Senyap ini merongrong ditiap sudut kelasku. Diam seribu kata penuh makna. Hiruk pikuk yang ramai dengan celotehan masa putih abu-abu, seakan senyap dalam jangka waktu enam puluh menit. Otak teman-temanku tertekan dengan keras, berfikir sekua-kuatnya dan berjuang semampunya dalam jangka waktu enam puluh menit. Itulah yang sedang dirasakan teman-teman seperjuanganku. Menghadapi ulangan matematika yang mengerikan. Aku binggung tak alang kepalang, teman-temanku hanya berfikir dangkal. Matematika adalah pelajaran yang yang tidak begitu di segani di kelasku. Tapi tidak denganku, aku lebih suka pelajaran matematika dari pada pelajaran seni tari, seperti contoh kawan sekelasku. Namanya Yana, dia teman sebangku ku. Dia paling anti dengan yang namanya matematika, setiap ulangan matematika tak pernah dia tidak mengeluh. “ Aku tidak bisa matematika Whin….aku benci matematika.” Ucapnya dengan wajah memelas. Mungkin saja dia tidak suka dengan ilmu pasti, tapi kenapa dia masuk jurusan IPA yang notabennya setiap hari tidak akan luput dengan hitungan. Setiap hari pati ada tiga mata pelajaran menghitung dari matematika, fisika dan kimia. Teman-teman sekelasku pusing saat itu juga dibuat soal hitungan pasti, yang harus segera di selesaikan dan tidak ingin mendapatkan nilai dibawah 75. Oh teman-teman, cobalah kalian sedikit bersimpatik dengan matematika, ilmu itu tidak terlalu susah kok. Hanya ada satu kunci menyelesaikannya kawan. Pertama sukailah guru matematika terlebih dahulu. Kedua , musnahkan prinsip-prinsip hidupmu dengan mengandalkan kebetulan. Ketiga bukalah buku matematika mu tiap harinya walau hanya sepuluh sampai dua pulih menit saja. Setidaknya pahami maksudnya. Keempat yaitu jangan takut untuk mencoba. Tragis memang melihat pusing melanda kepala teman-temanku.
“Waktu selesai harap di kumpulkan di depan !” ucap pak Agus guru matematika paling disiplin. Teman-temanku tersentak seketika tak beraturan. “ Belum selesai pak… lima menit lagi ya pak “teriak kawan-kawanku histeris. “ Selesai tidak selesai segera di kumpulkan” Seketika kertas ulangan yang sudah bertuliskan lambang-lambang tulis eksak sudah berada ditangan guru matematika. Kawan-kawanku berhamburan saat itu juga. “Jawabanmu nomer dua berapa ?” tanya Zuba kepada Yani anak rangking satu di kelasku. “Jawabanku g(x) = 4x+20x²+25x³.” “Apa??? Jawabanku salah donk kalau gitu” balas Zuba tidak sadarkan diri. Tubuhnya terhempas dilantai begitu saja tak beraturan, teman-teman sekelasku semuanya syok mendadak. “ Gimana ini ?? Zuba pingsan seketika “ ucap Yani. ” Kenapa kok bisa pingsan?? Bagaimana cara mengangkatnya ke UKS ??” ujar Seto. Teman-teman sekelasku binggung sekali kalau Zuba yang pingsan, kami binggung kalau Zuba yang pingsan repot sekali membawanya, karena tubuhnya yang besar jadi harus ekstra tenaga menganggjkatnya. Terik matahari panasnya tak terhingga menyerap tulang-tulangku tak kenal apapun. Kulit hitamnku semakin lama semakin panas, menusuk di sumsum tulang rusuk ku. Siang ini waktu telah menunjukkan waktu 14.00 WIB, saatnya membuang rasa stress mendalam akibat ulah matematika kronis. Mandi selama tiga jam menjadi salah satu pilihan terakhir bagi penderita matematika kronis. Seperti tragedi siang tadi Zuba yang tengah pingsan oleh matematika. setelah di wawancarai mengapa dia tiba-tiba pingsan dia menjawab dengan wajah memelas. “ Kepalaku pening seketika saat mendengar jawaban matematika Yani. Itu melenceng jauh dengan jawabanku” cetusnya. “ Aku harus gimana whin”” gimana nati kalau aku remidi??. Otakku sudah buntu, mampet dan tidak bisa di bersihkan lagi.” Sambung Zuba. Sebegitu kroniskah matematika hingga membuat kawan-kawanku tak berdaya mengahadapinya. Bermandikan air bening satu bak mandi penuh selama tiga jam memang pilihan tepat meluruhkan lambang-lambang eksak yang tak mempunyai sentuhan seni. Akupun tak mau kalah, kumanjakan seluruh tubuhku dengan sentuhan klasik air bening yang transparan. Tiga jam penuh kamar mandi ku pakai tanpa gangguan dari siapapun. Tidak pula ibuku, ayahku, dan kakak adikku. Otakku seakan di ganti dengan otak yang baru. Segar tak terperikan, oh nikmatnya hidup ini jika tak ada yang mengaggu. “Tilulitt tilulitt” ponselku berdering seketika, itu tandanya ada sms yang masuk. Ku selesaikan upacara mandiku dalam rangka membuang gejala virus-virus matematika kronis, untuk segera membuka sms yang tengah menghiasi layar ponselku.
Upacara mandiku 3 jam penuh sukses tanpa gangguan whin Sender : Yana Ah dasar Yana upacara mandiku juga berjalan dengan sangat sukses dan lancar tanpa gangguan dari siapapun.
Upacara mandiku juga berjalan dengan lancar tanpa halangan To : Yana.
Tragedi matematika tidak berakhir sampai di sini, ada ulangan pasti juga ada hasil ulangan. Pagi ini ada pelajaran matematika, kabarnya hari ini pak Agus akan membagikan hasil ulangan kemarin. Kawan-kawanku sudah menyiapkan mental sekuat-kuatnya. “ Oh mimpi apa aku tadi malam, pagi-pagi begini sudah ada matematika. oh Tuhan selamatkan aku dari virus-virus matematika kronis ini.” Ucap Uus “Iya siapkan mental sekuat-kuatnya sajalah.” Hentakan kaki terdengar semakin kerras dan mendekat ke ruang kelasku. “ Selamat pagi anak-anak” ucap pak Agus guru matermatika. “Pagi pak……” balas kalwan-kawanku sekelas. “ Hari ini saya ingin membagikan hasil ulangan kemarin, saya sangat kecewa dengan hasil ulangan di kelas ini. Hanya ada lima anak saja yang tuntas dan lolos dari KKM “ desis pak Agus dengan ekspresi kecewa. Saat itu juga syok melanda di otak kami masing-masing. “Akan saya bacakan yang lolos KKM, hanya ada lima anak saja yaitu Yani, Seto, Rangga, Tino dan Whina saja.dan yang lain tidak lulus KKM.”
Braakkkkkk aku kaget melihat kejadian di pagi ini. Teman-temanku sekelas pingsan semua kecuali lima anak yang di sebutkan tadi. Oh syok telah melanda jiwa-jiwa kawanku. Virus matematika kronis telah menyerang seisi kelas XI IPA 2. Sampai saat ini belum ada yang bisa menyembuhkan penyakit matematika kronis. Oh Tuhan kelasku kacau akibat matematika kronis.
Profil Penulis: Nama : winarti Status : pelajar di SMA Negeri 1 Batangan Kelas : XI-IPA-2