Beberapa tahun lalu, seorang sahabat karibku menelpon ku, sekitar pukul 10 malam. Saat itu aku menginap di rumah kakak tertuaku, awalnya niatku adalah menemani beliau karena buah hati pertamanya sedang demam. Tapi karena telpon itu, dari seorang sahabat yang sedang merantau demi sebuah ilmu, mau tak mau, aku harus meladeni curahan hatinya.
“aku mau lepas jilbab mi” itu kalimat selanjutnya, setelah dia bercerita ini itu. Jujur, aku bingung mau memberi respon apa, aku takut salah. Tidak jarang bahkan sering sekali teman bahkan saudara meminta pendapatku, dengan senang hati aku memberi masukan, kritik, bahkan pujian. Tapi untuk satu hal ini, lidahku kelu beberapa saat. “rambutku rontok, banyak deh mi. dokter aja kasi saran supaya aku lepas jilbab” ocehnya lagi. Aku memilih untuk mendengarkan saja. “tapi aku bingung mik, tar kalau ketemu abah mau bilang apa ya?, kayak apa mik?” ini yang kutakutkan, aku bahkan belum pernah merasakan jilbab, selain pada saat saat tertentu seperti bulan ramadhan dan idul fitri. Namun, jujur, aku kelu. Aku tak pernah mudah memaksa seseorang untuk melakukan satu hal, begitu juga aku, tak akan pernah melakukan sesuatu tanpa koreksi dari buah pikiranku sendiri. Sekarang, seorang karibku bertanya, harus apa dia saat jilbab tak lagi tutupi auratnya, hidayah yang dia dapat beberapa tahun sebelumnya tak jauh semenjak kindah lulus sekolah menengah atas ada dimana?apa ini pengaruh hidup di kota terbesar di Indonesia ini?begitu hebatkah arus itu, sehingga mampu merontokkan keyakinan dan menghilangkan hidayah itu?
1 Aku jadi teringat, beberapa saat sejak hari kelulusan UAN di umumkan, aku dan beberapa teman bebas berkeliaran. Maklumlah, otak kindah habis di ubek-ubek oleh ujian tiada henti, mulai try out sana sini hingga test final. Sekedar melihat lihat universitas atau sekolah akademik yang kindah minati, itu sudah jadi kegiatan rutin ku. Suatu hari, seorang teman mengajak ku jalan. Seorang teman yang berbeda agama mengajak ku ke rumah teman yang berbeda agama pula dengan aku dan dia. Sebuah kisah klise manis hidup ya, aku memang terbiasa bergaul dengan orang dari kalangan apa saja, tak terkecuali agama. Entah mengapa, pagi itu aku ingin berpenampilan lain. Ya, aku menggunakan jilbab, walau hanya seadanya, dan hanya menutupi leher hingga atas dada bahkan, aku menggunakannya. Aku berpose cukup lama di depan cermin, sambil memuji diriku sendiri. Terbersit saat itu dalam pikiran ku kalau tar keterima di fakultas kedokteran, aku mau pake jilbab ah. Niat yang terpuji dan niat yang tak terlaksana hingga aku menikmati bangku kuliah, bukan fakultas kedokteran tentunya. Saat itu, aku sedang dekat dengan salah satu teman priaku, sebut saja dia didi. Sewaktu aku mengenakan jilbab di hari itu, tanpa sengaja aku melewati rumahnya, dan tanpa sengaja pula didi melihat dan melambai padaku. Dengan bentuk mulut yang menanyakan padaku, mau kemana?, aku pun hanya dengan isyarat menunjuk arah rumah teman ku itu. Dia mengangguk dan melambai lagi padaku Tak lama, sebuah message masuk ke inbox hp ku Indah manis deh pake jilbab. Pengirim : didi smupa Serrrrr…………hati ku berdesir. Aku di puji, dan sedari tadi bukan dia saja yang melakukannya, tapi teman ku yang sedang memboncengku dengan sepeda motor, yang bahkan lain agama dengan ku, tak menampik hal tersebut.
