Perempuan setengah baya itu tersungkur tersedu-sedu dalam sujudnya. Memohon pada Sang Mahakuasa agar diberikan ketabahan dalam situasi kala itu, agar diberikan kesembuhan untuk suaminya. Bisikan doa yang ia panjatkan tak terdengar makhluk bumi mana pun, tetapi mungkin bergema di hadapan penduduk langit. Hatinya bergetar setiap kali bayangan terlintas bagaimana suaminya berjuang melawan sakit yang dideritanya sejak satu setengah bulan lalu.
Delapan hari telah ia lewati dengan tidur di lantai beralaskan tikar plastik di kabin rumah sakit kumuh kelas tiga, satu kamar dihuni empat pasien yang terasa menyesakkan. Menemani sang suami yang kadang kala kehilangan kesadaran saat kadar gula dalam darahnya menurun drastis, paling parah sampai 24 mg/dL, dengan sabar ia hadapi kenyataan ketika suaminya bertingkah tak wajar. Tanpa menampakkan kekecewaan sedikit pun, ia bersihkan kotoran suaminya yang buang air besar di bangkar rumah sakit, melumuri selimut yang biasa ia gunakan, membuat satu ruangan berbau tak sedap. Ia hadapi dengan tegar saat keluarga pasien lain melirik dan mendesah kesal sambil menutup hidung. Setiap hari pula ia suapi dengan telaten ketika suaminya justru sering memuntahkannya karena makanan di rumah sakit katanya terasa hambar.
Hampir setiap malam ia lalui dengan berat. Angan-angannya kadang kala kalut dipenuhi rasa takut ketika suara bangkar menyusuri lorong didorong beberapa orang menuju kamar mayat, menandakan satu nyawa telah direnggut dari tubuh seseorang. Tak jarang ia berpikiran buruk, bagaimana jika yang selanjutnya adalah suaminya, dengan sesegera mungkin ia tampik bayangan itu.
Hampir setiap malan juga keadaan suaminya kerap kali memburuk. Lidah suaminya tampak lecet dan berdarah karena seharian dipaksa mengunyah gula pasir untuk meningkatkan kadar gula dalam tubuhnya. Selain itu kesadarannya yang sesekali menghilang membuat perempuan itu kadang kewalahan sendirian, tak ada yang mau menjaganya selain ia sebagai istrinya. Setiap kali ia menatap mata suaminya yang semakin hari bertambah menguning menatap ke arah jendela sedang melamun, ia menghampiri dan merangkulnya, sesekali ia usap-usap perut suaminya yang membengkak semakin besar.
Tubuh pria tua itu semakin kurus dengan kedua kelopak mata yang semakin dalam, warna kulit yang semakin gelap bercampur kekuningan, serta perut yang terus membuncit.
“Jika umur bapak sebentar lagi, ibu yang harus jaga anak-anak, ya. Bapak tahu akan sangat sulit membesarkan mereka sendirian.”
Perempuan itu menggeleng pelan dengan mata menahan tangis, “Bapak jangan bicara begitu, bapak pasti sembuh, insya Allah.” Entah menghibur suaminya atau menghibur dirinya sendiri, tak bisa dipungkiri bahwa hatinya remuk redam mendengar suaminya yang sudah kehilangan asa.
Ketika seorang perawat mengatakan di depan suaminya yang kebetulan dalam keadaan sadar bahwa sudah tidak ada jalan lain untuk mengobati penyakit komplikasi yang dialami suaminya, perempuan itu justru meyakini hal lain, bahwa suaminya akan segera sembuh. Ia selalu percaya bahwa Tuhan akan mengasihani suaminya, dan ia yakin bahwa Tuhan sangat menyayangi suaminya melebihi rasa sayang ia padanya.
Pihak rumah sakit tak pernah banyak berbuat banyak sebenarnya, hanya memberi cairan infus, memeriksa kondisi bagian dalam tubuh dengan Rontgen dan memberikan resep obat sebatas penghilang nyeri, setelahnya menyarankan agar memberi banyak makanan yang manis untuk gula darahnya. Begitulah pelayanan yang diberikan pada orang-orang yang hanya mampu mengandalkan jaminan kesehatan dari pemerintah.
Masih di hari yang sama, seorang gadis remaja memasuki kabin tersebut dengan wajah getir, lantas memeluk sang ibu seolah memahami apa yang sedang dirasakan. Gadis itu yakin ibunya sangat lelah menghadapi situasi ini, ia tahu dari suara parau ibunya setiap kali menelepon menyiratkan bahwa perempuan itu sangat tertekan. Gadis itu pun mengalami hal sama ketika di rumah ia harus menggantikan posisi ibunya mengurusi rumah dan kedua adiknya yang masih di sekolah dasar.
Sang ibu, ia mendapati bahwa putrinya diterima di sebuah sekolah menengah kejuruan ternama di tempatnya tetapi, ia kebingungan saat uang yang seharusnya digunakan untuk biaya masuk sekolah hampir habis untuk menebus obat di apotek rumah sakit untuk suaminya. Mengetahui itu, sang anak mengerti, ia tak memaksakan kehendak, meskipun dengan berat hati mungkin saja ia terpaksa melepaskan kesempatan memasuki sekolah impiannya itu.
