Secara harfiah, manusia memiliki 5 alat panca indera. Mata, hidung, telinga, lidah dan kulit. Dan masing-masing memiliki tugasnya sendiri. Mungkin kalian semua tahu apa tugasnya dan aku tidak perlu menyebutkannya di sini. Namun, di mataku, manusia memiliki satu lagi indera. Dan ini berbeda dengan indera keenam yang sering disebutkan. Kalian tentu tahu, dalam sehari penuh bumi berotasi selama 24 jam. Selama itu pula aktivitas manusia berjalan. Dari bangun tidur hingga kembali tidur. Dalam sehari itu, manusia memiliki sejumlah peristiwa tak terduga. Termasuk indera keenam ini.
Indera keenam ini adalah mampu melihat dan merasakan perasaan orang lain. Sayangnya, indera keenam ini yang aku tahu hanya ada pada keluargaku, termasuk aku. Tak percaya? Pada awalnya aku juga. Lambat laun, aku bisa menerima. Dan aku tak tahu apakah ini bisa dikatakan kekuatan atau keanehan.
Umurku baru menginjak 7 tahun ketika aku mendapatkan penglihatanku. Masih teringat segar dalam ingatanku ketika aku bermimpi yang sama sekali tak pernah aku duga. Bermimpi nenekku -yang meninggal 5 tahun silam- datang menghampiriku, mengatakan tidak lama lagi aku akan mendapatkan sesuatu yang telah turun temurun atau bisa dikatakan “kutukan” dalam penglihatanku.
Dan benar saja, 2 minggu setelahnya, aku demam tinggi dan pingsan selama 3 jam. Ketika aku membuka mata, semua orang di sekelilingku terkejut melihatku. Ibuku langsung memelukku dan bergumam maaf. Air matanya berderai membasahi pipi. Saat detik itu juga aku tahu, aku berbeda dari teman sebayaku. Aku mampu melihat yang orang lain tidak bisa lihat, sekalipun orang indigo.
Perasaan. Ya, aku mampu melihat dan merasakan perasaan orang. Entah itu kecewa, bahagia, sedih, maupun sedang jatuh cinta. Iris mata sebelah kiri berganti warna dari hitam menjadi biru langit. Sungguh, orang selalu berpikiran aku aneh karena iris mataku. Untuk menyamarkannya, aku selalu memakai penutup mata seperti bajak laut yang ada di film. Kalian tahu? Ini sangat menyiksaku. Jika aku terlalu memfokuskan pandanganku pada seseorang, mata kiriku selalu beraksi, merasakan apa yang orang itu rasakan. Terkadang, orang di sekitarku menganggap aku gila karena perubahan moodku yang drastis. Namun, aku tak mampu menolaknya. Entah bagaimana cara menghilangkannya. Dan aku berharap, “kutukan” ini bisa dihilangkan.
Malam takbiran, aku berjalan menyusuri trotoar-yang masih basah sehabis hujan- sembari mendengarkan alunan takbir. Sungguh tenang hatiku medengarnya. Entah ada apa dengan hari ini, tiba-tiba di sudut jalan, aku melihat gadis kecil-kira-kira berusia 9 tahun-terduduk sembari memegang tangannya, menggigil. Aku mencoba tidak memfokuskan pandanganku pada gadis kecil itu. Namun, mata ini berkhianat padaku, malah kakiku berjalan perlahan menghampiri gadis manis itu. Kecewa, sedih, marah. Perasaan itu langsung mengampiriku. Seandainya aku mampu membaca pikiran orang, mungkin saat ini aku tahu apa yang terjadi pada gadis kecil itu, yang saat ini sudah ada di hadapanku.
“Hai, gadis manis.” sapaku dengan lembut. Diam. Tidak ada respon. Mata gadis itu tetap kosong. Kugoyangkan pelan bahunya. Berhasil. Ia menatapku. “Kenapa diam di sini, hmm?” tanyaku pelan. “A-ku… tidak tahu.” Sungguh, aku tidak tega melihat langsung bola matanya. Tersirat luka di mata coklat itu. Aku ingin menangis. Tidak kuat dengan perasaan gadis ini. “Apakah kamu mau ikut denganku? Jalan-jalan atau sekedar duduk santai?” ajakkku. Anggukan pelan atau mungkin tidak terlihat itu menunjukkan kemajuan pada gadis ini.
Kemudian aku gandeng tangan kecil ini. Terlihat jelas dari dekat penampilan gadis ini. Kemeja coklatnya terlihat lusuh dan beberapa kancingnya ada yang lepas. Celana kainnya banyak bercak lumpur. Rambut ikal yang diikat satu, beberapa helainya keluar dari ikatannya. Ia tidak memakai satupun alas kaki. Matanya merah, mungkin sehabis menangis. Kami berjalan menuju tempat duduk di dekat taman kota. Sepanjang perjalanan, gadis ini hanya menunduk, menatap kakinya yang berjalan. Aduh, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan untuk menghiburnya. Sesampainya di tempat duduk, aku pamit sebentar, bilang padanya aku membeli minuman ringan. Ia hanya mengangguk tanpa melihatku.