Saat sampai dirumah teman ku yang lain, dia beragama hindu, satu pertanyaan dan pernyataannya menyeretku dalam kegelisahan “mik, pake jilbab sekarang?wah cantiknya, calon ibu dokter”
2 Eh indah, pakai jilbab, aku kira sapa? Ita keluar dan menyapaku Dulu aja pakaian kayak mahasiswa pendaki alam, preman abis deh pokoknya. Sekarang baju dan jilbab gag kalah besar ya. Kalimat itu terlontar dari mulut seorang sahabat karibku yang lain. Degh…rasanya hati ini bingung. Sedemikian besarkah perhatian orang orang pada perubahanku ini. Aku kan bukan sapa sapa, Cuma indah yang ribut dan suka jalan malam.
Seorang ibu setengah baya yang duduk disamping kindah ikut nimbrung “iya tha, aku dulu gag jilbaban. Sekarang kan udah pake” senangnya ada yang sejalan menurutku “apalagi sekarang udah gag selangsing dulu, hahahaha…setidaknya ni perut n bagian bagian lain yang buncit bisa gag keliatan gara- gara pake jilbab kan” lanjut ibu tersebut Aku terlongo dan bingung mau nanggapi apa, satu pertanyaan terlintas saat itu, kalau ibu gag buncit, masih langsing, jilbabnya tetep mau di pake gag ya? Tapi hingga aku pulang, pertanyaan itu tak terlontar, cukup buat aku sendiri.
3 Sebuah dialog keluarga dengan seting tempat di dalam mobil, saat hendak pergi makan di luar rumah. + kamu gag ikut organisasi apa apa mik di kampus? Suara babe # gag pah,” jawabku seperlunya + ah payah kamu tuh? Mau jadi apa kalau Cuma jadi mahasiswa yang kerjaannya belajar n jalan jalan aja. Masuk BEM kek, organisasi apa kek @ iya mi, aku dulu ikut BEM, walau Cuma jadi anggota pelengkap. Timbrung kakakku # kuliahku sibuk pah, tugas lapangan, belum lagi kalau udah pulang, aku cape, ikut ikut gitu kan nyita waktu cukup lama. Lagian aku sejak smp mpe sma udah puas ikut organisasi. Aku gag mau ikut BEM, politik mahasiswa, aku gag suka politik.” Jawabku tegas + yah jangan ikut BEM. Kayak pusdima, organisasi yang lain lah, mang di kampus Cuma ada BEM” sanggah babe enteng % gag semudah itu ikut pusdima pah.” Kakakku yang lain menimbrungi “itu anggotanya harus pake jilbab, jilbabnya besar besar pula + manknya kalau gag pake jilbab gag boleh masuk? % ya gag boleh lah, namanya juga pusdima loh pah” + ya udah, kamu pake jilbab aja mi. gampang kan” Aku gag tw, saat ini air mataku sempat menggenang tapi kutahan. Mama membisik padaku, sudah, anggap aja gag ada yang ngomong apa-apa Aku juga gag tw menangis karna apa, tapi jujur, diskusi singkat itu begitu menohok padaku. Apalagi, masih segar di kepalaku, bagaimana aku harus mencari sendiri uang untuk mendaftar ikut tes masuk perguruan tinggi dimana aku kuliah sekarang, karna, kalau sudah babe gag setuju, aku Cuma gigit jari, yang lain angkat tangan. Sekarang saat beliau memberi masukan untuk mengikuti kegiatan kemahasiswaan tersebut, aku sempat merasa bingung. Baru beberapa hari yang lalu, tawaran seorang kakak tingkat agar aku mengikuti seleksi penerimaan anggota BEM kampus aku tolak, padahal beliau jelas jelas memberi tahu bahwa aku masuk dalam kandidat sekretaris BEM pada saat itu. Aku tetap menolaknya. Mungkin bodoh, tapi aku tetap bersyukur.
