Angin musim semi bertiup pelan ke arah barat, menerbangkan beberapa helai daun pohon jati yang berdiri kokoh tinggi menjulang di pekarangan rumah Dinda. Dinda Nurliza Sari, adalah nama gadis kecil yang kini sedang duduk merenung di ayunan ban bekas yang menggantung di dahan pohon jati itu, pikirannya sedang melesat jauh—terbawa angin.
“Hei angin, apakah kau tidak lelah? selalu berembus kesana kemari tanpa henti,” Dinda mencoba menatap angin, namun angin tak menampakkan diri, lantas ia kemudian menatap langit biru. Cuaca hari ini amat bersahabat, tampak ayam-ayam peliharaan Ayah Dinda bermain ria di pekarangan, terkadang berkokok ceria, lembu-lembu juga terlihat sangat bahagia memakan rumput, burung-burung walet terbang membentuk formasi di langit yang sedang menampakkan pesonanya.
“Angin punya banyak energi untuk selalu berembus, Nda. Ketika sedang berembus, jangan harap akan berhenti. Dan ketika sedang berhenti jangan harap akan berembus,” Ayah Dinda datang dari balik pohon jati, mengusap rambut Dinda yang tergerai sepunggung. “Dinda gak paham, Yah. Maksudnya gimana?” Dinda mendongak melihat Ayahnya yang tiba-tiba saja datang—ia sedikit terperanjat. “Nanti Dinda pasti paham. Sang Anginlah yang nanti akan memberikan pemahaman itu langsung kepadamu, Nak.” Ayah tersenyum.
Percakapan singkat itu selalu segar di ingatan Dinda, terlebih lagi saat ini, perkataan Ayahnya tidak pernah salah, “Sang Angin yang akan memberikan pemahaman itu kepadamu”. Dan kini, Sang Angin benar-benar memberikan pemahaman kepadanya.
Dinda terduduk lemah di pekarangan rumahnya, tepat di tepi makam ayahnya, menatap takjub sekaligus takut ke depan, yang mana Sang Angin akan benar-benar meluluh lantakkan segalanya. Degup jantungnya mengencang, teringat akan perkataan ayahnya ‘Ketika sedang berembus, jangan harap akan berhenti’, Dinda tak sedikitpun berpaling dari Angin puting beliung terhebat abad itu.
Sang Angin memberikan pemahaman, akan tetapi dengan cara yang kasar. Dinda sekarang sudah paham, bahkan sangat paham, sampai akhirnya Angin itu menyapu rumahnya, pekarangannya, makam ayahnya, pohon jati-nya, dan tak lupa—dia.
Cerpen Karangan: Farzein Rizky Fadhlani Mangunsong Blog / Facebook: Zeindovic Farzein Rizky F. Mangunsong, sangat senang dipanggil Zein, lahir 15 tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 26 September. Pemuda yang amat mencintai sastra, tapi apatah daya—sastra tak sedikitpun mencintainya. Dewasa ini, gemar menulis potongan-potongan sajak yang tidak jelas arahnya, entah apa maknanya, tidak beraturan isinya. Hanya sebagai perantara menghilangkan kebosanan, bermain-main dengan aksara. Kesehariannya bisa diikuti melalui akun instagram @zeindnd, & sajak-sajak picisannya bisa diintip di akun twitter @zeindovic