Hari menjelang malam, aku sedikit mempercepat langkahan kaki menuju rumah kos kosanku, karena angin yang terlihat semakin kencang dan menakutkan sehingga membuat pohon pohon bergoyang. Ekstrakulikuler di sekolahku cukup padat sehingga harus pulang sore.
“Assalamualaikum” seruku ketika berada di depan pintu rumah kos. “Oh! Iya lupa, aku tinggal sendirian” ujarku sambil menepuk jidat.
Begitulah hidupku, harus merantau ke kota meninggalkan Ibu sendiri yang berada di desa. Demi mencari ilmu. Sedangkan ayah sudah lama tiada. “Rindu” sebuah kata yang selalu menyiksa raga dan air mata namun, aku teguhkan hati untuk terus bersabar.
Semilir angin berderup kencang, sehingga membuat jendela kamar yang lupa dikunci terbuka. Bruuukkk Sebuah foto yang terletak di dinding jatuh karena terpaan angin. Aku yang sudah selesai salat Maghrib, tersentak kaget dan segera membuka mukena dengan cepat. Aku bergegas menghampiri foto yang jatuh. “Astaghfirullah” Bingkai kaca yang melapisi foto itu pecah lalu, aku memungutnya dengan hati hati menggunakan tangan.
Sreekkk Sebuah kaca runcing tergores di tangan lalu, mengeluarkan darah. ‘Sstt.. sakit” desisku sambil menahan darahnya dengan tangan sebelah agar tidak keluar namun, bukannya berhenti, darah itu terus mengalir sangat banyak sampai menetes pada foto yang jatuh. Tepatnya pada seorang wanita cantik yang terlihat ramah karena uluran senyum manisnya.
“Loh! Kok darahnya mengalir ke foto Ibu” seruku kaget. Aku berusaha menghilangkan darah itu dengan tangan sebelah. “Ah! Foto Ibu jadi jelek”. Darah itu bukannya menghilang tapi, semakin merata pada foto Ibu. Aku panik karena itu satu satunya foto Ibu yang aku punya. Melihat semua ini, terbesit rasa khawatir namun, kutangkas firasat anehku dengan berpikiran positif.
Aku beranjak pergi ke kamar mandi untuk membasuh luka di tanganku sebelum membersihkan foto itu. “Sstt..!”. Terasa perih ketika air mengalir di tanganku. Aku mengibas tangan untuk meredakan nyeri. Setelah itu, aku bergegas ke kamar untuk mengobati luka dengan obat merah dibaluti plester. Kemudian, aku mengambil foto yang masih ada di lantai dan membersihkan kaca kaca itu dengan sapu sapu.
“Kenapa harus foto Ibu yang jatuh dan terkena darahku”. Aku termenung di jendela kamar sambil memandangi bulan yang sinarnya ikut redup sepeti diriku. Walaupun aku sudah berusaha menghilangkan kegundahan namun, tetap saja aku masih dihantui pikiran anehku. “Apa karena aku rindu?” pikirku.
Malam menghembus angin sedikit kencang diiringi lantunan burung hantu dan beberapa serangga malam lainnya yang ikut serta menghiasi malam ini.
“Dhea!”. Anganku terbuayar karena mendengar suara yang memanggil namaku. “Siapa kamu?” tanyaku celingukan, mencari asal suara itu. “Dhea!”. Suara itu tidak berhenti memanggil namaku. “Si.. siapa kamu?” tanyaku lagi dengan suaran yang gemetar. “Maafkan Ibu Nak!”. Aneh, suara itu mengaku adalah Ibu namun kenapa hanya suaranya dimana sosoknya. Aku bepeluh dingin, ketika suara itu mengatakan hal aneh. “Walaupun raga memisahkan kita namun, Ibu akan selau mendampingimu” ujar suara itu. “Aaaa…!” jeritku.
Aku terbangun kaget dari tidur dan ternyata itu hanya mimpi belaka namun, seolah nyata. Mengingat perkataan suara yang ada di mimpi membuat tangisku pecah dalam hening. Sejuta pertanyaan melayang di pikiranku menimbulkan rasa takut dan cemas karena sebelumya aku tidak pernah bermimpi aneh, apalagi yang menyangkut Ibu. Jujur, perasaanku tidak enak, Aku mengkhawatirkan Ibu!.
