Bintang-bintang dengan bahagia berpijar dikejauhan. Bahkan mereka sama sekali tidak mempedulikan manusia yang masih saja beradu mulut tentang bumi datar atau bulat. Mungkin beberapa bintang jatuh ke bumi untuk turun tangan membantu perdebatan itu. Ah, aku sama sekali tak peduli. Semua adalah kebohongan. Bahkan diriku sendiri. Ah, lagi-lagi aku memikirkan hal itu. Hal yang menciptakan luka. Meskipun luka itu sudah hilang tetapi bekasnya masih sangat nampak.
Kukayuh sepedaku dengan kencang. Pohon-pohon yang berada di sebelah kananku dengan riang ria menggoyangkan daunnya. Sama sekali mereka tak mempedulikan beberapa dahan pohon yang mulai berjatuhan karena desakan umur. Kulihat sepasang burung gereja menyanyikan nada-nada puitis di atas dahan pohon tersebut. Mereka juga seperti tidak tertarik dalam pergulatan yang ada di bumi. Sungguh sangat nikmat menjadi seperti mereka. Tidak ada hal yang perlu ditakutkan dan diragukan.
Kembali diriku fokus ke jalanan. Rumah penduduk masih jarang terlihat, hanya persawahan yang berada di sisi kiri jalan dan pohon karet di sisi kanan jalan. Sedari tadi pun aku tidak melihat kendaraan bermesin melewati jalan menuju sekolahku ini. Kulirik jam tanganku, masih menunjukkan pukul 06:30. Artinya aku masih memiliki waktu setengah jam lagi sebelum pintu gerbang sekolah benar-benar dikunci.
“Nia, pinjem buku Pr kamu dong.” Seorang gadis menjulurkan tangannya seperti hendak meminta ke arahku. Bibir merah jambunya dengan berani menunjukkan senyuman termanis yang dimilikinya. Kembali aku luluh dibuatnya. Malaikat yang berada di alam sana saja sudah mengerti mengapa dengan mudah aku luluh dibuatnya. Yah, dia adalah teman dekatku bahkan bisa dikatakan seorang sahabat.
“Nih,” tanganku yang pendek menjulurkan buku tersebut ke arahnya. Kutatap dirinya lekat-lekat Masih saja aku tak percaya aku memiliki sahabat. Sebelumnya aku merasa sendiri, tak ada yang peduli kepadaku. Demikian pula kedua orangtuaku, masih saja mereka berebut mencari harta kesenangan dunia. Dengan seenaknya mereka meninggalkanku di desa ini bersama kakekku. Seseorang yang juga egois, dia berkata di depan ibuku bahwa uang yang dikirimkan untukku telah kunikmati. Tapi nyatanya, hanya dirinya yang memakai seluruh hakku tersebut. Dengan bangga dirinya disetiap malam minggu keluar rumah untuk bermain j*di dengan teman-temannya.
“Bu guru datang,” teriak seorang murid menghancurkan lamunan kekesalanku pada dunia tempatku berpijak ini.
—
“Nia, kantin yuk.” Ajak Nita yang merupakan sahabatku itu. Semburat sinar seperti keluar dari wajah cantiknya. Dirinya begitu baik walaupun terkadang menjengkelkan karena meminjam tugas-tugasku di pagi hari. “Oke,” jawabku sambil mengangguk. Kukeluarkan uang sepuluh ribu dari kantong tasku. Tak lupa kuambil juga tisu untuk berjaga-jaga kalau aku berkeringat deras ketika memakan bakwan yang ditambah saus merah pedas. Hmmm, sungguh nikmat membayangkannya.
Nita mengandeng erat tanganku. Kami seperti sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Kehangatan tangan Nita lagi-lagi membuatku berpikir betapa beruntungnya aku memilikinya sebagai sahabat.
“Kita ke sana yuk,” tunjuk Nita ke arah kedai ‘Agus’, kedai langganan kami berdua. Selain makanannya yang sesuai dengan lidah kami, pelayannya juga sangat ramah. Sering kali kami berdua tertawa terbahak-bahak dibuat pelayannya tersebut.
“Nia, aku mau ngomong sesuatu nih,” bisik Nita pelan lalu menundukkan kepalanya. “Apa Nita?” tanyaku setelah menghabiskan makanan yang ada di mulutku.
