Mentari kembali dilahap sang langit malam. Pijar lampu mendedau sebab cahayanya mulai meremang di ujung lorong yang dindingnya sudah terkelupas. Sudah kedua puluh kalinya tuan berjas memasuki ruang seorang puan yang tengah berbaring di atas metainya. Menanti dengan resah sang tuan yang akan membuatnya ia tetap bertahan hidup.
Malam demi malam ia lewati di dalam ruang kerikuhan. Menahan rengsa yang akan menyelamatkannya dari kejamnya semesta padanya. Enam ratus dua puluh tiga malam telah ia lewati. Lelaki silih berganti memasuki ruangannya. Sampai akhirnya puan berbaju hijau itu menyerah pada pilihannya. Malam ini biarlah pria paruh baya itu menjadi tuan yang terakhir ia rengkuh atmanya. Biarlah tuan itu kembali menjeru sang puan dengan afeksi menggebu-gebunya.
“Aku sudah tidak kuat. Aku ingin berhenti, boleh, ya?” tanya puan di atas metainya dengan lirih. Mengawali dialog malam yang akan menjadi sendu. “Maksudmu, kamu mau berhenti dari ini semua setelah berjuta-juta uang sudah kuhabiskan?” tanya pria yang sudah berkepala empat dengan cincin emas menghiasi jari manis di tangan kirinya. Wajahnya jelas menyiratkan rasa tidak suka atas diksi yang baru saja dilontarkan puan di sampingnya. Namun, senyum teduhnya membuat tuan yang aram pitam meretur damai. Tak sadar seorang gadis berkemeja sekolah mendengarkan setiap percakapan mereka tadi dengan atma membelakangi tuan dan nona yang sedari tadi memainkan dialognya.
“Ini soal adek. Dia masih kecil. Kamu jangan terlalu keras padanya,” Dia mengelus pelan tangan kasar pria di sampingnya. Matanya nanar panas menahan netranya yang ingin sekali untuk menangis. “Karena dia masih kecil itulah alasan mengapa kamu harus tetap bertahan melakukan ini semua,” balasnya dengan hela nafas yang berat. “Tidak. Dia lebih tangguh daripada apa yang kamu pikirkan. Bahkan ketika aku pergi nanti, seharusnya ia sudah siap menata masa depannya sendiri tanpa harus ada aku di sampingnya,” timpal puan yang senyumnya tak lagi bahagia. Ada luka di baliknya. “Tolong jaga dia baik-baik,” lanjutnya sembari merengkuh pria yang kini ada di hadapannya dan mulai menangis di dalam peluknya yang hangat.
—
Langit senja mulai bergradasi dengan kelamnya malam. Gadis kecil menyeret langkahnya menuju ruang ibunya berbaring santai. Menduduki pinggiran ranjang dengan pikirannya yang berkecamuk. “Bunda harus janji,” ucap gadis bertubuh mungil dengan tali sepatunya yang sudah basah terkena genangan air selepas hujan senja. Membahas perihal tadi tanpa ada satu pun kata penghantar. “Janji apa, sayang?” tanya puan berbaju hijau di hadapannya yang sedari tadi sudah gusar dikejar sang waktu. “J-jangan,” Gadis itu mendorong pelan tubuhnya yang lemah sembari melingkarkan kedua lengannya ke leher seorang puan yang leher bajunya mulai direbas buliran peluh. “Jangan pergi ke tempat ini lagi,” lanjut gadis itu dengan mengeratkan rengkuhannya sedang puan yang ia rengkuh hanya bisa tersenyum getir.
“Bunda juga harus janji,” Gadis itu mulai melonggarkan peluknya. “Janji apalagi, sayang?” ucap puan tertawa lirih melihat gadis kecilnya bertingkah. “B-bunda–” ucapannya lagi-lagi terpotong sebab dadanya sesak setelah bersusah payah menyembunyikan wajahnya yang sudah panas menahan air mata selagi puan di hadapannya hanya menanti lanjutan diksi dengan manisnya senyum yang menghiasi pesonanya. “–jangan tinggalin adek! Selamanya harus ada di samping adek!” ucapnya setengah berteriak yang malah disambut oleh tawa lepas puan di hadapannya.
