Nay, itulah nama panggilanku. Kini aku duduk di bangku kuliah semester enam. Aktivitasku di kampus penuh dengan kegiatan organisasi serta menjadi relawan kegiatan sosial. Memang awalnya terasa berat, tapi itulah keinginanku. Keinginan dari dalam hati sanubari yang ingin meraih kesuksesan melalui pengalaman-pengalaman hidup di negeri rantauan. Sukses dimasa muda bukanlah sesuatu yang mustahil. Semua memerlukan waktu dan perjuangan yang luar biasa dan melakukan suatu kegiatan di luar kebiasaan kebanyakan orang. Bukan sekadar aktivitas biasa tetapi untuk menebus sebuah mimpi.
Ingin rasanya aku memiliki satu hari yang khusus dihadiahkan untukku. Hari dimana agar aku bisa beristirahat, sejenak menikmati hari libur. Sedikit menghirup udara segar dan terbebas dari rutinitas dalam kampus serta segelintir aktivitas luar kampus. Rumahku yang jauh dan jadwalku yang begitu padat membuatku jarang liburan pulang ke rumah. Libur Idul Fitri dan Idul Adha adalah jadwal rutinku untuk menemui kedua orang tuaku. Hal inilah yang membuat aku selalu rindu dengan kedua orang tuaku, terutama ibuku.
Ibuku seorang menejer yang luar biasa. Mampu mengurusi semua urusan dalam negeri rumah tangga. Menjadi sosok guru yang terbaik, satu-satunya menteri pendidikan yang kukenal yang mengajarkan nama-nama benda di sekitarku. Mengenalkan agama pada semua anggota masyarakat dalam keluargamu. Menjadi menteri pertahanan yang selalu setia mewujudkan visi misi kehidupan yang sakinah, mawadah, warahmah.
Sosok itulah yang membuat hidupku tetap semangat menjalani hari-hari yang telah Tuhan susun secara sistematis. Hari ini harus lebih baik agar hidupku terus berjalan dan maju ke depan. Walau terkadang rasa capek dan bosan menghinggapiku, menghipnotis semua semangat yang ada. Tapi, aku selalu mencoba menepisnya. Aku tak ingin perjuangan dan kerja keras mereka di desa sia-sia hanya karena sikap malasku. Demi menebus impianku, aku ingin kuliah dengan benar, dan sungguh-sungguh. Aku tak ingin mengecewakan mereka. Pada tiap tetes keringatnya ada kesungguhan dan keikhlasan untukku, memenuhi semua titah Tuhan yang diamanahkannya.
Semester ini memang semester yang melelahkan, tiap harinya hampir melumpuhkan seluruh sel-sel otot tubuhku karena kegiatan praktikum dan presentasi yang disambut dengan kegiatan mengajar disisa waktunya. Maklum sudah hampir lulus makannya aku tidak ingin selalu menggantungkan semua biaya hidupku pada orang tua. Aku lantas beranjak dari tempat tidur dan bergegas menuju kamar mandi. Dengan menarik napas dalam-dalam aku berkata. “Aku harus semangat..! Kamu tidak boleh malas, Nay.” Kataku sendiri mencoba untuk menyemangati. Ingat..! kamu harus segera merampas mimpimu itu dari jiwa malasmu.
Setiap pukul 2.00 dini hari aku buka jurnal praktikum yang bertumpuk dengan buku-buku yang lain. Aku mencoba melihat pekerjaanku kemarin. “Huft… apanya yang salah, ya?!” Tanyaku yang bingung sekali. Beginilah pekerjaanku setelah kegiatan praktikum. Mengerjakan pembahasan hasil praktikum yang sering tidak sesuai dengan teori. Karena aku mengambil prodi pendidikan kimia, mau tidak mau aku harus bergelut dengan angka-angka dan logika-logika yang aku sendiri tak tahu bagaimana menjelaskannya. Entah apa makna dari data-data itu sebenarnya.
Aku terkadang berpikir, bagaimana jika pekerjaan di labolatorium yang aku kerjakan ini benar-benar harus dijelaskan kepada siswaku. Niscaya aku akan bingung bukan kepalang. Menghitung perhitungannya saja aku terkadang kebingungan. Belum lagi reaksi-reaksi kimia yang kompleks dengan perhitungan yang rumit. Apalagi fasilitas lab yang kurang memadai. Pasti aku akan kebingungan. Hal tersebut merupakan tantangan tersendiri yang harus aku hadapi.
