Ve POV Jam masih menunjukkan pukul 08.00 pagi. Gue males banget di rumah. Oh iya, gue ini saudara sepupunya Bisma. Cuma’ gue lebih tua dari dia. Mungkin terpaut 8 bulanan saja. Gue tinggal di Jakarta. Sedangkan Bisma tinggal di Bandung. By the way gue kangen banget ama dia. Udah hampir 1 tahun gue nggak ketemu. Dulu gue tinggal serumah ama Bisma. Tapi satu minggu kemudian bokap gue bilang katanya ada tugas di Jakarta. Gue terpaksa ikut bokap gue. Nyokap gue udah meninggal saat dia nglahirin gue. So, nyokap Bisma udah kaya nyokap gue sendiri. Next!!!
Gue duduk di sofa ruang tamu sambil ngotak-ngatik ponsel gue yang hampir kaya mayat hidup. Nggak ada SMS ataupun telepon sekalipun. Sambil ditemani jus jeruk buatan pembantu gue. Hmmm…
Ceklek… Bokap gue masuk ke dalam rumah nggak pake’ salam. Gue lihat dia kayaknya tergesa-gesa banget. “ada apa pah?” “dokumen penting papa ada yang ketinggalan” “oh…” “Ve, minggu depan papa ada tugas di Bandung. Kamu harus ikut” “ha? Maksud papa kita akan tinggal dirumah Bisma?” “iya” “yes… berarti Ve bisa ketemu Bisma lagi dong pa? Duh Ve jadi nggak sabar. Ve kangen banget sama Bisma pah…” “kamu ini… haha”
Hari ini gue mau berangkat ke Bandung. Bandung, I am Coming! Hmmm… kini, gue sudah berada di depan rumah Bisma. Setelah menempuh waktu yang lumayan lama. Papa menurunkan gue dulu disini. Dia nggak bisa ikut karena tugasnya yang ada di sini. Gue melihat adik kecil Bisma sedang bermain dengan tante Ratih (mamanya Bisma). Kayaknya mereka sedang bersenang-senang. Dengan sigap gue memasuki gerbang bercat putih ini. Tante Ratih melihat kedatangan gue. Dia diam sejenak. Sambil menatap gue antusias. David, adik kecilnya Bisma menghentikan aktivitas mainnya. Ia juga melihat gue sejenak. Tante Ratih tetap diam. Sedangkan si David berlari ke arah gue dan memeluk gue. Erat. Erat sekali. Selayaknya orang yang baru pertama kali bertemu. Tante Ratih berdiri dari bangku yang ia duduki. Ia menghampiri gue dengan sejuta tanda tanya. Ia mendekap mulutnya. Perlahan air matanya mengalir membasahi pipi mulusnya. Tak lama ia meluk gue. Sangat erat.
Tiba-tiba ada suara klakson motor dari arah belakang. Gue melepaskan pelukan tante Ratih. Gue langsung menghadap ke arah sumber suara. Deg! Bisma. Apa benar ini Bisma. Duh! Gue benar-benar nggak percaya. ia menaiki motor Cagiva hitam kesayangannya. Motor pembelian bokap gue 2 tahun yang lalu. Bisma langsung turun dari motor. Ia ngeliat gue sejenak. Dia juga meluk gue. Lebih erat dari tante Ratih dan David.
“Bisma gue kangen banget ama lo. Udah hampir 1 tahun kita nggak ketemu. Bisma…” perlahan gue melepas pelukannya. Justru Bisma makin mempererat pelukannya. Untuk melepas rindu. “gue juga kangen ama lo Ve. Gue kira lo bakal lupa ama gue” “jelas gue nggak bakal nglupain elo bis. Gue sayang ama lo” “gue jauh lebih sayang ama lo” “yaudah kita masuk aja dulu. Kalian bisa ngobrol-ngobrol di dalam. Bisma tolong bantuin Ve bawa barang-barangnya ya” tante Ratih “iya ma” perlahan Bisma nglepasin nih pelukan. Ia nangis tersedu-sedu. Mungkin saking kangennya ama gue kali ya?