Nita masih saja menundukkan kepalanya. Kutunggu dirinya mengatakan sesuatu. Tapi masih saja dia diam. Kulihat ke arah lehernya butiran-butiran keringat seperti meluncur halus meninggalkan asalnya. Tak ada senyuman manis yang terpancar, hanya kulit yang sangat putih meliputi wajahnya saat ini
“Kamu kenapa Nita?” aku kembali bertanya kepadanya. Kugoyang-goyangkan kedua lenganya dengan maksud agar dia segera memberi tahu hal yang ingin disampaikannya. “Aku gak bisa lagi menjadi temanmu Nita,” katanya dengan senyuman pahitnya. “Kenapa?” tanyaku dengan sedih. Aku berusaha melihat ke arah wajah Nita. Berusaha untuk mengerti dari untaian kalimat yang baru saja dikeluarkan oleh dirinya. Mengapa, dia sejahat itu kepadaku? Apakah aku memang tidak pantas untuk dicintai? Ah, lagi-lagi semua pemikirian negatifku keluar. Aku hanya perlu mengerti maksud dari perkataan Nita tersebut. “Aku benci kamu Nia,” Nita memiringkan bibirnya seperti seorang psikopat yang baru saja menghabisi mangsanya. Tapi, senyuman tersebut sangat lain. Nita mengeluarkan sedikit air mata. Ada apa dengan dirinya. Aku masih mencari-cari arti dari air mata itu. “Jangan ganggu aku lagi Nia. Senang menjadi sahabatmu,” ucapnya lalu meninggalkanku. Sejuta pertanyaan masih saja timbul di kepalaku. Secepat itukah seseorang meninggalkanku. Air mataku tak dapat lagi kutahan. Seluruh emosi yang ada kutumpahkan. Tak peduli lagi siapa yang melihatku.
Mentari kembali keluar dengan riang menyambut hari yang baru. Dirinya terlihat lebih cerah dibanding kemarin. Aku berharap agar hari ini juga lebih baik dari semalam.
Hari ini aku kembali lagi melakukan aktivitasku seperti biasa. Walaupun seluruh sakit masih kutanggung dengan berat di dada tapi aku harus bisa. Aku harus membuat semua orang kagum kepadaku. Walaupun aku masih sangat merindukan persahabatanku dengan Nita.
“Selamat pagi pak,” sapaku kepada satpam penjaga sekolah. “Eh, pagi juga nak,” jawabnya dengan sedikit kaget. “Nia masuk dulu pak,” kataku setelah memakirkan sepeda kesayanganku. Pak Siswandy hanya tersenyum membalas pernyataanku tadi. Dengan cepat aku menuju ke ruang kelasku. Hari ini aku tidak mengerjakan tugas karena semalaman aku menangis karena Nita mengkhianatiku. Sungguh dia bukan sahabat yang baik.
Langkah kakiku semakin mendekati kelas, beberapa langkah lagi. Seketika semerbak aroma bunga terlintas di hidungku. Bulu kudukku berdiri dengan tegak ketika aku tersadar itu aroma bunga kamboja. Mengapa ada bunga itu? Pikiranku lagi-lagi melayang-layang.
“Nia, turut berduka cita ya atas kepergian sahabatmu.” Nico memberitahuku sebuah informasi yang asing menurutku. “Sahabatku? Nita?” tanyaku bingung. “Iya, Nia.” Nico yang merupakan ketua kelasku itu menjawab dengan mantap. Bulir air mata juga terlihat keluar di sekitar matanya. “Ini pasti tipuan kan,” kataku sambil menahan sedikit air mata. “Enggak Nia, ini kenyataan. Nita terkena kanker otak, sudah sejak lama dia divonis dokter waktu hidupnya tidak akan lama. Tapi karena ada kau sebagai sahabatnya dia dapat melewati hari-harinya dan untuk yang semalam Nita memutuskan persahabatan denganmu agar kau tidak terikat janji yang pernah kalian buat” Nico menjelaskan segala hal yang tak kuketahui sebagai sahabat Nita.
Air mata keluar dengan kencang dari mataku. Janji, itu yang kembali kuingat. Di perjanjian itu kami berjanji agar menyusul pergi dari dunia ini jika salah satu dari kami duluan pergi. Sebuah perjanjian yang sangat aneh menurut orang banyak. Aku sangat membencimu Nita. Mengapa dengan sengaja kau memutuskan perjanjian itu. Tangisku semakin menjadi-jadi. Tak ada hal lain yang dapat kukatakan saat itu.
Seberkas cahaya matahari mengantarkan kepergian Nita. Cahaya yang tak lagi panas. Cahaya yang menjadi dingin karena hembusan uap air mataku. Semoga dengan mendinginnya cahaya matahari kau dapat tenang di alam sana. Aku akan selalu merindukanmu
Cerpen Karangan: Kevin J D Pakpahan Blog / Facebook: kevin jeremy dirgantara pakpahan Kevin Jeremy Dirgantara Pakpahan lahir 26 september 2001. Kalian dapat memanggilnya dengan panggilan kevin atau dirga kalau ingin yang lebih romantis. Bersekolah di Sma Negeri 1 Tebing Tinggi dan memliki cita-cita sebagai dokter. Kalian dapat menemukannya di Facebook dengan nama akun Kevin Jeremy Dirgantara Pakpahan dan Instagram dengan nama akun kevin_pakpahan.24