Saat hari itu tuan mengatakan bahwa tuan akan segera meninggal, mendengarnya, saya ingat hari itu saya tak mengatakan apa pun, tak merasakan apa pun kecuali kekosongam di relung saya, tuan. Hanya memandang tuan dengan kedua pasang mata polos, menyerah, janganlah kiranya tuan berbicara demikian, hanya itu pikir saya.
Percayalah, tuan, bukan saya tidak peduli, melainkam saya tidak mengerti bahwasannya apa yang tuan katakan adalah firasat paling nyata yang tak terelakkan. Dan, percayah, tuan, adalah sebuah penyesalan terbesar saya ketika tak segera memberikan seisi buana sesaat setelah tuan melafazkan garis akhir hidup tuan.
Apa tuan seorang cenayang sehingga mampu membaca suratan qadar? Tuan hebat, tak lebih dari seratus delapan ribu detik kemudian, tuan membuktikan perkataan dengan benar. Tuan sudah tak bernafas lagi setelah itu. Tuan meninggalkan raga yang tak henti-hentinya kami tangisi, sedangkan tuan sendiri berjalan tenang menuju puncak keheningan.
Ceritakan, tuan, bagaimana kehidupan tuan setelah kematian, bagaimana rupa makhluk Tuhan yang mencabut jiwa tuan, apakah ia memiliki sayap paling mengerikan, apa dia membawa benda tajam untuk merobek lantas memisahkan antara roh dengan raga tuan, apa benar tuan dapat melihat kami dengan jiwa yang melayang-layang meskipun tubuh tuan kaku membeku?
Tentu saja, tuan tak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan saya yang kekanak-kanakan karena tuan tak disini, tuan berada di sebuah tempat terbaik untuk berbaring pulas terlelap sampai kami semua berjumpa kembali di suatu padang, benarkan, tuan? Tak apa, saya akan tidur cepat malam ini. Jadi, temui saja saya di dalam mimpi, tuan, dan ceritakan tentang dua makhluk penasaran yang konon bakal menanyai bagaimana usia dihabiskan. Sekali lagi, mampirlah ke mimpi saya, tuan. Saya rindu ingin memeluk tuan.
Cerpen Karangan: Rifdatur Rusdah Blog / Facebook: Yusri Rifda Si pengen jadi penulis tapi males nulis.