Udah hampir seminggu gue berada di rumah megah Bisma. Yah kadang kali kita berantem hanya karena masalah yang sepele. Tapi gue ama Bisma maranya palingan juga 5 menitan ato sampe 10 menitan. Nggak perlu di perpanjang juga. Semenjak gue ada disini, bokap gue terus-terusan sibuk. Kadang ya pulang kerja sampe jam 22.00. atau bahkan sampe nggak pulang.
Minggu pagi gue jalan-jalan ama Bisma. Keliling-keliling komplek gitu. Yah buat nyehatin nih badan. Siangnya saat gue enak-enakan duduk di taman belakang, gue dapat telepon dari teman papa. Katanya papa kecelakaan saat mau pulang. Gue disuruh buat datang ke rumah sakit XXX. Gue kasih tau tante Ratih ama si Bisma. Gue nggak henti-hentinya nangisin bokap gue yang kecelakaan. Tante Ratih ngeluarin mobil dari garasi. Sedangkan Bisma nenangin gue. Di perjalanan gue terus berdo’a buat keselamatan papa.
Sampai di rumah sakit, gue langsung menuju ke ruangan yang tadi sempat dikasih tau temannya bokap gue. Si dokter ngelarang gue masuk. Gue disuruh nunggu di luar dan juga ngasih do’a agar bokap gue bisa di selamatkan. Hampir 1 jam lebih tapi si dokter belum keluar-keluar. Perasaan gue jadi nggak enak. Ceklek… nah keluar juga tuh si dokter. Tante Ratih langsung menghampiri si dokter. Dan nanyakan gimana kondisinya. Tapi si dokter malah jawab: “maaf kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkata lain. Pasien mengalami pendarahan yang hebat di kepala hingga ia kehabisan darah. Maafkan kami. Permisi” Tante Ratih shock. Sedangkan gue? Gue pingsan. Serasa dunia ini berhenti berputar. Hati gue hancur seketika.
Papa… sosok yang selama ini selalu tegar Papa… sosok pahlawan yang pernah hadir di hidupku Papa… sosok yang selalu bekerja keras siang malam untuk menyekolahkanku Papa… sosok yang selalu aku cintai, aku sayangi, dan aku banggakan Kini dia telah pergi… Tuhan… hatiku hancur, serasa duniaku kini berhenti berputar Papa… pasti aku akan merindukan sosok papa Aku yatim piatu sekarang Mama meninggal saat melahirkanku Dan kini, sekarang papa harus meninggalkanku di umurku yang ke-19 tahun Aku belum bisa membuat papa bangga Aku belum bisa membahagiakan papa Papa belum melihatku sukses kedepannya… “PAPAAAA!!!!!” gue teriak sekeras-kerasnya sebelum akhirnya gue pingsan. Sungguh, momen yang menurut gue sulit untuk di lupakan. Tante Ratih? Dia masih shock.
Tak lama bokap Bisma datang. “apa yang terjadi?” bokap Bisma “hiks… ayahnya Ve… pak Hendra pa… meninggal… hiks…” “innalillahiwainnaillaihiraji’un. Lalu, dimana Ve?” “dia pingsan pa. Bisma membawanya ke ruang rawat”
Semenjak bokap gue pergi, gue sering melamun. Bahkan gue juga sering nggak mau makan. Gue udah seperti bukan Ve yang dulu. Ve yang selalu ceria. Ve yang selalu semangat. Dan kini, gue sendiri. Bagai daun layu, yang terhempas oleh angin.
Author POV Ve benar-benar berubah. Hingga suatu hari, Bisma mengajaknya ke sebuah danau dekat rumahnya. Ia ingin menenangkan Ve yang hatinya sedang hancur. “ve, ikut gue yuk!” Bisma “kemana?” Ve “udah ikut aja. Ntar lo bakalan suka kok” Bisma “gue lagi males bis. Gue nggak mau” Ve “yaelah, ayolah… gue mau ngomong sesuatu ama lo” Bisma “iya iya!”