Meskipun begitu, dulu kimia adalah mata pelajaran yang aku sukai ketika aku masih di SMA. Pernah menjadi juara olimpiade tingkat propinsi dan tingkat nasional, itulah motivasiku. Oleh karena itu, aku ingin melanjutkan pengetahuanku mengenai kimia di jenjang perguruan tinggi ini. Aku merasakan kesenangan tersendiri dengan kumpulan angka-angka teoritis yang menarik itu. Perhitungannya jelas. Rumus-rumusnya juga jelas. Mudah sekali mempelajari kimia. Saat kita mengerjakan, anggap saja kita seorang ilmuwan. Dan saat mengerjakannya, anggap pula kita sedang mengerjakan laporan penelitian kita sendiri. Dengan begitu, belajar akan lebih menyenangkan. Jika kamu mendapati ketidaksesuaian pada hasil percobaan, lebih baik lanjutkan pekerjaannya esok hari untuk mencari penyebabnya. Sungguh, aku akan malas untuk melanjutkan pekerjaanku jika hasilnya tidak sesuai dengan teori. Bukan bermaksud menunda-nunda. Tapi aku ingin mengistirahatkan pikiran. Berharap, esok pikiranku akan segar kembali. Dan bisa meneliti pekerjaaanku. Salah satu kelemahanku adalah, kurangnya ketelitian dan kecermatan dalam melakukan praktikum. Meskipun aku memahami materinya, kecermatan, ketelitian, dan langkah kerja sangat penting dalam mengerjakan sebuah praktikum sederhana.
Mataku pun sudah mulai membengkak karena kelelahan aku ajak begadang. “Lebih baik, aku selesaikan setelah subuh saja.” Kataku sambil menutup buku. Aku langsung membaringkan tubuhku di atas kasur lantai.
“Nay, persen kesalahannya berapa?” Tanya Robby. “Aku belum selesai, Rob.” Jawabku setelah menyedot jus jambu yang ada dalam gelas plastik. “Ngapain sih, rame-rame?” Tanya Yudi. “Yud, persen kesalahan praktikum biokimia berapa?” Tanya Robby. Ia adalah teman sekamarku yang ingin tahu hasil praktikum kemarin. Aku salut dengan semangatnya. Ia selalu bertanya padaku, jika ia selesai mengerjakannya. Berusaha untuk mencocokkan, dan jika jawabannya berbeda secara teori dan salah. Kita akan segera membenahinya dan membahasnya bersama.
Pernah suatu kali, saya dan Yudi satu kelompok pada praktikum kimia fisika. Saya datang pagi-pagi ke kosnya untuk mencocokkan pekerjaannya yang salah. Sekarang ia tampak kebingungan sekali. Yang ngerti kimia fisika saja belum selesai mengerjakannya. Aku bisa melihar raut wajah kepanikan dari sikapnya. “Jangankan mengerjakannya dulu, soalnya ada tahapan perhitungan yang salah, masa persentase kesalahannya samapai 200%!” Jawab Yudi dengan santai dan terlihat tanpa beban. Tapi, dia adalah teman yang selalu memberiku semangat. Teman seangkatan yang selalu membuatku tersenyum. Mengobati kerinduanku terhadap ibu dan bapak.
Aku sudah lama tidak pulang ke rumah. Tugasku memberi les dan kegiatan di organisasi cukup membuatku kualahan. Antara tanggungjawab dan kerinduan teramat dalam pada kampung halaman. ‘Aku ingin pulang, ibu.., bapak..,’ Teriakku tertahan. Aku raba catatan-catatan mimpiku yang tertempel di dinding. 100 mimpi yang dulu dibuat harus secepatnya ku jemput.
Malam itu, terkenanglah cita-cita semasa SMP dulu. Saat itu terlintas dalam pikiranku ingin menjadi seorang guru. Bukan tanpa alasan, saat itu guru biologiku sangat mahir menjelaskan pelajarannya. Tidak hanya itu, dia juga mengajar bahasa inggris dan bahasa sunda yang membuat ku terpesona. Saya ingin sekali menjadi guru karena guru ilmunya tidak pernah habis walau setiap hari diberikan pada orang lain.
Saat ini langit begitu cerah bertabur bintang-bintang nan menawan. Seperti kehidupanku saat ini, banyak teman disekelilingku. Namun kau rindu hadirnya rembulan, dialah ibuku yang paling berharga dalam hidupku. Membuat hidupku jauh lebih lengkap.