Saat kembali dengan 2 kaleng minuman, gadis itu menunduk. Bahunya bergetar menandakan saat ini ia menangis. Dengan cepat, aku berjalan mengampiri dan langsung memeluknya. Ia balas memelukku. Aku hanya bisa mengguman kata-kata menenangkan. Sungguh malang gadis yang saat ini menangis sesenggukan di pelukanku.
Setelah 10 menit, akhirnya tangisannya mereda. Aku memberikan minuman yang aku beli tadi padanya. Ia menerimanya dengan ragu. Aku tersenyum padanya, menyakinkan. Gadis kecil ini meminum dengan pelan, sangat pelan. “Apakah kamu mau menceritakannya padaku?” tanyaku pelan. Lalu ia mulai menceritakan kisahnya yang memilukan.
“Aku sedang bermain dengan temanku di dekat rumah. Kami bermain petak umpet. Mungkin ini salahku yang bersembunyi terlalu jauh. Kemudian datanglah dua orang berbaju serba hitam. Aku tak tahu mengapa mereka menghampiriku. Aku disekap dan digendong menuju mobil yang tak jauh dari tempatku bersembunyi.” “Mereka menutup mataku, jadi aku tak tahu akan kemana mereka membawaku. Saat sudah tidak terdengar suara mobil, aku tahu kami sudah mencapai tujuan. Kemudian mereka menggendongku lagi. Aku mendengar suara pintu terbuka. Mereka membuka penutup mataku dan mengunciku sendirian dari luar. Aku berada di ruangan yang sama sekali tidak pernah aku lihat. Di tengah ruangan, ada ranjang super besar dengan sprei putih. Di sebalahnya, terdapat nakas dengan bunga yang diletakkan di vas. Dindingnya bercat putih yang seharusnya menambah kesan elegan pada ruangan itu.” Ia berhenti sejenak. Menghela napas sebelum melanjutkan kisahnya.
“Ceklek. Aku mendengar suara pintu terbuka. Aku terkejut melihat ibukku dibawa masuk. Mereka menjelaskan bahwa ibuku tidak sanggup lagi membayar sewa ruamh kontrakkan kami. Ibukku dengan terpaksa memjualku pada orang kejam itu. Aku sungguh tidak mengerti karena kehidupan kami berjalan dengan baik…”
“Maaf menyela.” ia mengangguk singkat. “Dimana ayahmu?” “Bersama istri dan anak-anaknya. Ayahku menikah lagi karena kondisi eknomi keluarga kami. Beliau menikah dengan seorang janda beranak satu saat usiaku 5 tahun. Istrinya merupakan pengusaha sukses.” Oh, gadis manis ini tersenyum pahit mengingat ayahnya yang meninggalkannya.
“Datanglah pria dewasa masuk ke ruangan itu.” Ia kembali melanjutkan ceritanya. “mungkin ketua dari kelompok itu. Aku diperk*sa. Anak yang tidak tahu apa-apa diperk*sa. Orang itu… merobak kemejaku.” ia menujuk kemejanya. Menangis lagi. Saat itu aku tahu mengapa matanya terpancar kesedihan yang mendalam. Aku, tentu saja merasakan perasaan itu. Karena aku menahan tangis demi terlihat kuat di hadapannya.
“Lalu bagaimana kau bisa keluar dari neraka itu?” “Ibuku. Ibuku yang memberi tahu. Beliau bisa sedikit bela diri. Tapi terlambat, aku sudah sepenuhnya diperk*sa. Ibuku menendang pria yang memperk*saku. Beliau meminta maaf padaku dengan segala hal yang menimpaku. Kami berlari menjauh dari ruangan itu. Ruangannya berada di sebuah rumah yang jauh dari rumah kami. Sedihnya, saat itu juga hujan deras mengguyur. Kami berlari bersama sebelum para penjaga itu berhasil menangkap kami. Dan berkali-kali pula aku terjatuh.”
“Untungnya sebuah mobil berhenti. Menawari kami tumpangan. Tentu saja kami menerimanya. Sayangnya, sebuah truk menabrak mobil yang kami tumpangi. Ibukku dan supir meninggal di tempat. Hanya aku yang bertahan hidup. Aku menjerit ketakutan. Musibah bertubi-tubi datang menghampiriku. Aku berlari ketakutan sebelum mobil itu terbakar. Dan aku menemukan tempat berteduh. Di sudut jalan tadi.”
Aku takzim mendengar ceritanya. Astaga, betapa mengerikannya kehidupan gadis ini. Di usianya yang terbilang muda, ia sudah mendapat cobaan yang begitu berat. Aku menangis bersama gadis ini. Inilah perasaan yang begitu mengena selama 15 tahun sejak aku mendapat penglihatanku. Aku tak tahu mengapa ada kehidupan yang begitu kejam.
Lihatlah bulan. Lihatlah bintang. Di sampingku terduduk anak manusia menangis, meratapi nasibnya. Sungguh kejam nasib yang menimpanya. Ternyata masih ada kehidupan yang lebih kejam dari keanehan yang aku alami.
Cerpen Karangan: Avi Phi Blog / Facebook: Jovanka Aviliani Septin