4 Aku menghindari beliau, males banget ketemu beliau. Paling tanggapan n sarannya itu itu saja, pikirku. Walau sebenarnya beliau amat baik dan merupakan urat nadinya FKM tempatku kuliah. Iy, ibu dekan fakultas. Seorang ibu yang membuat aku terkesan dan menjadi panutanku, pendiri FKM di universitasku ini. Aku yang sejak dulu adalah penganut feminimisme, teramat terkesan dan terinspirasi dari tokoh tokoh wanita yang sukses. Apalagi kalau mengingat penindasan dan sikap minoritas pada wanita, darahku mendidih dan naik pitam saat itu juga.
Baru saja aku meninggalkan lorong dimana ruangan dosen terkumpul, ibu dekan keluar dari salah satu ruangan. Mau tak mau, dan tak mungkin menghindar. Aku menyapa beliau, tapi lagi dan lagi, satu kalimatnya menohok aku “tu, tinggal pake jilbab aja indah. Udah cocok loh, kapan?” tanyanya. Dan hanya kujawab dengan senyum dan tawa yang garing, segera aku melesat meninggalkannya. Ser..darahku mendidih, agh,,,,pasti si babe termakan omongan si ibu. Saat itu aku kesal pada beliau.
5 Suatu hari, sepulang babe dari rapat di kampusku, beliau memberi wejangan selingan, ku sebut begitu, karna beliau memberinya dengan santai dan tanpa kesan apa apa. Yah, beliau menjadi ketua IKOMA (Ikatan orangtua mahasiswa) di kampusku. Otomatis, beliau menjadi dekat dengan ibu dekan dan beberapa dosen lainnya, bahkan itu menjadi ajang reuni beliau, karna sekretaris IKOMA adalah saudara jauh mama, dan bendahara IKOMA adalah teman seperjuangan saat beliau masih kuliah dulu. Dunia memang kadang selebar daun kelor ya. “ mi, babe di titipi pesan tu ama bu dekanmu” “pesan apa pah?” aku mengernyitkan dahi, perasaan IP ku baik baik saja, aku gag pernah buat masalah, aku juga gag pernah masuk ruang BP seperti SMP dan SMA dulu. “gini kata bu dekan, pak si indah itu loh, di suruh pake jilbab. Kan bajunya udah sering ketutup gitu, tambah bagus kalau pake jilbab” kata babe menirukan gaya bicara bu dekan, dan sudah yang kesekian kalinya. Aku tertohok kesekian kalinya, ntah bagaimana rasanya, hambar ataukah asin. Ntahlah. “pake jilbab napa mi?babe perhatikan dosen n teman temanmu banyak yang pake jilbab loh, dengan kamu pake jilbab kan, mereka akan bisa dengan mudah kamu dekati” Aku mencibir dalam hati, sapa bilang aku perlu jilbab untuk mendekatkan diri dengan dosen dan teman temanku. “gag pake jilbab juga IP ku bagus kan pah, paling bagus malah di kelas” lirih aku berkata sambil pergi ke loteng. Masih sempat ku dengar babe bertanya, aku berkata apa barusan, tapi tak kugubris.
6 Aku kenal seseorang yang amat baik agamanya sejak kecil. Sebut saja dia ira. Ira anak yang aktif di masjid dan cerdas di sekolah. Matematikanya keren dah pokoknya, ira anak pertama dalam keluarganya. Bapaknya hanya pegawai biasa, sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga yang mengurusi anak dan suindah. Berbeda sekali dengan aku, kedua orang tuaku adalah pegawai negeri sipil dengan profesi guru. Bahkan babe merupakan dosen salah satu UT di kota ini, mama bahkan sudah jadi Kepsek sejak aku kelas 1 sd.