Sesampai di danau Bisma mengajak Ve untuk duduk di sebuah bangku panjang di dekat pohon yang rindang. Bisma menggenggam erat tangan Ve dan memeluknya. ”Ve, ikhlasin aja. Buat apa lo tangisin terus-menerus? Bokap lo nggak bakalan tenang kalo’ gini caranya” “tapi gue sayang banget ama bokap gue bis. Gue benar-benar nggak mau kehilangan untuk yang kedua kalinya. Gue yatim piatu sekarang” “kan masih ada bokap nyokap gue. Emang lo anggap mereka apa?” “makasih ya bis…” “iya sama-sama”
Zhe yang saat itu mengetahuinya, ia langsung mengirim sebuah pesan untuk Bisma. From : Zhe KITA PUTUS! GUE GAK MAU NGELIAT MUKA LO LAGI! TITIK!
Bisma membacanya. Saat itu Bisma langsung celingak-celinguk mencari sosok Zhe. Di dalam benaknya terdapat beribu-ribu pertanyaan. ‘apakah Zhe ada di sini? Apakah Zhe ngeliat gue pelukan ama Ve? Tuhan, Zhe salah paham. Ve saudara sepupuku’. Tak lama Bisma mengajak Ve pulang. Alasannya karena ia janjian ama temannya buat ketemuan di sebuah cafe.
Bisma menuju ke rumah Zhe. Ia ingin menjelaskan semuanya. Menjelaskan ke salah pahaman Zhe. Sesampai di rumah Zhe, ia segera turun dari mobil dan membuka pintu gerbang rumah Zhe yang bercat hitam itu. Ia lari menuju rumah Zhe yang jaraknya tak begitu jauh dari pintu gerbang. Di depan pintu, ia berulang-ulang kali memanggil-manggil nama Zhe. Tapi tak ada jawaban. Tak lama si Revan, adiknya Zhe membukakan pintu.
“eh kak Bisma, ada apa kak?” “mmm, kakak lo ada?” “oh kak Zhe, ada kok di dalam. Bentar gue panggilin. Lo masuk dulu aja. Jangan diluar” “iya iya!”
Bisma duduk di sebuah sofa yang letaknya di ruang tamu Zhe. Tak lama Zhe datang. “mau ngapain lo kesini?!” Zhe membentak Bisma agak keras. Mungkin karena Zhe masih marah sama Bisma. “Zhe plis maafin gue. Lo tadi salah paham Ve itu…” kalimat Bisma terpotong. “selingkuhan lo kan?! Udah deh lo nggak usah sok melas di depan gue. Gue nggak bakal ngasih iba ke lo. Dan gue nggak bakal maafin lo!!! Lo ngganggap gue ini apaan? Ha?” Zhe makin emosi. “Zhe plis maafin gue” “udah keluar lo dari rumah gue sekarang! Cepat! Nunggu apa lagi?!” “gue minta maaf kalau gue punya salah ama lo. Tapi sebenarnya tadi lo Cuma salah paham. Gue pergi sekarang” Zhe hanya melirik Bisma sebentar lalu pergi kekamar.
