Kala itu, mega malam nampak lebih indah dari sebelumnya. Dengan taburan milyaran bintang dan sang dewi malam seakan tersenyum menyapa. Udara dingin berhembus, menyeka kulitku yang tertutupi jaket. Ah, aku tahu. Seharusnya aku tidak keluar rumah hari ini. Kondisi tubuhku sedang benar benar drop. Hanya saja, aku memaksakan diri untuk kembali menyapa langit malam.
“Ah, kukira itu adalah janji yang akan benar benar ditepati. Ternyata, hanyalah sebuah bualan belaka. Aku tak bisa lagi percaya pada orang lain, karena aku tak bisa menjamin bahwa orang itu benar benar jujur atau tidak.”
Aku hanya bermonolog sejak tadi. Selalu bertanya tanya tentang diriku ini. ‘Sebenarnya aku kenapa?’ Entahlah. Konyol sekali. Aku tak tahu bagaimana lagi rasanya berada dalam kisah romansa bersama seseorang. Itu lucu. Jantungku sejak tadi berdegup tak karuan. Bukan karena seseorang, melainkan, memikirkan mengenai sebuah pesan yang tak seharusnya kubaca. Tanganku gemetar hebat. Tak pelak tangis ini mengiringinya. Sial, sial, sial.
“Kenapa? Kenapa harus aku yang berakhir begini?” Batinku menjerit. Ini sakit, sungguh sakit. Sejak awal, aku memang tak mau terlibat dalam urusan hati. Itu merepotkan sekali. Pada hakikatnya, akulah seseorang yang selalu saja menjadi pihak yang berakhir menyedihkan. Permainan pada hati yang begitu mulus, hingga tak terlihat celah itu cukup mengelabuiku.
“Ah, andaikan aku bisa di posisi mau menerima secara keseluruhan diri ini, aku tak perlu memikirkan cara paling cepat untuk mengakhiri semuanya, bukan?” Aku bertanya pada rembulan. Yang kini menatapku dengan cahaya remang remangnya.
“Aku tak pernah berharap dipertemukan dengan seseorang yang membuatku semakin sulit menata kembali kondisi hati. Sudah cukup beberapa pecahan dan kepingan yang berserakan. Aku tak mau membuat semuanya semakin runyam,” ujarku lagi. Hahaha, seperti orang gila saja, pikirku. Aku terus menerus mengajak berbicara rembulan. Menanyakan mengenai diriku yang- terlalu bodoh ini. Tidak, bukan bodoh. Aku terlalu pemaaf.
“Kesekian kalinya aku menangis memikirkan seseorang yang jelas aku tidak terlintas dalam benaknya. Tak apa, semoga aku bisa bahagia nanti,”
Aku beranjak dari teras. Berjalan perlahan menikmati semilir angin. Aku tak tahu harus kemana. Yang jelas, kemanapun kaki ini membawaku.
“Aku tak sabar saat berumur tepat delapan belas tahun nanti. Aku akan pergi ke langit. Menyapa semua orang dari sana,”
Dadaku sakit. Nafasku semakin terengah dan sesak. Paru paruku seakan terbakar hebat. Sialan. Aku.. aku ingin segera pergi dari sini. Secepatnya, agar aku tak lagi merasakan semuanya sendirian. Tidak, sebenarnya aku tidaklah sendiri. Ada banyak orang yang nengililingiku bahkan menyayangiku. Lantas kenapa? Ah, aku hanya tak pantas saja membicarakan hal konyol ini kepada mereka.
“Ya, memang begini akhirnya. Aku yang tetap akan pergi.”
Entah apa yang menyambar tubuhku begitu cepat. Seketika aku ambruk, tak menyadari apa yang terjadi padaku. Yang kurasakan hanyalah tubuhku semakin ringan. Entahlah, aku tak tahu. Aku lelah. Sangat lelah. Bahkan ingin mengakhiri semuanya secara instan saja ditolak oleh alam. Mataku semakin berat. Suara orang orang yang berteriak panik hanya menjadi lagu pengantar tidurku.
Begitu terbangun, aku sudah berada di rumah. Menceritakan segala kejadian yang kualami semalam. Ya, aku gagal melakukannya. Mungkin, aku akan mencobanya lagi saat aku sudah berani. Melakukan hal yang orang lain lakukan seperti menghiasi lengan menggunakan sepucuk silet itu terlalu mainstream bagiku. Aku tak mau membuat orang lain menghujatku karena itu. Jangan khawatir, aku tak akan merepotkan siapapun lagi. Dengan kepergianku nanti, semuanya akan selesai. Aku akan pulang.
End
Cerpen Karangan: Qoylila Azzahra Fitri Blog / Facebook: Macaroon
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 20 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com