Ira aktif sekali di mesjid lingkungan kindah, sejak kecil dia sudah terbiasa menggunakan jilbab, walau tak memakainya ke sekolah. Tapi tabiat ira amat baik, usia SD saja, bacaan alQurannya fasih, bahkan pada kelas 3 sd, dia sudah mengkhatamkan alQuran 2 kali. Nah aku, Iqro aja belum habis-habis. Aku paling males kalau udah di ajak keluar ba’da isya untuk bergabung dengan teman temanku yang lain belajar mengaji pada guru agama setempat.
Kadang aku iri dengan ira, cerdas, baik hati, gaya bicaranya lemah lembut, di masjid dia salah satu pengurus dalam organisasi anak anak masjid, bahkan tanpa keistimewaan apa apa selain kecerdasan dan kesantunannya, ira menjadi salah satu murid yang disayangi oleh guru guruku. Puasanya aja udah full loh, signifikan banget ama aku. Tapi, tanpa aku sadari, sekian lama kindah bersahabat dan tumbuh bersama, ira ternyata tak nyaman dengan hidupnya. Dia ternyata diam diam kagum padaku. Itu terbukti selama jaman kindah SD, ira suka sekali membandingkan keadaan ekonomi keluarga kindah. Yah, sejak SD, aku udah di antar babe pake mobil, lagi pula, sejak pindah dari rumah dinas, jarak antara rumah baru dan SD tempat aku bersekolah dan mama menjadi Kepsek jadi lumayan jauh.
Ira suka iri, bahkan suatu hari, ibu ira pernah berkata padaku. “enak ya indah, mau ikut les dan try out dimana mana gampang” saat itu kindah kelas 6 SD, les dan try out sangat ramai dan marak di mana mana, salah satunya dilaksanakan di hotel berbintang di kota kindah beberapa waktu lagi. Aku sudah mendaftar dan mengajak ira untuk ikut pula. Aku tak mau seorang diri, teman teman yang lain tidak berminat “orang kecil kayak ibu ini, gag sanggup biayai ira, apalagi tempatnya mewah gitu” lanjut ibunya saat itu. Padahal, biaya try out itu cukup murah menurutku, hanya sekitar 25 ribu saja. Memang, pada masa itu, uang segitu amatlah banyak, bisa beli beras, gula, minyak, n kebutuhan rumah tangga lainnya. Bahkan harga susu sekotak pada masa itu, hanya 5-8 ribu perak. Itu udah kotak besar loh.
Sepulang dari rumah ira pun, aku akhirnya merengek pada babe, supaya mau juga membayarkan uang try out buat ira. Beliau tw aku amat dekat dengan ira, sehingga tanpa ragu beliau pun mengiyakannya. Jadilah kindah try out bareng ke hotel besar itu, waw…bagusnya pikir kindah saat itu. Pulang pergi kindah di antar jemput babe pake mobil, trus pulangnya makan bakso terenak di kotaku. Ira senang sekali, aku juga puas, bukan karna try outnya, tapi itu pertama kalinya kindah pergi berdua sejauh itu. Walau dengan babe tentunya.
Ibu Ira sampai menelpon kerumah untuk sekedar mengucapkan terima kasih. Ah, ira,,,anak alim yang hitam manis itu, tak kusangka. Smua berakhir dengan kisah kisahmu yang membuat meringis.