“Sekarang giliran bunda, ya yang minta janji!” ucap puan dengan mengsejajarkan tubuhnya dengan gadis di depannya. Menatap lamat-lamat mata hitam kecoklatan dari gadis yang sedari tadi memanggilnya dengan sebutan ‘bunda’. “Sampai hari itu terjadi, adek harus jadi anak yang mandiri, nurut sama orang tua, dan yang paling penting adek harus jadi anak salehah. Janji sama bunda!” Puan paruh baya itu langsung menautkan kelingkingnya pada jari mungil gadisnya yang sebentar lagi ia tinggal. Menghadirkan seberkas senyum di sana.
Tuan kegelapan kembali menjeru. Menyelimuti swastamita yang rengsa dengan dinginnya kerikuhan malam. Melahap dirinya anggara sampai ia benar-benar aram tergelincir angin waktu. Tuan kegelapan mulai memainkan sendratari dongeng pengantar tidur seraya menggantikan hangatnya mentari dengan semunya cahaya bulan. Rinai tangis langit berkolerasi dengan desir angin malam untuk mengetuk-mengetuk jendela yang terlancap retak di ujung sisi bingkainya. Membuat tetesnya membasahi keramik lantai yang sudah dibersihkan tadi pagi oleh pria bermasker hijau.
Derap kaki menggema di sepanjang lorong rumah sakit. Menjalarkan ketakutan di setiap pintu yang diketuk pelan oleh lonceng kematian. Semakin dekat dan semakin dekat. Tirai putih di balik jendela yang berembun terhembus pelan. Menandakan sang waktu telah memilih seseorang untuk ia perdengarkan alunan lirih dari lonceng kematian dan hari ini bundalah yang terpilih olehnya. Mencabut paksa atmanya di hadapan sang buah hati yang sedari tadi tak henti-hentinya merapal doa untuk malaikat kecil mereka yang sedang diseret paksa ke dalam ruang ketaksaan.
Afeksi berkeriau setelah bertemu dengan sang waktu yang enggan memberiku kesempatan untuk merengkuh kembali sang bunda. Membiarkanku bersibar air mata di samping puan yang pesonanya telah ditutupi kain hijau. Tangis langit kian menjadi-jadi. Membisukan tangis yang pecah di ruang ujung lorong rumah sakit. Ruang di mana lelaki silih berganti memasuki tempat bundaku yang tengah berbaring di atas metai hangatnya. Tempat di mana bunda membiarkan lelaki itu menusukkan jarum injeksi ke tubuhnya yang sudah ruai. Bersamaan dengan cairan mulai tertolak dan mengisi ruang intramuskularnya. Perawat pria yang sedari tadi mengekor pada tuan berjas putih hanya meloka jaringan kanker di atas papan dadanya yang mampu menjepit banyaknya lembar kertas putih berisikan catatan hitam.
Buku-buku jari saling terpaut. Memperlihatkan saksi bisu dari janji suci di atas mimbar pernikahan tepat 20 tahun yang lalu. Tuan berkemeja putih mengelusnya pelan sedang yang lain memeganginya erat berusaha menahan laranya dalam diam. Tetes air mata kedua buah hatinya mulai menggenangi sajadah merah marun di balik sujud mereka yang syahdu. Rapalan doa tak henti-hentinya mereka panjatkan berharap doanya makbul.
“… adek harus jadi anak salehah. Janji sama bunda!” Bisik mulai memutar ulang pinta bunda. Memaksaku untuk kembali menangis atas kepergian bunda di atas ranjang rumah sakit selepas ia berjuang melawan kankernya.
Pria yang silih berganti memasuki ruangnya semua hadir meloka bunda tak kembali hangat. Raganya mendingin. Dokter dan perawat mencatat data kematian bunda. Jerit tangis yang sebelumnya tak pernah aku dengar akhirnya mulai diperdengarkan. Ayah serta kedua kakak laki-lakiku menangis di sisi ranjang. Separuh surga yang kami punya lenyap. Bunda dirindu olehNya sampai harus kembali ke nirmana yang sudah lama ia rindukan.
Bunda tidak perlu khawatir. Buah hatimu ini akan selalu merapal doa untukmu seraya melanjutkan bakti kami padamu dengan menuntaskan janji yang telah terpaut buku-buku jari. Janji untuk menjadi buah hati bunda yang saleh dan salehah. Akan kami bawakan untukmu mafela celari serta bumban dafnah emas kelak di surgaNya nanti.
Cerpen Karangan: Selly Fitriyani Wahyu