kakung, ada apa Mbah?” Kataku dengan nada santun. “Kamu sekarang sudah SMA ya, gimana persiapan kamu setelah lulus sekolah?” Tanya Kakek. “Aku masih belum tahu mbah mau ingin menjadi apa, masih belum terbayang”. Jawabku dengan senyum malu. “Kamu harus mempersiapkan diri baik-baik Jun, kamu harus memiliki cita-cita. Kalau Mbah sendiri ingin melihat kamu menjadi seorang TNI seperti Mbah atau jadi Pegawai Negeri seperti Kakak Mbah yang seorang Mantan Lurah Desa ini. Karena kita tau sendiri, selepas kakek pensiun, keluarga kita tidak ada yang menjadi Pegawai Negeri. Ibumu dan Anak mbah yang lain lebih memilih menjadi pengusaha.” Jawab kakek dengan raut wajah sedih. “TNI mbah? Apa aku bisa mbah? Badanku kan kurus kering begini akan diterima?” “Insha Allah jika memang takdirmu menjadi TNI atau Pegawai Negeri kamu pasti bisa Jun. Mbah bicara seperti ini takut Mbah umur sudah tidak lama lagi.” “Astagfirullah Mbah, jangan berbicara yang tidak-tidak. Suasana sedang lebaran seperti ini kok mbah berbicara yang menyeramkan.” Kataku dengan nada khawatir. “Kamupun sudah mengetahuinya Jun, Mbah sakit TBC semenjak Mbah Pensiun.” 4 orang yang termasuk lapisan masyarakat yang kedudukannya dianggap terhormat, misalnya golongan pegawai negeri, “Iya Mbah, Tapi mbah jangan berbicara aneh lagi ya. Ga boleh pokoknya!” Ujarku dengan tegas.
Dua Tahun kemudian, Kakek menghadap Sang Khaliq. Penyakit TBC yang dideritanya merenggut tubuh kurus keringnya. Ibuku pingsan setelah mendapat telepon dari keluarga di Kampung bahwa kakek telah meninggal. Ibu sangat menyayangi kakek karena berkat beliaulah Ibuku dapat sukses seperti sekarang. Ketika mendengar kabar duka tersebut, hanya isakan tangis yang keluar dari mataku sebab kehilangan sosok yang menjadi panutan. Kecewa yang kurasakan bahwa tidak bisa pulang ke kampung halaman karena bertepatan dengan Ujian Akhir Semester. Bayangan kakek selalu muncul di kepalaku ketika melaksanakan Ujian Akhir Semester. Terlintas perkataan kakek dimana dia menginginkanku menjadi seorang Abdi Negara. Hal ini membuatku seperti memikul beban yang berat. Wasiat yang Kakek berikan membulatkan tekadku untuk menjadi seorang Abdi Negara seperti pesan terakhir Kakek.
Kelas 3 SMA, masa dimana para siswa tingkat akhir mempersiapkan diri untuk menghadapi Ujian Nasional dan Persiapan Ujian Masuk Universitas. Selayaknya siswa-siswa lain, aku pun juga fokus untuk belajar untuk menghadapi Ujian Nasional, tetapi berbeda dengan yang lainnya Aku tidak memiliki keinginkan untuk melanjutkan Pendidikan di Universitas. Benar, yang kutuju adalah Akademi Angkatan Udara (AAU) dan Kedinasan lainnya. Keinginanku ingin menjadi Taruna Akademi Angkatan Udara karena dahulu selalu menonton film tentang pilot pesawat tempur. Alasan lain yang menguatkan tekadku adalah ketika Aku masih duduk di bangku kelas 3 SMP, aku memiliki teman di sosial media Facebook yang beliau merupakan pensiunan TNI AU. Beliau bercerita mengenai perjalanan kariernya dimulai dari Pendidikan di AAU sampai dengan pensiun. Aku sangat antusias sekali membaca setiap pesan-pesan dari beliau dan semakin menumbuhkan semangat di dalam jiwa ini untuk menjadi seorang perwira TNI. Keinginanku untuk masuk di Sekolah Kedinasan juga sebagai rencana apabila tidak lolos di Akademi Angkatan Udara (AAU). Sebagian besar alumni sekolah lebih banyak di Sekolah Kedinasan dan di Universitas, Namun hampir tidak pernah ada yang melanjutkan ke AAU dan sejenisnya. Aku berharap untuk menjadi orang pertama yang bisa menjadi Taruna AAU nantinya.
Latihan demi latihan Aku jalani setiap hari dengan harapan yang tinggi untuk menjadi abdi negara. Latihanku tidak sendiri, ada 2 orang rekanku yang juga mengikuti Latihan. Ray yang ingin menjadi seorang Polisi dan Aji yang ingin menjadi Bintara TNI meneruskan tekad sang ayahnya yang merupakan seorang pensiunan anggota Kopassus. Setiap sore selepas sekolah, kami menyempatkan diri untuk lari di stadion yang dekat dengan sekolah. Kami menjalani latihan ini dengan ikhlas dan tekad untuk membahagiakan orangtua. “Bro, janji ya kita harus berikan yang terbaik pas tes nanti” ucapku dengan berapi-api “Siap dong, Insha Allah kalo kita serius kaya gini pasti lolos dah” Sambung Aji dengan senyum yang lebar “Kita pasti bisa, tetapi ingat jangan lupa minta restu orangtua dan jangan sombong dulu ya. Jangan lupa juga pelajarin akademiknya tuh. Itu penting banget buat nambahin poin nanti” Kata Ray. “Siap Komandan!!” Ucapku dan Aji seraya memberi hormat kepada Ray.
