Sang surya telah menampakkan dirinya di ujung Timur. Bertanda bahwa hari sudah pagi. Waktunya orang-orang melakukan aktivitas seperti biasa. Berbagai macam kegiatan mulai dilakukan, dari yang pergi ke sekolah sampai berangkat kerja. Bahkan segerombol Ibu-ibu tengah mengerumuni tukang sayur sambil bergosip ria.
Sementara itu, di sebuah rumah terdapat seorang gadis kecil lucu yang manis berumur sepuluh tahun. Dengan perasaan riang, ia melangkah mengikuti irama kakinya sambil mengayunkan tas jinjing yang berisi beberapa bahan makanan. Dari kejauhan, ia melihat seekor kucing yang sedang kelaparan di pinggir jalan. Ia pun menghentikan langkahnya saat tiba di depan kucing itu.
“Kucing yang malang,” gumamnya sambil mengelus-elus kucing itu dengan lembut. “Kamu pasti kelaparan.” Lalu ia mengambil sebungkus ikan bakar yang sudah matang yang berada di dalam tas belanjaannya. Dan memberikannya pada kucing itu. “Ini untukmu. Makan-lah,” senyumnya.
Untuk beberapa menit ia berjongkok. Memerhatikan kucing itu dengan perasaan senang, karena kucing itu bisa makan. Tiba-tiba ia teringat bahwa dirinya harus segera pulang. Jika tidak, ia bisa dimarahi lagi oleh Bibi dan Pamannya. Benar saja apa yang dikhawatirkannya terjadi. Baru menginjakkan kaki di dalam rumah, ia disambut Bibinya dengan suara melengking. “Dari mana saja kamu jam segini baru pulang, hah?” “Maaf, Bi. Tadi Naya istirahat sebentar,” jelasnya pelan. “Alasan aja kamu! Kamu pasti main dulu, kan?” pekiknya. Gadis yang bernama Naya itu menunduk sambil menggeleng lemah. “Nggak kok, Bi.” “Ya, sudah. Mana sini belanjaannya?” Naya memberikan tas jinjing itu.
Mata Bibinya melotot begitu tahu salah satu barang yang dibelinya tidak ada. “Kenapa ikannya nggak ada? Saya ‘kan suruh kamu beli ikan. Atau kamu makan, ya?” tuduhnya. “Nggak, Bi. Naya cuma kasih ke kucing yang kelaparan di pinggir ja-” “Apa?” potong Bibinya dengan nada sengit. “Kamu pikir, makanan itu dibeli pake daun, apa?” Lalu Naya ditariknya dengan kasar. “Sini kamu!” “Ampun, Bi.” Naya merintih kesakitan oleh cengkeraman Bibinya yang kuat. Ia diseret ke kamar mandi dengan kasar.
“Ini akibatnya kalau kamu suka nakal,” katanya sambil beberapa kali menceburkan kepala Naya ke dalam bak mandi yang berisi air, lalu mendiamkannya beberapa detik hingga berulang kali. Tentu saja itu membuat Naya sulit bernafas. “Ampun, Bi …” Berulang kali Naya meminta ampunan pada Bibinya agar berhenti di hukum.
Setelah dirasa cukup puas menyiksa Naya. Ia ditinggalkan begitu saja di kamar mandi dengan pakaian basah kuyup. Tak ada yang bisa dilakukan Naya, ia hanya bisa menangis. Tapi, ia tahu Bibinya seperti itu karena memang ia yang salah. Sudah memberikan makanan pada kucing itu tanpa minta izin pada Bibinya.
Itulah Naya, seorang gadis polos yang tak pernah sedikit pun punya pikiran buruk tentang Bibi dan Pamannya. Yang ia tahu, mereka orang baik yang mau menampung dirinya yang sudah tidak punya orangtua itu dengan suka relawan.
“Cepat, dong, masaknya! Lelet banget, sih,” teriak Bibinya. “Sebentar, Bi,” jawab Naya sambil membawa sup buatannya. Tapi, saat melewati meja makan. Naya jatuh terpeleset hingga mengakibatkan sup panas yang dipegangnya itu tumpah ke pamannya. “Panas …” Pamannya memekik kesakitan. Tentu saja itu membuat Naya dan Bibinya panik. “Maafkan Naya, Paman. Naya nggak sengaja.” Naya berusaha mengelap baju pamannya. Tangan Naya ditepis. “Dasar anak kurang ajar! Kamu sengaja mau mencelakai saya, ya?” geramnya. “Naya nggak sengaja, Paman.” “Kamu itu emang nggak tahu diri, ya! Masih untung kami mau mengurus dan nampung kamu dengan gratis. Tapi, ini balasan kamu sama Pamanmu? Kamu ingin Pamanmu celaka?” Naya hanya menangis, ia benar-benar tidak sengaja.
