Siang itu tidak seperti biasanya, langit yang bisanya biru dihiasi sekumpulan awan putih dan terangnya matahari kini hanya menyisakan awan gelap diiringi tetesan air hujan yang jatuh ke tanah, memunculkan aroma petrichor yang sangat aku sukai. Hujan yang turun ke bumi seolah-olah mewakili perasaanku “Apa engkau juga merasa sedih melihatku yang tak tahu harus pulang kemana?” Seruku dalam batin.
Namaku Nayanika Eunoia, usia ku 16 tahun dan aku masih duduk di bangku kelas XI Sekolah Menengah Kejuruan di Kota Cianjur. Seperti insan yang lain aku memiliki jutaan mimpi, salah satunya memiliki rumah hangat dan keluarga yang harmonis. Seiring berjalannya waktu mimpi itu seketika luruh akibat dari keegoisan orangtuaku. “Dimana rasa cinta dan kasih sayang mereka yang dulu?”, “Rumah tangga yang mereka bangun selama 19 tahun apakah tidak cukup untuk saling melengkapi satu sama lain?”
Dulu ayah adalah sosok kepala rumah tangga yang sangat menyayangi keluarga. Namun, semenjak dipindahkan ke perusahaan yang lain ia mulai berubah. Ayah selalu pulang malam terkadang juga tidak pernah pulang, seringnya pergi keluar kota dengan alasan pekerjaan. Perilaku seperti itu membuat ibu dan aku curiga ada yang tidak beres dan berasumsi bahwa ayah berselingkuh.
Sampai suatu ketika aku melihat mereka bertengkar hebat dan saat itu menjadi akhir dari pertemuan.
Prangg.. sore hari setelah pulang sekolah dan hendak memasuki rumah aku dikejutkan dengan mendengar suara kaca yang sengaja dibanting dengan sehingga menimbulkan suara keras. Sontak aku berlari ke arah dimana suara itu terdengar dan mendapati mereka sedang beradu mulut.
“Kamu itu selalu menuduhku yang tidak-tidak Karin!” teriak ayah dengan membanting sebuah piring. “Aku tidak mungkin menuduhmu tanpa bukti” balas ibuku dengan suara bergetar seakan menahan tangisan namun tetap berusaha keras. “Mana tunjukan yang disebut kau bukti?” timpal ayah lagi.
Tidak lama ibu segera mengeluarkan hp dari saku dan menampilkan sebuah gambar seorang pria dan wanita duduk berdampingan, dimana seorang pria itu adalah ayah yang tengah berjabat tangan dengan seorang ustadz layaknya ijab kabul. “Kamu telah menikah dengan perempuan itu,” ujar ibu seolah terbata-bata menahan sesak di dadanya.
Beberapa saat ayah terdiam, dan diamnya ayah membuat aku mengerti bahwa foto itu benar. Sampai satu kalimat keluar dari mulut ayahku, “Aku akan menceraikanmu mulai hari ini Karin!” “Baik! bawa Naya bersamamu aku tidak menginginkannya.” “Kamu gila! aku juga tidak mau kamu saja yang urus kalau tidak mau kirim saja dia ke panti asuhan!”
Perkataan yang keluar dari mulut mereka seolah menyayat hatiku, perih sekali. Sebegitunya mereka tidak mengingkanku sehingga harus dikirim ke panti asuhan. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke rumah nenek daripada harus tinggal di panti asuhan.
Setelah penceraian kedua orangtuaku, hari-hariku diisi dengan sedih, marah dan kecewa, semua perasaan itu bercampur aduk menjadi satu. Bahkan aku pernah terlintas untuk mengakhiri hidup karena tak sanggup dengar ejekan dari orang-orang yang mengatakan anak sepertiku tidak akan memiliki masa depan.
Dengan tekad yang bulat dan dorongan dari kasih sayang nenekku, akupun kembali menjalani mimpi setelah lulus SMK nanti. Aku ingin sukses dan membuktikan kepada mereka bahwa anak sepertiku memiliki masa depan.
Setelah lulus sekolah, akupun melamar di suatu perusahaan swasta sebagai staff admin dan akupun diterima di sana. Kini aku bekerja untuk memenuhi kebutuhanku dan tak lupa juga aku memberi setengah uang gajiku kepada nenek untuk modal usahanya. Awalnya aku berniat mengasih sedikit uang untuk ibu sekaligus melepas rinduku padanya namun ibu menolaknya dengan alasan tidak butuh dan malah mengusirku.
Sejak saat itupun, aku tidak lagi bermimpi, tapi aku berjanji kepada diriku untuk menjadi yang lebih baik dan layak untuk mendapatkan kebahagiaan.
Di sini aku sadar bahwa ketika semua berbeda dari yang kita impikan, kita hanya perlu bersabar menjalaninya dan tidak lupa untuk selalu bersyukur. Percaya bahwa semuanya akan indah pada waktunya.
Cerpen Karangan: Wida Nuraida Blog / Facebook: Nakashima Wida