Angin malam kota Bandung menerpa kulitku, terasa dingin hingga menusuk tulang. Aku merasakan kerinduan timangan kasur nan empuk di kamarku. Membawaku masuk dalam kamar. Perlahan-lahan, diriku dibawa terbang ke awan. Menyusuri pulau nan indah bersama ibuku. Kami sekeluarga terlihat gembira dan begitu menikmati. Aku melihat senyum yang begitu natural, senyum yang terpancar dari hati. Sesuatu yang ibu ekspresikan dengan tulus. Aku begitu senang melihat ibu bahagia. “Buatlah ibu bangga, Nay. Jangan biarkan orang lain merendahkan dan meremehkan kita. Aku yakin kamu pasti bisa membuat ibu tetawa dan bahagia lebih dari hari ini.” Kata ibu mengelus punggungku. Tangannya begitu hangat.
Hari-hari begitu cepat berlalu. Begitu mudah siang berganti malam dan malam berganti siang. Namun tak semudah kewajibanku sebagai mahasiswa yang mengemban amanah berat dari orang tua agar cepat lulus. Itulah beban terberat, lebih berat dari mengangkat badanku sendiri.
Masa praktik mengajar di sekolah berupa matakuliah pendidikan latihan profesi telah selesai. Skripsi yang saya kerjakan belum juga beranjak dari proposal awal yang dulu diajukan. Pasalnya, instrumen penelitian yang diperlukan belum juga terselesaikan. Hal inilah yang menjadi tembok raksasa yang sulit ditaklukan, lebih kokoh dari pada tembok China. Disisi lain, kontrak kamar kos akan habis akhir bulan Agustus. Rasanya tidak mungkin untuk meminta uang lagi untuk mengontrak satu tahun lagi gara-gara tidak lulus tepat waktu. “Uang dari mana?” pikirku. Apa alasanku nanti.
Agustus ini saya bertekad untuk menjadikannya bulan Ramadhan ini Ramadhan terakhir masa kuliahku. Konon bulan puasa adalah bulan yang penuh berkah, dimana semua doa yang kita panjatkan dengan kesungguhan akan cepat terkabul. Disaat-saat itulah semua beban problematika hidup saya curhatkan pada Tuhan. Semoga curhat ini mendapatkan jawaban, harapku begitu menggebu. Tak ada jalan lain, hanya kepada-Nyalah aku kembali.
Bulan Agustus belum berakhir, tapi jawaban Tuhan sudah terlihat begitu jelas. Ada beberapa dieal-dieal yang kami buat dengan beberapa teman kerja di lembaga bimbel. Salah satu alternatifnya adalah saya diperbolehkan tinggal di tempat bimbel jika masa kontrak kos habis. Tawaran tersebut merupakan lampu hijau untuk terus melaju menggapai impian yang hampir pupus.
Masa kontrakan habis telah tiba, akan tetapi seluruh barang milikku telah dipindahkan ke tempat bimbel. Berada di tempat bimbel sudah lebih nyaman ketimbang numpang di tempat kos teman. Beberapa minggu berlalu di tempat bimbel, namun kondisi keuangan semakin boros. Itu terjadi karena jarak dari tempat bimbel ke kampus yang sangat jauh. Harus naik dua kali angkot untuk mencapai tempat baruku itu.
Tempat baru ini seakan memberikan energi yang mahadahsyat, akhir awal September saya melakukan penelitian di tiga sekolah negeri di kota Bandung. Seolah tak peduli dengan kapasitas kekuatan tubuhku, aku mengerjakannya seolah tanpa kehabisan energi. Maklum target kelulusan di bulan Desember harus tercapai. Untuk bisa wisuda bulan Desember, sidang skripsi paling telat adalah bulan Oktober. “Masih ada beberapa mingggu”, gumamku dalam hati. Saya pasti bisa lulus sesuai target.
Ketika energi aktivasi dalam jiwa ini telah mencapai puncaknya, minggu demi minggu, hari demi hari, jam, menit dan detiknya saya manfaatkan secara cantik. Disela-sela rapat pun saya bisa membuat beberapa lembar pembahasan hasil penelitian. Entah malaikat apa yang membantu, seolah-olah pikiran ini menerobos gelapnya lorong-lorong ide.
