Tumpukan surat beramplop kecil bewarna merah itu semakin bertambah setiap hari. Aku enggan membukanya dan selalu kubiarkan surat pertama mempunyai banyak teman. Aku tak pernah melupakannya. Aku hanya berusaha menghapus semua titik kenangan yang ada. Sebab, ia takkan pernah bisa menjadi yang lebih baik jika dekat denganku.
Masih kuingat ia pergi bersama orang yang memang harus ia ikuti. Terakhir, ia meneteskan air matanya karena aku bukan?
“Aku akan pergi Rhe. Ingat, ku akan selalu kirim surat untukmu. Kau janji akan membalasnya?.” Ucapnya dengan lirih. Aku mengingat, sebelum itu aku sudah menyimpan janji dengan orangtuanya. Aku akan menempati janji yang pertama. Karena ku tahu ia adalah sahabat terbaikku dan aku tidak akan pernah menyakitinya lagi dengan cara mendekatinya.
Lalu ia pergi bersama keluarganya entah kemana. Satu kebahagiaanku pun pergi bersama mobil sedan yang dengan cepat melaju.
Jingga adalah orang yang selalu menepati janji. Ia mengirim surat-surat mungil setiap seminggu sekali.
Hitung saja berapa surat yang Jingga kirim selama 3 tahun ini. Aku tak pernah membalasnya. Bahkan membaca saja aku enggan. Sebab, kuingat lekat betapa orangtua Jingga tak pernah menyukaiku.
Dan kini 1 bulan telah berlalu. Tak satupun surat dari Jingga yang sampai ke rumah. Aku tak lagi ingin berhubungan dengan Jingga, meskipun aku selalu menanti surat mungil itu yang tak pernah kubaca. Aku hanya menantinya. Cukup tahu bahwa aku adalah sahabatnya yang tak pernah terlupa.
Hatiku berkata, aku harus membaca surat-surat itu. Aku berfikir, aku telah mengkhianati Jingga yang selalu ada buatku, sekalipun ia jauh.
“Haii Rhea. Ini aku Jingga. Aku tak pernah lupa bahwa kita seperti dua merpati yang kita terbangkan bersama, dulu. Meskipun satu merpati pergi, pasti akan menemui merpati yang ia tinggal. Aku akan menemuimu kembali nanti ketika ada waktu.
Aku ada di Malang. Entah kenapa orangtuaku semakin menyayangiku sejak kami pergi dari Jakarta. Aku bahagia karena itu. Kau tak perlu lagi mencemaskanku.”
Surat pertama buatku berfikir jika Jingga menemukan kebahagiaan barunya.
Dan kutatap surat terakhir yang kuterima. Ia adalah surat yang paling berbeda. Ia tetap beramplop merah. Namun ukuran amplopnya lebih besar dari surat yang sebelumnya.
“Rhe. Aku sudah berulang kali mengirim surat untukmu yang tak kunjung kau balas. Ku kini mengerti ada sesuatu yang kau sembunyikan selama 3 tahun ini, sejak kita terakhir bertemu. Orangtuaku yang melarangnya bukan? Memang ku selalu menanti balasan darimu, tetapi tidak untuk sekarang. Mungkin ini adalah surat terakhirku. Kau tak perlu membalasnya, walau ku tahu kau memang tak akan pernah membalasnya. Terimakasih telah menjadi sahabat terindah di sisa nafasku.”
Aku benar-benar tak mengerti apa yang Jingga katakan.
Jawaban dari Rawnie, teman ku buatku terjebak dalam bisu.
Jingga tak kan pernah lagi mengirim surat untukku. Ia meninggalkan sejuta kenangan indah. Jingga meninggal karena ia mengidap penyakit kanker otak sejak 4 tahun yang lalu. Mungkin ini alasan orangtua Jingga tak pernah suka aku dekat dengan anaknya. Sebab, aku adalah sahabat Jingga yang kurang berada dan berbeda jauh dengan mereka. Aku tak akan mampu buat Jingga pulih. Bahkan mungkin bisa buat kondisi Jingga lebih buruk.
Surat-surat ini kan selalu kusimpan sampai aku dan dua merpati yang kita terbangkan bisa berkumpul kembali di surga nanti.
Terimakasih telah menjadi sahabat terindahku, Jingga.
Batu, 6 Agustus 2016
Cerpen Karangan: Hanifa Blog / Facebook: Hanipah Ini memang baru bertama kali karyaku jadi seutuhnya. Karena sebelumnya aku menulis lepas yang tak kunjung menemui titik. Aku sangat mengharapkan jika cerpen: SURAT PERTAMA DAN TERAKHIR DARI MALANG dapat diterima baik oleh pembaca.