“Jangan dekati anakku! Paham?” *plakk*. Sebuah tamparan mendarat di pipi kiriku. Di keluarga ini aku hanyalah anak tiri yang tak berhak untuk membela diri. Tiap kali ku harus menerima perlakuan ibu tiriku. Namaku Rehan usiaku 18 tahun dan aku duduk di kelas tiga SMK.
“Gara-gara anak ini kita akan jadi miskin!” Ucap ibu sembari menunjukku. Malam itu aku hanya meminta bayaran sekolah, aku tak menyangka akan jadi ribut begini. “Terus bagaimana lagi Yank?” Ucap ayah. Namun ibu tak menjawab malah pergi dengan pandangan tajam kearahku. *plakk… plakk…* Ayah menamparku. “Kau sudah besar, apa tak tau baca situasi?” . “Maaf yah”. Ucapku dengan menundukkan pandangan. “Sudahlah. Pergi ke kamarmu! Ayah akan bujuk ibumu”. Aku pun masuk ke kamar.
*clek* Suara pintu dibuka. Aku sontak menengok ke arah pintu kamarku. “Ibu?” Ucapku serentak ketika melihat ibu masuk kamarku dan mengunci pintu itu. “Kamu ingin buat aku mati?”. “Kenapa ibu bicara begitu?”. “Sssttt… Jangan panggil aku ibu!. Anakku hanya Andra” Ucap ibu. Andra adalah saudara tiriku. Umurnya sama denganku. “Buka bajumu!” Lanjutnya. Aku terdiam tak tahu dengan ucapan ibu. “CEPAT!”.
Aku pun segera membuka baju. “Apa yang..” Belum selesai aku bertanya, aku berteriak serasa ada yang menggores badanku keras. “Diam!” Ucap ibu berbisik. Ku melihat ibu memegang ikat pinggang ayah. *cetar…* Jeritanku tertahan. “Agar kamu rasakan bagaimana perihnya diriku akibat perbuatan ibumu itu” Ucap ibu sembari terus memukuliku dengan ikat pinggang. Sebisa mungkin aku menahan rasa sakit ini.
Tok… tok… tok… “Re, buka pintu! Ayah mau bicara”. Aku diam saja. “Re… cepatlah buka!”. “Akh…”. Aku menjerit tak sengaja karena ibu memukulku sangat keras. “Re… kau kenapa? Bukalah!”. Ibu berhenti dan membuka pintu. Raut wajah ayah sangat cemas. “Sayang apa yang kau lakukan di sini?” Ucap ayah menanyai ibu. Ibu hanya diam saja dan pergi. Ayah langsung menghampiriku yang masih telanjang baju. “Ya ampun Re… Kenapa begini?” Ucap ayah yang melihat luka di punggungku. Ayah langsung mengambil kotak P3K yang ada di kamarku.
“Ibu melakukan ini padamu?” Ucap ayah sembari mengobati lukaku. Aku hanya diam. Dan pastinya itu sudah jadi jawaban untuk beliau. “Yang sabar ya Re. Ibumu pasti akan menyayangimu suatu hari nanti”.
Hari ke hari aku semakin tak ingin tinggal di rumah ini lagi. Ibu yang selalu membentak dan mengutukku dengan perkataan yang amat menyakiti hati. Sementara saudara tiriku malah ikut memusuhiku. “Aku tak tahan lagi. Jijik aku melihatmu” Ucap ibu. *Bugh…*. Kepalaku seakan pusing. Pandanganku terus mengarah ke bawah dan gelap.
Aku membuka mata dan tiba-tiba saja aku berada di kasurku. Kulirik sebelah kananku, ayah tertidur di sampingku sembari duduk. Ku masih merasakan pening. Kupegang kepalaku ternyata ada perban. “Kau sudah sadar Re?” Ucap ayah sedikit menguap. “Ayah. Ayah usirlah aku dari sini atau biarlah aku pergi dari sini!”. “Mana boleh begitu Re? Kau anak ayah satu-satunya”. Ucap ayah spontan. “Apa maksud ayah? Ayah masih punya Andra. Aku hanya anak tiri…”. *plakk* Ayah menamparku. “Siapa yang bilang kau anak tiri? Siapa hah? Kau anak ayah dan ibu. Kau anak kandung ayah dan ibu”. “Ayah bohong”. Aku hendak berdiri meski kepalaku amat berat tapi ayah mencegahku. “Diam di sini! Ayah akan cerita yang sebenarnya”. Ucap ayah sembari menahanku.
