Malam semakin larut namun suara deru mesin masih terdengar memecah kesunyian malam, aku berjalan menuju ke sebuah ruangan tempat ayahku bekerja menghidupi keluarganya padahal jam di dinding sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, raut wajah kelelahan dan tubuh yang semakin merunduk membuatku tak tega melihat sosoknya yang sedang menggerakkan kaki, tangan dan fikirannya untuk merubah sehelai kain itu untuk menjadi sebuah kain indah pesanan pelanggannya, aku pun melangkah mendekatinya sambil membawakannya secangkir teh hangat.
Bapakku sudah lama menjadi seorang penjahit, semua pelanggan sangat puas dengan pekerjaannya makanya tidak heran banyak pelanggan yang sering datang ke rumah untuk dibuatkan pakaian olehnya, tapi kadang aku tidak suka dengan keadaan seperti ini bahkan disaat ayahku sedang sakit mereka tetap memohon untuk dibuatkan pakaian, bukan ayahku kalau tidak mengiyakan semua itu.
“ayah hanya ingin bisa beramal dengan membahagiakan orang lain” kata-kata itulah yang senantiasa ia lontarkan ketika aku memaksanya untuk menolak tawaran mereka. Tapi aku tetap salut pada ayahku yang selalu ingin bisa mebahagiakan orang lain walau pengorbanannya selalu dianggap sepele oleh orang lain.
“ayah, sekarang sudah malam, lebih baik ayah istirahat apalagi bapak kan sedang sakit” kataku berharap ia bisa mendengarkan perkataanku. “tapi nak, ayah sudah berjanji akan menyelesaikan pekerjaan ini besok, dan pagi-pagi sekali ayah harus mengantarkan pesanan ini ke pak hadi” ujarnya sambil menyeruput teh yang tadi aku bawa. “tapi ayah juga harus memikirkan kesehatan ayah juga”. aku terus berusaha membujukknya untuk segera beristirahat. “iya nanti ayah akan istirahat, lagian bajunya juga hampir selesai” ujarnya sambil tersenyum. “lebih baik kamu tidur, besok kamu antarkan adikmu ke sekolah soalnya bapak mau ke rumah pak hadi, mau nganterin pesanannya” tambahnya tanpa mengalihkan perhatiaannya pada mesin jahit tua itu. Aku pun mengangguk dan bergegas kembali ke kamar meninggalkannya bersama mesin tuanya, walau sebenarnya aku ingin sekali menemaninya di sana.
Pagi ini hujan sangat lebat namun aku melihat ayahku yang sedang bersiap-siap mengantarkan baju pesanan pak hadi dengan jas hujannya. “yah, sekarang kan sedang hujan lebih baik diantarkan nanti saja” cegahku. “nggak bisa gitu kak, ayah kan sudah janji akan mengantarkannya pagi-pagi sekali dan ayah nggak mau ingkar janji” katanya “tapi mungkin mereka juga mengerti keadaan ayah sekarang” aku tetap memaksanya untuk tidak berangkat ke sana. Ayahpun hanya tersenyum sambil menyalakan motornya dan pergi meninggalkanku yang terus menatap punggungnya sampai akhirnya sosok itu benar-benar menghilang ditelan derasnya air hujan.
Siangnya aku bergegas pulang untuk memastikan keadaan ayah, tapi yang pertama aku lihat adalah sosok adikku yang menangis dan mengiba kepadaku. “kakak…” “ada apa dek?” kataku sambil mengelus-elus tubuh mungilnya. “ayahmu tidak dibayar lagi” kata ibuku sambil mendekatiku dan menggendong adikku. Aku terpaku mendengar penjelasan ibu dan membuatku ingin memarahi setiap orang yang hanya memanfaatkan kemampuan ayahku untuk memenuhi kebutuhan mereka tanpa mau mengerti keinginana ayahku, tapi ayah tetaplah ayahku yang selalu sabar dan gigih untuk bisa menyenangkan hati semua pelanggannya dan menjadi orang yang bertanggung jawab terhadap beban yang ia terima.
Kini sosok itu sedang terdampar tiada daya, tubuh kurusnya senantiasa menempati tempat tidurnya akibat penyakit yang ternyata sudah menggerogotinya selama bertahun-tahun tapi ia tidak pernah memberitahukannya kepada orang lain dan kini aku meresa bersalah karena aku terlalu sibuk dengan obsesiku, aku pergi meninggalkannya selama 6 tahun hanya untuk mengejar mimpiku kuliah ke luar negeri tanpa berkomunikasi atau sekedar menanyakan kabar mereka dan kini yang aku bisa merasakan tangannya yang dulu begitu terampil dan bersahabat dengan gunting dan mesin kini hanya terkulai lemah tanpa tenaga.
“d..dd…dea… a…a…an…nak…ku…” katanya terbata-bata. “ayah… maafin dea ayah… dea udah jadi anak durhaka…” aku mencoba meluapkan penyesalanku. “t..ti..dak…k.. ka..mu… s…su..da..h… m..men…j..ja..di.. an..ak.. y..ang… b…isa… bua…t.. a..yah… ba..ng…ga..” “ayah maafin dea.” Kataku terus meminta maaf. Ayah pun mengangguk lemah dan sedikit demi sedikit aku merasakan tubuhnya semakin lemah dan dingin seperti es, kini sosok yang begitu aku rindukan dan aku banggakan telah pergi meninggalkanku dalam penyesalan.
Cerpen Karangan: Rofiatussaadah Blog / Facebook: Rofiatus Saadah