Lulus dari SD dengan predikat kelulusan terbaik pada kindah berdua, membuat kindah melaju ke salah satu sekolah menengah favorit di kotaku itu. bukan favorit seentero kota memang, tapi cukup berbobot, mengingat daerahku adalah pinggiran kota. Hari pertama masuk, mama mengenalkanku pada salah satu teman kuliah seperjuangan babe (diatas telah kusebut, bendahara IKOMA itu), ternyata anaknya, sukma, juga masuk sekolah yang sama denganku. Jadilah kindah berteman akrab saat itu juga, segera aku mengenalkan sukma pada ira. Kindah jadi sering kemana mana bertiga. Sayangnya, kindah bertiga di tempatkan di kelas yang berbeda-beda. Karna ini lah jua keakraban kindah memudar seketika. Pada saat itu masih ada istilah caturwulan 1, 2 dan 3. Pada saat caturwulan ke 3, hubungan ku dengan ira mulai renggang. Bukan karna ada masalah, tapi karna beda kelas, dan kindah sibuk bergaul dengan teman teman sekelas, sehingga aku bahkan tidak bertegur sapa sejak kenaikan kelas 2 hingga lulus SMP. Kindah seperti tidak pernah bersahabat.
Ira berubah, dulu dia gendut dan montok, juga pendek. Kulitnya pun hitam, namun ira manis. Saat caturwulan 3 di bangku kelas 2, aku mendengar kabar mengejutkan, tapi anehnya yang keluar dari mulutku, hanya kata “oh”. Ira di isukan menjadi Bandar narkoba, ha?sekecil ira?mana mungkin. Itu pikirku saat itu, isu isu lain mulai beredar. Aku antara terkejut dan tidak, aku juga bingung, kadang aku merasa amat kehilangan sahabat seperti ira, tapi kadang aku juga tidak menggubris itu, toh teman temanku amat banyak, aku yang supel ini mudah bergaul. Tidak seperti ira, dia pendiam dan pemalu, karna itu aku terkejut, bagaimana mungkin, ira yang remaja masjid dari kecil, pintar mengaji, khatam alQuran mungkin sudah belasan kali, pendiam, penurut, rajin shalat, dan lain lain kebaikannya menjadi seperti saat ini. Sampai aku menulis ini, aku masih belum mendengar pernyataan apa apa dari ira, jangankan berbicara dengannya, tatapan ira saja seperti tidak suka denganku.
Aku jadi merasa bersalah, apa karna aku punya banyak teman, ira pun terlupakan begitu saja. Sehingga ira yang pendiam dan penurut terbawa arus. Sampai saat ini, aku masih mengenang banyak peristiwa istimewa di antara kindah. Ira, sahabatku, aku merindukannya di ujung hati ini, walau kecil, tapi ada dan selalu ada. Aku jadi ingat suatu peristiwa, yang kadang membuatku mengoreksi diri, suatu obrolan anak SD ingusan, yang ternyata menggores saat aku maknai + “indah enak ya” kata budi, salah satu teman sekelas ku dan ira % enak gimana ih” aku mencomot salah satu nyam nyam dari bungkusan yang di pegang ana, dengan kalem, ana membiarkannya saja, padahal itu satu satunya nyam nyam yang tersisa setelah budi, tumeng dan lainnya bergantian mencomotnya.
@kamu itu enak mik. Mama kepsek, mau apa apa enak kali. Turun sekolah pake mobil, coba liat, emang disini ada yang punya mobil” timbrung tumenk memujiku, aku lupa, saat itu aku memerah atau meng_ungu y? diam diam, aku terlibat cinta monyet dengan tumenk, dan ku tahu, cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi di lain sisi, aku tahu ira amat suka dengan tumenk.
+ cantik pula ya meng,” kata budi bukan memuji. Karna mungkin memang, di antara murid murid se_sd aku yang paling kinclong saat itu. Bahkan teman ku, yang merupakan murid sd sebelah, yang kutemui setelah 7 tahun tidak berjumpa, sempat berkata, dulu aku kira kamu jadi artis atau model loh mik, kamu tu waktu sd cantik banget sih, hahaha,,,akhir katanya nyakitin kali, dia bilang, tapi sekarang kok gag cantik lagi mik?wahahahahahahahaha. jatuh deh @iyalah, paling cantik n manis sendiri, gag kayak ira” hahahahahahahaha. Tumeng tertawa dengan keras, disambut dengan yang lainnya. Ira yang biasanya nyantai nyantai saja langsung pergi dengan muka di tekuk sedemikian lipat, aku bingung, yang lain pun bisik bisik, indah kan putih, ira item, indah langsing pula, ira gendut, bla bla bla lainnya. Bukannya mengejar ira, aku malah menikmati pujian teman temanku saat itu. Itu pertama kalinya aku tahu, betapa istimewanya aku di sekolah ini karna kedua orangtuaku.