“Kamu memang harus dikasih hukuman yang berat biar jera!” Kemudian mereka pun menyiksa Naya dan menyeretnya dengan kasar ke sebuah gudang. Lalu membanting Naya dengan keras ke lantai hingga kepalanya membentur lantai. Naya pun tergeletak tak sadarkan diri. Namun, itu tak membuat Bibinya terenyuh sama sekali. Ia justru mengunci Naya di dalam gudang, juga tak memberinya jatah makan semalaman.
“Kamu membantingnya terlalu keras. Kalau dia mati, kita juga yang repot,” kata suaminya. “Dia cuma pingsan kok, Mas. Lagian bagus, deh, kalau dia mati. Kita jadi nggak punya beban tanggungan. Toh, kita mau rawat dia juga terpaksa. Karena kita keluarga satu-satunya, nggak mungkin biarin dia jadi gembel di jalanan. Apa kata orang-orang,” jawabnya dengan santai. “Tapi, aku nggak mau masuk penjara.” “Itu urusan gampang,” ucapnya sambil mengibaskan tangan. “Kalau dia mati, kita tinggal buang aja mayatnya. Terus bikin laporan palsu ke polisi kalau Naya hilang.” Ia tersenyum jahat. “Pintar juga kamu.” Mereka pun melewati malam dengan tenang, seperti tidak terjadi apa-apa.
Keesokan harinya, mereka membawa Naya pergi keluar. Betapa senangnya Naya saat mereka mengajaknya jalan-jalan. Itu artinya Paman dan Bibinya sudah memaafkan kesalahannya. Naya berjanji bahwa seterusnya ia akan jadi anak yang baik.
Mereka turun di sebuah tempat yang sangat sepi, hanya ada suara angin berembus. Naya diturunkan di bawah sebuah pohon rindang dengan alang-alang yang menjulang tinggi, setinggi manusia. Setelah itu mereka pergi meninggalkannya.
“Bibi! Paman!” teriak Naya memanggil mereka. “Kenapa kalian meninggalkan Naya di sini?” Tapi, mereka tak menghiraukan panggilan Naya. Mereka justru melajukan mobilnya dengan cepat. “Paman … Bibi … kenapa kalian meninggalkan Naya sendirian di sini. Naya takut …” tangisnya. Ia ketakutan karena sedari tadi tak ada satu pun orang yang lewat.
Beberapa menit kemudian, datang seseorang berperawakan tinggi dan besar menghampiri Naya. Tentu saja itu membuat Naya semakin ketakutan. “Kamu siapa?” tanya Naya dengan tubuh bergetar. “Kamu tak perlu takut. Aku kemari untuk mengajakmu pergi,” tuturnya lembut. “Aku tidak mau! Nanti kalau Paman sama Bibi mencariku lagi ke sini bagaimana?” “Mereka tidak akan pernah kembali lagi-” “Tidak! Mereka akan kembali,” potongnya. “Kenapa kamu begitu yakin kalau mereka akan kembali?” “Karena mereka menyayangiku,” jawab Naya dengan polos.
Orang itu tersenyum mendengar jawaban Naya. “Hatimu sangat mulia, Naya. Bahkan saat kamu tahu mereka selalu menyiksamu, tapi kamu selalu berpikir mereka baik padamu. Kamu nggak pantas hidup sama mereka. Ikutlah denganku, maka kamu akan bahagia. Tidak akan ada orang yang jahat lagi ke kamu.” “Mereka tidak jahat, memang Naya yang nakal.” Naya masih tetap dengan pendiriannya. “Kalau kamu ikut denganku, kamu akan terbebas dari mereka. Dan kamu akan bertemu dengan kedua orangtuamu.” “Orangtuaku?” tanya Naya, menghentikan tangisannya. Orang itu mengangguk. “Ya. Aku akan menunjukkan di mana orangtuamu berada, jika kamu ikut denganku,” jelasnya sambil mengulurkan tangannya.
Hati Naya mulai goyah. Di sisi lain ia ingin bertemu dengan kedua orangtuanya. Di sisi lain juga ia tak mau meninggalkan Paman dan Bibinya. Ada rasa ragu dalam dadanya. Namun, orang itu memperlihatkan kejujuran dalam matanya.
Akhirnya Naya pun mengangguk setuju. Ia meraih tangan orang itu. Mereka pun terbang tinggi. Kini Naya telah bebas dari perbuatan-perbuatan keji Paman dan Bibinya. Ia pun sudah tak sabar untuk bertemu dengan kedua orangtuanya.
Keesokan harinya, telah ditemukan jasad seorang gadis kecil manis dengan bibir membiru dan tubuh yang sudah kaku di bawah pohon rindang. Ada hal yang membuat orang-orang gempar melihatnya. Yaitu, bibirnya yang tipis menyunggingkan seulas senyuman. Senyum kebebasan.
Cerpen Karangan: Irma Erviana Blog / Facebook: Irma erviana Seorang wanita biasa penyuka sastra dan penikmat coklat