Saat keduanya tengah berjalan melewati lorong menuju mesjid terdekat, mereka menyaksikan kamar-kamar lain di rumah sakit tersebut. Rupa-rupa penyakit diderita rupa-rupa orang dengan rupa-rupa pelayanan pula, namun dengan kesedihan yang sama bagi keluarga yang besuk atau menemani yang sakit.
“Ibu terkadang tidak sabar menghadapi bapak yang belum juga membaik,” ujarnya pelan, perempuan itu berbisik lirih, terdengar seperti sebuah penyesalan.
Si gadis hanya menanggapi dengan tundukkan kepala tanpa sepatah kata pun terlontar. Ia tak tahu harus berbuat apa di tengah situasi seperti ini.
Beberapa saat ketika di dalam mesjid, gadis itu melihat punggung ibunya bergetar ketika sujud, ia mendengar rintihannya. Ia hanya bisa mengamini apapun yang ibunya mohonkan pada Tuhan.
Saat kembali ke kabin setelah selesai beribadah, ibu dan anak itu berbincang sebentar mengenai keadaan di rumah. Si gadis berbohong mengatakan pada ibunya bahwa ia dan adik-adiknya baik-baik saja, alih-alih ketiga bersaudara itu sebenarnya kesulitan beraktivitas tanpa kedua orangtuanya, mengkhawatirkan bapak mereka yang sakit serta keadaan mereka sendiri, apalagi dengan persediaan uang yang dirasa kurang.
Si bapak yang sakit-sakitan itu menatap pilu pada anak dan istrinya, ia lantas mengatakan kerinduannya pada anak bungsunya yang selama ia di rumah sakit tidak bisa sekali pun berjumpa. Anak kecil tidak diizinkan ikut besuk meskipun itu darah daging sendiri. Anak dan istrinya menghibur pria tua itu dengan berjanji akan membawanya diam-diam, kendatipun dalam hati mereka tahu itu tidaklah mungkin, setiap penjaga di sepanjang lorong rumah sakit selalu melek dengan tugasnya.
Malam ini sudah habis hari ke sembilan, si gadis hendak pulang dan tidak bisa membantu ibunya di rumah sakit menjaga bapaknya, adik-adiknya memerlukan keberadaanya di rumah. Namun, sebelum pulang, ia diberitahu oleh ibunya bahwa dokter mengatakan bapaknya boleh dibawa pulang besok pagi, atau sebenarnya mereka pasrah, atau mungkin karena batas waktu pasien kelas tiga hanya boleh menginap dan mendapatkan pelayanan selama sepuluh hari saja. Apa pun alasannya, bangkar itu sudah harus dikosongkan besok untuk ditempati pasien baru lainnya.
Untuk pulang gadis itu menempuh jarak cukup jauh. Ia menggunakan angkutan umum sebanyak tiga kali turun untuk sampai ke rumah. Keesokan harinya kerabat keluarga banyak yang menanyakan kabar bapaknya, ia yang tidak mengerti apa-apa, merasa senang dapat menyampaikan kabar baik bahwa hari ini bapaknya akan segera dibawa pulang, yang mendengar kabar pun ikut merasa demikian.
Siang hari sekitar pukul 1.30 di hari Selasa, tepat tanggal 10 Juli, gadis itu diberitahu bahwa di gapura kampungnya, bapak dan ibunya pulang dari rumah sakit, sang bapak diturunkan dari mobil tetapi, dengan keadaan digotong banyak orang. Rupanya pria tua itu kembali tidak sadarkan diri, biasanya saat itu terjadi, badannya bisa sangat menjadi kaku atau mengejang, bicaranya sering melantur, hanya jika gula darahnya kembali naik kondisinya akan membaik, masalahnya lidahnya sudah terlalu parah jika terus dipaksa menelan gula atau yang manis-manis.
Saat itu banyak yang membesuk ke rumah, untunglah beberapa saat kemudian pria itu sadar kembali. Ia tampak kebingungan sekaligus terlihat senang sudah bisa berada di rumah. Semua orang-orang yang ada di sana menunjukkan simpatinya. Pun adik dari pria tua sakit itu datang menjenguk, hanya sekitar satu jam pulang kembali karena kondisi bapak si gadis itu sudah membaik dan akan sangat tepat jika dibiarkan istirahat.
Kakak iparnya, tepatnya saudara lelaki istrinya, menghibur pria itu dengan mengatakan bahwa ada pengobatan herbal yang usut punya usut sangat manjur untuk segala jenis penyakit. Alih-alih merasa terhibur, pria itu tersenyum masam terlihat gundah.
“Saya bingung jika saya mati siapa yang membiayai anak-anak saya,” ujarnya tiba-tiba mengalihkan pandangan semua orang.