Air mata yang mengalir, aku mengusap dengan tangan lalu beranjak ke kamar mandi untuk berwudhu’. Aku memasang mukena dan menghamparkan sajdah. “Allahu Akbar” seruku memulai sapaan dengan tuhan. Hanya padanya jiwa, raga dan pikiran tenang dalam dekapan salat.
—
Hari ini matahari terbit sangat indah. Aku sudah bersiap dari tadi pagi, dengan tas di pundak menunggu bus datang. Sekarang, kesempatanku untuk pulang kampung mengobati rindu yang kupendam karena sekolahku libur agar para murid-muridnya bisa merayakan Hari Ibu bersama keluarganya.
Berselang beberapa menit, akhirnya bus yang kutunggu datang. Aku menaikinya dan kulihat bus itu hampir sesak, untungnya masih ada satu kursi yang tersisa.
Aku menikmati bentangan alam yang luas dengan alunan musik yang kuputar. Semuanya terlihat bahagia hari ini, mentari ikut tersenyum, pohon-pohon bergoyang mengikuti alunan angin dan burung burung bernyanyi ria lewat kicauannya. Tak terasa aku telah sampai pada tujuanku.
“Akan kupastikan dugaanku salah” ujarku sambil menuruni tangga bus. Di tangan kugenggam erat tangkaian bunga bermacam macam untuk Ibu sebagai bentuk hadiah karena Ibu sangat menyukai bunga.
Aku berjalan sambil bernyanyi diiringi kicauan burung dan suara jangkrik. Di tengah perjalanan aku melihat seorang wanita sedang berjalan melewatiku. Wajahnya tidang asing kulihat dan aroma parfumnya seperti pernah mendengar. Aku berusaha mengingat.
“Ibu!” seruku riang. Aku pun mengejar Ibu yang entah mau kemana. Perasaanku bahagia karena ternyata dugaanku salah tentang Ibu dan kejadian yang janggal, itu mungkin hanya kebetulan saja. “Ibu!” panggilku namun ia tidak menanggapi seruanku, ia terlihat tergesa gesa melewati sawah. Aneh, Ibu tidak menyadari keberadaanku padahal aku berteriak memanggilnya berulang ulang. Ibu membungkam mulut dan terus berjalan, sekilas wajahnya sangat pucat sampai aku mengira bahwa Ibu sakit. Namun, kenapa begitu gesit berjalan sehingga hampir saja aku kehilangan arahnya.
Ibu berhenti di sebuah gerbang pemakaman umum, dia menoleh kepadaku dan tersenyum lalu pergi memasuki pemakaman. Aku heran pada Ibu, ternyata Ibu menyadari bahwa aku mengikutinya namun kenapa ia menulikan pendengaran. Apa alasannya?.
Melihat pemakaman yang sedikit menakutkan membuatku ragu memasukinya. Tapi, kuhempaskan rasa aneh itu dan melangkah memasukinya. Untungnya hari masih pagi, jika sudah malam aku tidak akan memasukinya.
“Ibu!” panggilku. Terdengar suara tangisan, aku mencari asal suara itu dan terlihat banyak orang yang sedang berkumpul di sebuah makam. Mungkin ada orang yang baru meninggal, aku menghampiri mereka sekedar bertanya. “Permisi Pak! Siapa yang meninggal?” tanyaku pada seorang bapak tua, bukannya menjawab dia malah menatapku tajam dan bertanya balik. “Kamu anaknya Runia?”. “Iya, Pak!”. Dia diam sejenak menatapku, terlihat ia sedang menahan air mata. Bapak tua itu menyuruhku membaca sendiri tulisan nisan tersebut. Aku mengejanya dengan seksama. “Runia binti Suhantono”. Tangkai bunga yang kupegang jatuh ke tanah bersamaan dengan tubuh yang tersungkur di atas nisan tersebut. Entah kenapa kepalaku pusing dan tiba tiba mataku buram dan gelap.
22 Desember Ketika semua orang merayakan Hari Ibu, aku harus menerima takdir bahwa orang yang kurindukan, sudah terbaring di bawah tanah. Tapi, satu pertanyaan yang masih belum hilang. Siapa wanita yang mengarahkanku samapi pemakaman?.
Cerpen Karangan: Ummu Aminatuz Zahrah, MTs Tarbiyatul Banat