“Sebenarnya ayah punya dua istri. Istri pertama ibumu dan istri kedua ayah meninggal dua bulan setelah kami menikah. Waktu itu ibumu mengandungmu sudah 9 bulan. Kau pun lahir dengan selamat. Meski waktu itu ayah sedang berduka namun ayah amat bahagia karena kau lahir dengan sehat. Tapi ibumu tak mau memegangmu karena matamu mirip dengan istri kedua ayah. Diam-diam ibumu benci dengan istri kedua ayah”. “Andra bagaimana?”. “Ayah terpaksa mengadopsi bayi yang sebaya denganmu karena ibumu meminta bayinya yang sesungguhnya. Ibumu ngotot kau bukan anaknya”. Aku terdiam.
“CUKUP!” Ucap ibu. Tiba-tiba saja ibu datang. “Kau penipu! Dia bukan anakku!”. Ucap ibu sembari memegang pisau. “Sayang kau tenang dulu” Ayah berusaha menenangkan ibu. “Dia atau aku yang mati?” Ucap ibu sembari menghadapkan mata pisau ke perutnya. “Ibu aku anakmu”. “Cukup!”. Aku mendekati ibu perlahan. “Apa yang harus kuperbuat agar ibu mengakuiku?”. “Hilangkan matamu itu dari hadapanku”. Ucap ibu sembari membuang pisau ke bawah kakiku. Kuambil pisau itu dan kuarahkan di mataku. “Re jangan!” Ucap ayah. “Jangan Re!” Ucap ibu yang mengagetkanku. “Maafkan ibu!” Ucap ibu sembari memelukku dan membuang pisau yang kugenggam. “Cukup Re! Cukup! Maafkan ibu ya sayang”. Aku senang sekali. Aku tak menyangka ibu memelukku.
“Kalian semua memang pembohong!” Ucap Andra yang tiba-tiba datang. Andra langsung pergi dari rumah dengan menggunakan motor. “Biar ayah kejar dia sayang. Kalian di rumah. Re…” Ayah memanggilku. “Jaga ibumu baik-baik” Lanjutnya. “Siap ayah!” Ucapku penuh bahagia. Ayah pun pergi menyusul Andra.
Tak lama suasana yang tadinya hangat terasa dingin kembali. “Duduklah kau” Ucap ibu sembari menepuk kasur yang ia duduki. Aku pun duduk di sampingnya. “Pegang ini!” Ucap ibu memberikan botol kecil yang berisi air. Entah aku tak tahu maksudnya. “Pegang!” Ibu kembali mengulangi perkataannya karena ku diam saja. Ku pun menerima boto kecil itu. “Apa ini bu?”. “Racun” Jawab ibuku. “Ku tak butuh sepasang matamu itu. Ku butuh nyawamu. Aku sudah muak dengan sakit ini. Apa kau tau rasanya?” . Aku diam saja. “Kalau kau sayang ibu, minumlah demi ibu. Apa kau tega melihat ibumu ini menderita sepanjang hidupnya? Mau?” Aku menggelengkan kepala. “Tapi ibu aku ingin selalu di sampingmu”. Ucapku. “Kau tak mengerti. Kau tak mengerti rasa sakit ini. Rasa sakit yang amat menyiksa. Lebih baik ku mati daripada ku melihatmu dan terbayang akan perempuan hina itu”. “Ibu perlahanlah terima diriku ini. Atau aku tutup mataku agar ibu tak mengingatnya lagi atau bisa ibu ambil mataku untuk selamanya. Atau…”. “CUKUP!. Ibu hanya bisa bahagia bila kau mati”. “Apa ibu yakin?”. Ibu merebut botol itu dari tanganku dan membukanya. “Ibu mohon. Ibu hanya ingin bahagia setelah sekian lama menahan sakit ini”.
Aku mengambil botol itu dan meminumnya. Air mataku menetes tak tertahankan. Ibu tersenyum lebar. Itu pertama kali ku melihat ibu tersenyum. “Ibu… ibu… na…fas..” Sesak nafasku. Udara seakan-akan menghilang. Mataku terasa lelah dan berat. Aku mengantuk dan gelap.
Cerpen Karangan: Siha Muflikhah Blog / Facebook: Ais Cinta