Saat ini aku berpikir kesekian kalinya, ke irian ira padaku telah jelas selama bertahun tahun kindah bersahabat, bahkan pernah dengan terang terangan dia menyatakannya, tapi aku tidak mau tahu dan sadar. Kadang aku takut, keinginannya untuk kurus karna ingin lebih cantik, apa karna itu dia konsumsi narkoba. Ah ira ira, apa adanya kamu dulu, kamu sahabat pertamaku, yang pertama kali menyapa ku saat masuk sd hari pertama. Masih ingat kah kamu ira? Ingat ini aku menggidik, perubahan ira dari alim jadi narkoba mania (smoga tidak benar) mengingatkanku pada kisah ustadz jadi pemabuk, penzina hingga pembunuh dan pada akhirnya meninggal dalam kemaksiatan. Nauzubilah, jauhkan aku ya Allah dari maksiat dunia.
7 Hari adalah hari classmeeting di smp ku. Aku yang pengurus kegiatan memilih melarikan diri kekelas, bête banget ah. Panas panas gini di suruh jadi juri volley. Seorang teman ku, sebut saja nurani. Mendekati ku, dan menawarkan sekotak rokok. “rokok mi, katanya bisa merokok. Mau gag?gratis loh.” Tawarnya. Hah?nurani nurani, sikap dan tindak tanduknya memang tidak seindah namanya.
Aku yang gengsi ini pun memegang kotak rokok itu, padahal seumur hidupku, aku memegang kotak itu hanya 2 kali dengan ini. Itupun jaraknya jauh sekali, pertama kali waktu sd. Psstttt….dulu waktu kelas 2 atau 3 sd, seorang om ku memberiku rokok yang sudah di sulutnya, waktu itu kindah berkumpul dengan sepupu sepupu ku, om ku itu memang terkenal bandel, bahkan merupakan narapidis. Tanpa ragu, dengan kepolosan anak usia 8 tahun, aku mengisap batang asap haram itu (belum jelas rokok masuk dalam jenis barang makruh atau haram, tapi bagiku rokok sama dengan barang memabukkan dan membuat candu, tak peduli seberapa besar kontribusi pajak rokok untuk pemasukan Negara, jumlah penderita penyakit akibat rokok tak sebanding dengan kontribusi itu). Hingga hari ini, kedua orangtuaku tidak tahu. Allah Maha pelindung Yaa Salaam (maha memegang keselamatan seluruh alam) melindungi aku hingga tidak terjerumus dan terhimpit dalam lubang itu, masya Allah.
Senakal nakalnya aku, kebencianku pada rokok sudah terbentuk sejak aku sd. Hingga ketika seorang teman menawarkannya padaku, aku hanya berkata, “ah,,rokok murahan, mana level aku ngisap yang itu, aku biasa ******** itu kali” dengan pongah aku menyebutkan merk rokok terkenal yang ku tahu dari television. Ku lemparkan rokok ke nurani kembali, dengan tertawa dia menyambutnya dan berkata kalau berarti semua satu kotak di hisap sendiri saja. Aku menggidik mengingat itu. Hari selanjutnya, nurani mengajak aku dan beberapa teman laki-laki dan perempuan untuk main kerumahnya. Dia bilang baru pinjam kaset film alien (saat itu isu alien amat santer), dengan senang hati kindah memenuhi ajakan nurani. Jadilah kindah remaja baru ABG berusia tak lebih dari 13 tahun keluar sekolah saat jam sekolah, walau hanya kegiatan classmeeting.
