Ini kisah tentang Vante. Pemain biola tampan yang sayangnya harus kehilangan nyawa karena kecelakaan kapal Titanic. Kecelakaan maritim paling memilukan di sepanjang sejarah.
Kisah ini bermula saat Vante hendak pulang dari perancis untuk menemui Sang Bunda di kampung halamannya, New York. Dari kapan hari, Vante sudah membeli beberapa oleh oleh untuk Bundanya. Ada miniatur menara eiffel, keju perancis yang terkenal, dan ada satu hal yang dia spesialkan di sana, dibungkus dengan sangat rapi dan menarik. Itu adalah macaron yang sangat disukai Bundanya Vante. Maka tak heran setiap pulang kampung, Vante selalu membawa macaron itu. Semua sudah Vante masukan ke dalam tasnya yang simple. Tas kulit dengan nuansa klasik yang sangat unik. Tak tertinggal pula biola yang selalu menjadi temannya itu juga dia bawa. Vante tak tahu jadi apa hidupnya jika dia tak pernah berkenalan dengan benda bernama biola. Mungkin saat ini dunia tak akan pernah mengenal seorang Vante sebagai pemain biola paling terkenal di seluruh eropa.
Waktu sudah menunjukan pukul delapan lebih tiga puluh lima menit. Dua puluh lima menit lagi kapal pesiar itu akan berangkat. Karena jarak rumahnya dengan pelabuhan lumayan jauh, Vante mensegerakan diri pergi ke pelabuhan dengan menggunakan sepedanya.
Di sepanjang jalan, angin malam membelai rambut Vante. Wajah tampannya begitu bersinar saat diterpa sinar bulan. Vante begitu bahagia karena sebentar lagi akan bertemu bundanya yang hanya dia kunjungi satu tahun sekali. Bukannya Vante anak durhaka, tapi satu hal yang Vante tak suka dari berlayar adalah dia takut saat kapal mulai menengah ke laut. Vante sangat takut laut. Jadi Vante takut naik kapal. Sangat takut. Tapi mau bagaimana lagi, Vante merindukan Bundanya. Dan obat dari rindu hanya satu di dunia. Dia bernama temu.
Akhirnya, sampailah Vante di pelabuhan. Dia terlebih dahulu mengunjungi rumah temannya yang berada di pelabuhan untuk menitipkan sepedanya. Dan lihatlah, sebuah kapal pesiar megah sudah bertengger manis di hadapannya. Vante dengar jika kapal ini adalah kapal paling mewah yang pernah ada. Orang orang menyebutnya Titanic.
Seperti orang lain, Vante mulai melangkan kakinya masuk ke dalam kapal itu. Tak jarang dia mendapati sapaan dari orang orang yang mengaguminya. Wajar saja kalau banya yang menyapa. Siapa yang tak kenal Vante di eropa ini. Violinis paling terkenal dari benua biru.
Wangi khas kapal tercium semerbak di indra penciumannya. Vante mulai melangkah lebih dalam. Melihat kagum pada setiap sudut ruang dalam kapal. Berbagai gaya dekoratif menghiasi kapal ini. Mulai dari Renaisans sampai gaya Victoria, dipakai untuk mendekorasi kabin dan ruang umum di kawasan kelas satu dan dua sampai Vante tak berhenti hentinya menganga. Kesan Yang vante rasakan saat menaiki kapal ini seperti berada di hotel terapung.
Setelah puas melihat lihat, Vante menyimpan tas nya di tempat dia istirahat nanti. Ini benar benar seperti hotel. Ada kasur untuk Vante tidur, lemari baju juga ada. Vante sampai bingung apa yang kapal ini tak punya.
Dengan biolanya, Vante berjalan ke deck atas kapal untuk mencari udara segar. Beberapa orang menawarinya wine tapi vante menolak. Dia tidak ingin mabuk untuk malam ini. Dia ingin menikmati malam yang indah ini seolah ini adalah malam terakhir dia di dunia.