Selama dua minggu terakhir sebelum sidang, rasanya tidurku tidak pernah nyenyak. Kegelisahan selalu datang seolah menyapa seberapa besar keseriusanku untuk bisa lulus tepat waktu.Hanya doa yang saya pinta saat itu, semua keluarga di rumah mendoakanku. Linangan air mata menghiasi pipi ini, seolah dia hadir untuk mengingatkan semua kecerdasan milikmu itu sebenarnya bukan milikmu. Dikala galau dan jauh dari rahmat-Nya seolah ide dan gagasan pergi meninggalkanku satu per satu. Terasa aliran darah ke otak ini berhenti mengalir, pusing bukan kepang. Hanya sujud dan rukulah yang menjadi pengobat stress.
Draf skripsi yang dibalut warna merah tua telah tersusun di kantor jurusan. Diantara tumpukan tersebut ada drafku yang masuk paling terakhir. Hampir-hampir kantor jurusan tutup karena terlambat ke kampus.
Seminggu kemudian tibalah saatnya ujian sidang, pada Kamis tanggal 27 Oktober 2011 pukul 08.00 wib saya ujian sidang. Dihadapan penguji saya merasa orang yang paling banyak kelemahannya, walaupun bisa disembunyikan pasti penguji akan mengorek dalam-dalam untuk mengungkap materi matakuliah yang belum saya kuasai atau sekadar nguji mental. Alangkah soknya satu pertanyaan dari dosen penguji tidak bisa saya jawab dengan baik. Rasa percaya diri berangsur mulai memudar. Sesaat kemudian dosen penguji kedua bertanya tentang proses pengambilan data dan pengolahannya. “Inilah pertanyaan yang saya tunggu-tunggu” bisik dalam hati. “Akan saya jawab dengan panjang lebar agar waktunya habis, sehingga penguji ketiga tidak sempat bertanaya” setrategi itu muncul secara otomatis. Benar saja, penguji ketiga hanya menyampaikan apa yang akan ia Tanya padaku tanpa harus aku jawab karena waktunya telah habis.
Pada hari yang sama, pukul 14.00 di ruang rapat dosen, ketua jurusan pendidikan kimia, Dr. Ahmad Mudzakir, M.Si menyampaikan hasil ujian sidang pada bulan Oktober. Alangkah kagetnya ketika ketua jurusan mengatakan nilai IPK saya adalah 3, 42. Hal yang tak terduga karena nilaiku naik dari sebelumnya.
Beban agar lulus tepat waktu telah lunas. Namun mimpiku belum tertebus. Dua minggu berlalu setelah ujian sidang, beberapa tawaran pun muncul. Jiwa petualangku muncul sehingga ada satu tawaran untuk menjadi guru akau terima. Alasannya, saya dapat menggali potensi, mengembangkan life-skill, meningkatkan kedewasaan, mengubah pola pikir, meningkatkan kemandirian, menambah wawasan dan pengalaman hidup yang akan memberi banyak warna yang indah dalam setiap derap langkah hidup saya
Setelah lulus dari jurusan pendidikan kimia Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) pada tanggal 21 Desember 2011, saya memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahiranku di Serang, Banten. Setelah lolos seleksi program SM-3T (Sarjanan Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal), saya menjadi guru dan mendapat tugas mengajar di SMA Negeri 1 Amarasi Timur.
SMA Negeri 1 Amarasi Timur terletak di sebuah kecamatan terpencil, Amarasi Timur, yang masuk dalam wilayah Kabupaten Kupang-NTT. Jarak untuk mencapai Amarasi Timur dari Kota Kupang adalah 67 km, medan yang harus dilalui pun terbilang berat. Jalan berliku naik-turun bukit dan melewati beberapa sungai sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat Amarasi Timur. Amarasi Timur dipilih karena pertimbangan keterbatasan akses informasi, komunikasi, penerangan, dan transportasi.
Kini telah ku tebus cita-cita itu, namun aku harus rela tinggal jauh dengan orang-orang yang saya cintai. Inilah kasih sayang yang terungkap melalui cara yang berbeda. Jauh dimata, dekat dihati, mungkin itu kata-kata yang cokok. Untuk membayar semua mimpi itu dibutuhkan energi dan biaya kerinduan yang luar biasa dahsyat. Semoga hari-hari di sini bisa dilalui dengan semangat dan gembira. Semoga keluarga yang nun jauh di sana diberikan kesehatan dan umur yang panjang. Aku akan segera kembali.
Cerpen Karangan: Nayudin Hanif Facebook: https://www.facebook.com/nayudin Saya adalah guru kimia lulusan Universitas Pendidikan Indonesia. Hobiku adalah menulis dan membaca.