Dengan jumlah anak perempuan 4 termasuk aku, nurani dan dua teman akrabku lainnya. Serta 6 teman laki laki ku yang cukup dekat denganku, kindah segera ambil posisi yang enak untuk menyaksikan film alien itu. Dengan di temani kedua orangtua nurani, kindah menyaksikan adegan pertama film itu. Jika ingat ini, aku merasa hina, tapi aku membagi ini, agar kelak kita, generasi ini, menjadi orangtua harus lebih protektif dan mendirikan tiang agama mulai dini. Adegan pertama dibuka oleh hubungan ranjang sepasang anak manusia di dalam pesawat luar angkasa. Adegan adegan selanjutnya hanya itu itu saja, yang menohok dan dapat membuat mengelus dada hingga air mata ini kering, adalah kindah menonton dengan nikmat, usia 13 tahun telah di kotori oleh film yang tak senonoh. Ngerinya lagi, kedua orangtua nurani, yang menemani kindah menonton memasang gaya santai dan sesekali tertawa tawa, dari situ baru ku tahu, bahwa nurani tidak sekali dua kali menonton film film seperti itu. Saat menulis ini, air mataku tidak tertahankan. Aku malu, jujur aku malu, aku malu pada Allah, namun pada saat itu, aku tak sadar, walau sebenarnya saat pulang dari rumah nurani, aku jadi pendiam dan merasa tak enak. Seakan akan aku baru melahap makanan basi dan membuat perutku bergolak, rasanya aku mau teriak dan lari sejauh mungkin dari teman temanku saat itu. Ketakutanku saat ini, jika itu menimpa keponakanku tersayang, dan tidak menutup kemungkinan ada hal hal haram yang terjadi, nauzubilah min dzalik, Y allah ampuni aku. Jangan kau timpakan itu padaku, aku sungguh tak tahu, aku sungguh tak sadar, aku mudah diracun, aku terbawa arus, aku malu, aku malu, aku tak pantas dapat apalagi dekat dengan hamba hambamu yang khusnul khotimah, hambamu yang ma’rifat di dunia ini, apa aku pantas mencium bau surga, ketika mata ini menjadi biasa melihat hal hal itu sehingga aku seperti pecandu setelahnya. Walau tak lama, aku menjadi jijik sendiri, tapi y Allah…………ampunin aku, hati Ini merintih, aku takut, bahkan aku baru berhijab saat ini. Aku ingin menutup diriku secara sempurna, aku tak mau lagi jadi dulu, tak akan! “Hai orang orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya ialah manusia dan batu. Pengawal pengawalnya para malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan mereka selau melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka” Surah At Tahrim Ayat 6
8 Y Allah Lindungin hambaMU Baru saja rasanya hambaMU ini terlepas dan dapat mengatasi kalimat kalimat aneh tak karuan dari beberapa teman non islam, kini engkau mengujiku lagi dengan ombak yang lebih dasyat. Y allah, ternyata, melawan kalimat kalimat orang yang tidak mengenal MU, lebih mudah ketimbang melawan umat sendiri namun salah arah ini. Jilbab y jilbab, ternyata niat untuk menutup aurat ini harus aku lalui dengan tertatih tatih. Beliau memuji, beliau mengatakan salut padaku, yang tidak pernah menanggalkan jilbab, tapi beliau menjadikan ku sasaran target empuknya. LIndungi aku Y Allah, tiada kekuasaan yang sebanding dengan Kekuasaan Mu. Aku memang harus mengkajiMU lebih dalam, agar aku dapat mengarahkan diriku kejalanMu, bukan jalan yang salah itu.