Di dalam mobil Bisma melamun. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Hingga dari arah berlawanan ada sebuah truk pengangkut barang yang menabrak mobil Bisma hingga mobil Bisma ikut menabrak sebuah pohon besar di depannya. Warga sekitar yang mengetahui itu langsung melarikan Bisma ke rumah sakit. Sedangkan truk pengangkut barang tadi masuk ke jurang. Zhe yang mendengar bahwa Bisma kecelakaan langsung shock dan menuju ke rumah sakit tepat di mana Bisma di rawat. Zhe menangis dan terus menangis. Tak lupa ia berdo’a demi keselamatan Bisma. Ia benar-benar menyesal. Tak lama Ve datang. Ve langsung memeluk Zhe. Ve juga menjelaskan bahwa sebenarnya Ve adalah saudara sepupu Bisma. Dokter keluar dari ruangan. Semua keluarga Bisma termasuk Zhe berdiri menghampiri si dokter. “kami sudah berusaha semampu kami. Tapi nyawa pasien Bisma tidak bisa di selamatkan. Permisi” Zhe langsung masuk ke dalam ruangan dan melihat keadaan Bisma yang sudah tidak bernafas lagi. Zhe memeluknya erat. Ia menyesal. Benar-benar menyesal. Sedangkan Ve? Ia kehilangan untuk ke 3 kalinya. Setelah mama, papa, dan… Bisma.
Acara pemakaman kini sudah selesai. Tinggal Zhe, Inka, dan Ve yang ada disana. Orang tua Bisma dan David sudah pulang dari awal. “hiks… Bisma… maafin gue bis, gue nyesel. Bisma… hiks… hiks… kenapa bisa secepat ini lo ninggalin gue…” tangis Zhe makin menjadi-jadi. Sambil memeluk erat batu nisan yang bertuliskan ‘BISMA PAHLEVI Bin SUHERMAN’. Ia tak dapat berkata apa-apa lagi. Ve hanya diam menunduk. Perlahan air matanya jatuh menetes. “Bisma… gue sayang ama lo. Dan setelah kepergian lo, gue hanya bisa ikhlas. Berharap lo tenang di sana” Ve menatap makam Bisma dengan tatapan sendu. Sampai akhirnya ia berlalu pergi meninggalkan Zhe dan Inka yang masih menangis di sana.
Ve pergi ke sebuah danau yang tempatnya tak terlalu jauh dari pemakaman. Ia duduk di sebuah bangku panjang di dekat pohon yang rindang. Tepat di mana Bisma baru saja menenangkannya atas kepergian sosok papa tercintanya. Ia berteriak. Sekeras mungkin. Sekeras yang ia bisa. “BISMA!! MAMA!! PAPA!! VE SAYANG SAMA KALIAN. KEPERGIAN KALIAN, VE HANYA BISA IKHLAS. karena VE GAK MAU NGELIAT ORANG-ORANG YANG VE SAYANG GAK TENANG DISANA. VE AKAN SELALU INGAT KALIAN!! PAPA!! VE MINTA MAAF JIKA VE BELUM BISA BUAT PAPA BAHAGIA. BELUM BISA BUAT PAPA BANGGA. TAPI, SUATU SAAT NANTI VE AKAN TUNJUKIN SAMA PAPA, KALAU SEBENARNYA VE BISA!! VE JANJI PA!! BISMA!! GUE GAK BAKAL NGELUPAIN SETIAP KENANGAN-KENANGAN YANG SELAMA INI KITA BINA BERSAMA. GUE GAK BAKAL NGELUPAIN MOMEN INDAH YANG PERNAH LO TUNJUKIN KE GUE!! DAN, MAMA…KEHADIRAN VE JADI BIKIN MAMA MENINGGAL. DAN MEMBUAT PAPA HARUS BANTING TULANG DEMI MEMBESARKAN VE WALAUPUN SENDIRIAN. VE SENDIRI, BELUM PERNAH MELIHAT WAJAH ASLI MAMA. WALAU PAPA TERKADANG MENUNJUKKAN SEBUAH ALBUM YANG ISINYA ADA FOTO MAMA. TAPI VE SADAR, ITU HANYA SEBUAH FOTO MA!! HIKS…”
Perlahan air mata Ve mengalir deras. Sangat deras bak air yang mengalir. Ia sendiri sekarang. Menjalani hidup tanpa seseorang yang ia sayang selain mama, papa, dan adik Bisma. Tanpa kasih sayang dari orangtua kandung, dan orang yang ia cintai, Bisma.
TAMAT
Cerpen Karangan: Adinda Ramadhani Facebook: Adinda Ramadhani