Si gadis yang berada di samping sang bapak, mendengar itu ia merasakan kehampaan luar biasa, hatinya remuk redam, namun ia sembunyikan dengan hanya menunduk sambil tak henti mengusap-usap tangan ayahnya, seolah tak peduli saat orang-orang bereaksi dengan mengatakan bahwa pria itu akan baik-baik saja. Padahal dalam hatinya ia mencoba tegar dan menampik angan-angan buruk yang terlintas tentang usia bapaknya. Sementara perempuan itu, ibunya, terbawa suasana dan meyakini apa yang diucapkan orang-orang, bahwa pengobatan herbal akan menolong suaminya.
Hingga waktu salat ashar tiba, semua orang yang menjenguk sudah meninggalkan rumah kembali ke masing-masing urusan. Si gadis dan ibunya menemani sang bapak yang katanya tidak ingin tidur, ia duduk beralaskan kasur lantai sambil menatap ke luar jendela, melamun seperti biasanya.
Adik-adiknya yang sebelumnya sangat senang dengan kepulangan sang bapak, tak lama kemudian kembali bermain seperti hari-hari biasa, mereka kegirangan bahwa bapak dan ibu mereka kembali bersama dan tidak akan meninggalkan mereka bersama kakak perempuannya hanya bertiga di rumah lagi seperti 10 hari sebelumnya.
“Nak,” ucap bapaknya lirih hampir tak terdengar, kemudian memanggil namanya.
Gadis itu tahu bapaknya baru saja memanggilnya tetapi, tak langsung ia beri sahutan karena ia tengah membereskan baju-baju kotor yang sebelumnya di bawa dari rumah sakit. Hingga waktu berlalu dan si gadis lupa bahwa bapaknya tadi sempat memanggil namanya dan belum sempat ia respon.
Tepat pukul 17.20 pria tua itu masih dalam keadaan duduk namun matanya tertutup, kepalanya mengangguk-angguk pelan seperti mengantuk yang kemudian dibaringkan oleh istrinya, mengira bahwa suaminya itu kelelahan. Benar saja, saat dibaringkan pria itu seperti dalam keadaan ternyamannya.
Setelah hampir Maghrib, saat hendak diberi obat, pria tua itu masih memejamkan matanya, tak tega sang istri yang berniat membangunkannya. Ia terlihat begitu tenang dalam tidurnya, tidak seperti malam-malam yang ia lewati di rumah sakit, kini perempuan itu yakin di rumahlah tempat ternyaman bagi sang suami.
Saat seorang pria muda yang masih merupakan kerabat mereka baru saja datang menjenguk, ia memperhatikan keadaannya dari samping dan merasa curiga saat pria tua itu tidak tampak bernafas. Ia ulur tangannya meraba leher pria tua itu dan mendapati tidak ada sesuatu yang berdenyut di sana.
Pria tua itu telah pulang, ke rumahnya yang paling nyaman, di sisi Tuhan. Tutup sudah usianya di tahun ke lima puluh satu. Tak seorang pun mengetahui kapan nafas terakhirnya dihembuskan. Perempuan itu benar, Tuhan mengasihani mereka, menyayangi pria tua itu, hingga ia terlebih dahulu kembali ke pangkuan-Nya.
Suasana menjadi sangat haru biru setelahnya, tangisan terdengar pilu dari anak-anak dan istrinya yang sampai sempat pingsan. Keluarga dan kerabat lainnya pun demikian, sebagian tetangga yang melayat menyayangkan kepergian pria tua itu, yang lainnya hanya bertanya ada apa dengan si fulan.
Saat itulah terakhir kali pria itu memanggil nama anak sulungnya, andai saja si gadis tahu itu akan menjadi yang terkemudian sang bapak memanggilnya, namun semuanya sudah sangat terlambat, ia telah pergi, tanah sudah mengambil bagiannya. Dan, sisanya hanya Tuhan yang tahu.
Si gadis sedih bukan kepalang, bagaimana mungkin ia mampu melanjutkan kehidupan tanpa sosok yang memberikan nama padanya, yang memberi warna bola mata yang sama dengannya, sosok yang memangku tubuhnya ketika ia tertidur pulas di depan TV dan memindahkannya ke tempat tidur, sosok yang mengajarinya cara bersepeda, bagaimana mungkin ia bisa menjalani hari-hari dewasanya tanpa sang bapak.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan menjadi tahun. Setengah dekade sejak pria tua itu berpulang, meninggalkan anak-anaknya yang kini bertambah beban di pundak mereka, menjalani hari-hari mereka yang sulit tanpa kehadiran sang bapak, meninggalkan istrinya yang memilih untuk tidak menikah lagi dan hanya ingin meneruskan perjuangan pria tua itu untuk membesarkan ketiga anaknya, sendirian.
Ketiga anak itu, mereka saling berpangku tangan dalam kondisi apapun setelah kepergian bapak mereka, tinggal di rumah dan saling menjaga ketika ibu mereka harus keluar kota mencari rupiah menggantikan peran pencari nafkah.
Dan, hal yang paling disukai ketiga anak itu adalah, ketika sang bapak hadir dalam mimpi mereka.
~Selesai~
Cerpen Karangan: Rifdatur Rusdah Blog / Facebook: Yusri Rifda