Saat ini aku sedang menjalankan studi lanjutan di sebuah perguruan tinggi ternama di kota terbesar nomor 2 di Indonesia ini. Aku memilih kos yang lumayan nyaman, karna sebagian besar penghuni berasal dari daerah yang sama, walaupun tidak sama, kindah sudah amat akrab. Pemilik kos, sebut saja pak wik, adalah seorang bapak yang baik,hanya saja beliau ternyata penganut salah satu aliran agama islam yang pernah di usir dari kotaku. Jadilah aku hari ini terkena ceramah beliau perdana. Yah perdana, beberapa teman yang lain sudah pernah, dan aku tahu betapa kelunya bibir mereka menghadapi ocehan orang tua itu. Begini kira kira obrolan kindah + mba indah gag ada kuliah ya? @ gag ada pak, +lagi kosong ya, gini, mba indah dan mba wingki kalau ada waktu kosong, saya mau datangkan pengajian. Supaya dapat ilmu agama lebih baik Ha???aku terhenyak, walau ekspresi ku tetap tenang. Aku tidak akan menolak, bahkan memang sekarang aku sedang ingin mengikuti perkumpulan dakwah atau pusat informasi islam di kota ini, tapi aku cukup tahu akan aliran bapak wik ini. Bukan hal senada dengan syariah islam, ada beberapa hal yang mereka pelesetkan, itu kata kasarku. @saya diskusikan dulu dengan teman teman pak” serta merta aku memotong ocehan beliau. Mata ini mengantuk dan lelah, setelah berkutat dengan tugas. Bliau pikir aku santai santai kali ya di dalam kamar, beliau gag tahu apa kalau aku sedang berjuang dengan tugas tugasku. Ditambah lagi beliau mengajakku ke hal yang aku gag tahu juntrungannya.
+iya, saya senang kalau mba mbanya bersedia. Tar pengajian gag lama, bisa 2 kali dalam seminggu, 1 mpe 2 jam mba. Setelah ngaji, tar mbaknya bahas sunah dan hadist, supaya tahu banyak. Mba udah khatam alquran mba? Tanya beliau kemudian @alhamdulilah sudah pak. Kulihat mimik wajah bapak berubah, aku gag bisa membaca, tapi sepertinya mimik kecewa. Ah, jika saja aku blum seperti ini, kemudian bertemu dengan beliau, bisa mampus aku. Y Allah ,,,perlindunganMU ini tepat waktu, jika aku menggeleng, pasti bliau semakin merasa menang. +iy bagus itu. alQuran yang saya punya ada isinya mba, mba punya alQuran gag?ada isinya gag? Dengan polos aku menjawab ada. Raut wajahnya semakin heran saja. Aku kan gag ngerti, isi apaan?apa maksudnya berisi tafsir?ya memang aku punya seperti itu, dan disertai penjelasan yang cukup rinci pula. +ya, bla bla bla bla………………..panjang lebar beliau berceramah, ini itu, itu ini. Aku yang sedari tadi menahan gatal dikaki karna nyamuk yang mulai menyudutkanku, mulai garuk garuk dan tidak betah karna berdiri hampir 30 menit, sedangkan beliau dengan tenangnya duduk dan member wejangan padaku.
Masya Allah,,,,aku Cuma bisa berdebat dalam hati, aku harus bagaimana, beginilah ternyata arus hidup, ketika semua berjalan, kemudian kita tanpa dasar akidah yang benar dengan mudah mengikuti yang terdekat saja, padahal belum tentu benar. Y Allah,,,ujian apa ini, jujur aku bingung menghadapi orangtua ini, aku cukup menghormati beliau, seperti orangtua lainnya yang selama ini kutemui, aku selalu berusaha santun, walau tak jarang aku temukan perilaku mereka yang tidak sesuai dengan jalan pikirku.
Allah…..jilbab ini,,,hidayah ini,,,kau uji untuk kesekian kalinya. Maka aku harus berani maju, aku akan semakin mengisi dan memaknai hariku dengan semua fasilitas yang tlah kau berikan sejak Rasullulah SAW masih ada, sedihkah beliau disana melihat umatNya begini? Semua merasa benar dan pintar.