Tes Seleksi Akademi Angkatan Udara dimulai tepat setelah Ujian Nasional Tingkat SMA selesai. Aku mempersiapkan diri berkas-berkas apa saja yang harus dibawa ketika tes hari ini. Malam hari sebelum tes, aku meminta izin kepada ibu untuk mencuci kakinya sebagai ritual secara turun temurun agar mendapatkan doa restu dan mempermudah dalam pelaksanaan tes.
Tes seleksi Administrasi dilaksanakan di Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, cukup memakan waktu hampir 2 jam untuk sampai di tempat tersebut. Aku bersyukur dalam pelaksanaan Tes Administrasi, namaku lolos untuk lanjut keseleksi berikutnya yaitu seleksi Kesehatan. Namun sayang, karena kakiku berbentuk letter O yang menyebabkan tidak bisa melanjutkan ke tahap selanjutnya dan dinyatakan gugur. Sedih sekali rasanya menhadapi kenyataan ini untuk pertama kalinya. Karena jujur saja, sejak aku kecil, aku selalu berhasil mendapatkan sekolah yang Aku inginkan tanpa hambatan sekalipun.
Seminggu setelah kegagalanku di AAU, ponselku berdering dan tertera nama yang kukenal yaitu Ray. “Jun, alhamdulillah aku lolos Bintara Polisi besok berangkat ke Bali untuk menjalani Pendidikan Dasar POLRI!” Ucap Ray dengan gembira. “Wah, Alhamdulillah! Selamat Ray akhirnya tercapai juga cita-citamu! Bagaimana dengan Aji?” Kataku dengan penasaran. “Aji kan udah dua hari lalu berangkat ke Bandung untuk menjalani Pendidikan dasar TNI, dia menitip salam kepadamu karena tidak sempat mengabarkan katanya.” Sambung Ray. “Alhamdulillah Ya Allah, kalian berhasil semua. Kalian tunggu Aku ya, Insha Allah Aku mengikuti jejak kalian menjadi abdi negara!” Kataku dengan nada lirih menahan tangis. “Semangat terus Jun, pasti kamu bisa!” Kata Ray sebelum dia menutup teleponnya.
Mendengar kabar bahwa teman-temanku berhasil, membuatku merasakan perasaaan senang dan sedih di waktu yang bersamaan. Senang karena mereka berhasil menggapai cita-citanya, sedih karena diriku ini gagal dan tertinggal dengan mereka berdua.
Beberapa minggu kemudian, tidak sengaja Aku membaca pengumuman bahwa akan ada pembukaan penerimaan Mahasiswa Kedinasan Sekolah Tinggi Akutansi Negara (STAN). Tanpa menunggu waktu, segera Aku melengkapi berkas-berkas yang dibutuhkan untuk mendaftar. Namun, nasib baik masih saja belum menyertaiku. Aku gagal di Ujian CAT Komputer. Ya Allah, aku salah apa sehingga Engkau belum juga memberikanku apa yang kuinginkan? Tetapi Aku harus kuat, masih banyak kesempatan lain yang bisa dicoba.
Di tahun berikutnya, Aku mencoba kembali untuk mendaftar Taruna AAU. Lagi-lagi gugur di Tes Kesehatan karena panitia menyebutkan bahwa kakiku masih berbentuk letter O, padahal Aku sudah melakukan terapi untuk memperbaiki kaki ini. Kembali lagi kekecewaan menyertaiku, tetapi tidak tersirat sedikitpun kata menyerah di dalam diri. Aku mencoba kembali STAN untuk kedua kalinya, dan tetap saja belum juga diberikan nikmat oleh Allah untuk menjadi mahasiswa STAN.
Di tahun ketiga, Aku mencoba untuk masuk ke Universitas Swasta atas dorongan dari ayah supaya tidak terlarut-larut dalam kesedihan dan mempersiapkan rencana yang lain untuk masa depan. Aku menyetujuinya dengan syarat tetap akan mengikuti Tes Penerimaan Taruna AAU. Kekhawatiran terlihat di wajah Ayah ketika Aku meminta hal tersebut, namun pada akhirnya beliau menyetujuinya. Sekali lagi kucoba untuk mendaftar menjadi Taruna AAU. Satu demi satu Aku menjalani Tes Taruna AAU dengan lancar, namun kali ini langkahku terhenti di Pantokhir Daerah. Aku pulang dengan membawa kesedihan yang mendalam. Sebab, di tahun berikutnya tidak bisa lagi untuk mendaftar menjadi Taruna AAU karena umurku sudah berada di batas akhir. Aku tidak bisa mengikuti jejak Kakek untuk menjadi abdi negara. Ya Allah, rahasia apa yang masih Kau simpan untuk masa depanku? Apa salahku sehingga impian ini tidak pernah tercapai? Ah, kekecewaan ini membuatku pesimis menghadapi masa depan. Dengan perasaan berat hati, aku menjalani kuliah di Universitas Swasta dan lulus dengan nilai yang biasa saja.
Setelah lulus kuliah, Aku mendapatkan pekerjaan yang tidak sesuai dengan apa yang kuinginkan. Butuh waktu yang lama untuk menyembuhkan luka di hati ini. Hilang semua mimpi yang dibentuk sejak dahulu. Ya, kini mimpi itu menjadi “Mimpi Yang Sirna”.
BIODATA Nama: Akhmad Maulana Waskito Alamat: Jl. Fajar Baru Utara No.9B (Warteg Bu Ning) RT.007/RW. 008 Kelurahan Cengkareng Timur, Kecamatan Cengkareng, Kotamadya Jakarta Barat, DKI Jakarta, 11730 Instagram: maulana_waskito
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 16 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com