Deck atas terlihat ramai tapi tidak terlalu berdesakan. Orang di atas sini tidak terlalu banyak, tapi tidak sedikit juga. Vante melangkahkan kakinya satu persatu, berjalan ke arah pinggir deck. Cahaya rembulan malam terpantul di atas air laut membentuk cahaya terang yang estetik. Vante mengangkat biolanya, menggesek satu persatu senar dengan bow sampai dari gesekan itu keluar nada indah yang terdengar lembut di telinga. Vante terus melanjutkan nyanyiannya. Semua atensi mengarah pada Vante. Semua orang terhipnotis dengan nada lembut itu. Satu persatu dari mereka mulai berdansa.
Tetapi, baru setengah Vante memainkan musiknya. Dari geladak depan, seorang perempuan berteriak dengan keras sambil berkata, “Gunung es! Gunung es! Kita akan menabrak!”
Semuanya tercekat. Tertu saja mereka kaget saat melihat gunung es menjulang tinggi di hadapan mereka. Orang orang yang semula berdansa, berhamburan entah kemana. Sementara Vante, dia masih tak percaya. Tubuhnya membeku di tempat. Tidak mungkin kapal ini akan menabrak. Dia belum bertemu Bundanya.
Dia masih tak bergerak sampai ada seorang pria yang tua yang menyadarkannya. “Cepat! Kita pergi mencari bantuan.”
“Sekoci. Lari ke sana..” entah siapa yang berteriak seperti itu. Tapi Vante menurut. Dia segera lari pergi ke tempat sekoci itu berada. Tapi rupanya, apa ini, banyak sekali orang disini. Mereka saling berdesakan dan histeris saling dorong. Vante tak bisa masuk karena manusia yang bejubel disini sangat banyak.
Gunung es semakin dekat. Dan kapal ini terus melaju tanpa henti. Vante sangat panik sampai rasanya ia ingin menangis. Dia tak ingin mati hari ini. Kalau pun harus mati, bukan cara yang seperti ini. Dia ingin mati dengan cara yang lebih bahagia daripada tenggelam di lautan es yang dingin.
Tapi sepertinya, itu hanya bunga tidur bagi Vante. Garis tangan menakdirnyannya seperti ini. Pukul 23.40 kapal itu menabrak gunung es. Guncangan yang dirasakan sangat dahsyat sampai kapal terbelah dua.
Kapal yang sudah terbagi dua itu semakin miring. Tak sempat Vante mengambil pelampung, sementara kapal semakin miring. Dan akhirnya, karam.
Vante tercebur ke dalam dinginnya air es. Dia meronta berharap segera ke dasar. Tapi satu hal yang Vante benci, dia tidak bisa berenang sama sekali. Sinar bulan yang tadinya indah, menjadi terlihat mencekam dari dalam sini. Napas Vante perlahan lahan habis. Air mulai masuk kedalam paru parunya. Pandangannya memburam. Cahaya bulan sedikit demi sedikit menghilang tergantikan warna hitam legam. Vante sudah mencapai batasnya. Dia pasrah pada Tuhan. Dia mempersilahkan Tuhan mengambil nyawanya sekarang. Walau Vante tak rela dia mati seperti ini.
Pikiran tiba tiba Vante menjelajah ke masa lalu. Terlinta gambaran saat dia berada di atas panggung dengan biolanya, tepukan tangan yang begitu meriah, dan ingatan ingatan lainnya tentang hidupnya yang indah. Vante harua meninggal ingantan itu dan juga dia harus meninggalkan Bunda. Wanita itu pasti sekarang sedang berada di depan pintu. Bersiap menyambut anak lelakinya yang dia tahu akan pulang.
Dan Vante benar benar pulang. Pulang ke rumah Tuhan.
“Bunda, selamat tinggal.”
Cerpen Karangan: Arr
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 21 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com