Awal mula terbentuknya Kerajaan Tugawa dipicu oleh runtuhnya Kerajaan Bedahulu yang dulunya berjaya akibat perang para dewa semakin memanas. Seorang bangsawan dari Klan Hasim pergi meninggalkan Bedahulu dan membangun sebuah peradaban yang maju di Kerajaan sendiri. Dia yang dikenal sebagai pembangun, pelopor dan pencipta dari Tugawa, Hasim Amangkurat I atau yang lebih dikenal dengan Raja Hasim I, lalu memberikan titah pertamanya di atas tanah air yang Ia bangun dikarenakan tragedi yang terjadi di Bedahulu. Titah tersebut memberikan sanksi dan tanggungan berat berupa hukuman turunan kepada pelaku kejahatan di Kerajaan.
Upaya pengabadian dilakukan sehingga tertulis dalam Prasasti Amangkurat yang berbunyi, “Kadurjanan ing wangun utawa wujud apa wae ora bisa ditoleransi!” dalam bahasa Jawa yang memiliki arti, kejahatan dalam bentuk atau rupa apapun tidak dapat ditoleransi. Hal ini lalu menjadi sebuah pedoman bagi keturunan Klan Hasim yang akan datang. Namun, pedoman ini tidak berlangsung lama.
Waktu berjalan, hingga sampailah saatnya pada anak generasi ke-5 Klan Hasim, Raja Hasim Amangkurat IV yang terkenal akan pesonanya saat baru mengambil alih tahta kerajaan. Saat itu, Raja sedang duduk di singgasananya sambil melamun. Lalu sesuatu terpikir olehnya. “Kasim Wiryo, persiapkanlah Djongku. Aku hendak ke Serampat!”. Ia lalu menaiki Kapal Djongnya, dan bergegas menuju Kerajaan Serampat di Utara. Disana, Raja disambut dengan hangat oleh para bangsawan serta pelayan-pelayannya disana.
“Salam, wahai paduka Raja Hasim Amangkurat IV dari Tugawa!” kata para pelayan dengan lantang. Ia selalu mengagumi kekayaan dan keindahan dari Kerajaan Serampat. “Bawalah aku menghadap Rajamu!” perintahnya. Maka dibawalah Raja Hasim IV menghadap Raja Suwardana Dirgantoro VII keturunan ke-8 Klan Suwardana.
“Salam, Saudara Raja Hasim Amangkurat IV, Keinginan apakah yang membawamu kemari?” kata Raja Suwardana VII. “Dengan segala bentuk hormat, perkenankanlah Aku menikahi putri bungsumu yang terkenal oleh keelokannya di seluruh Kerajaan Serampat, Putri Agung Suwardana Ayunda. Dengan pernikahan ini, kedua peradaban kita akan bersatu dan membangun sebuah aliansi yang tak terkalahkan di seluruh Nusantara!.” Raja Hasim IV lalu memberi isyarat kepada para pelayannya untuk mengeluarkan hadiah persembahan kepada Raja Suwardana VII berupa 67 patung kerbau emas, 92 minyak wangi, dan 185 helai kain sutra. “Aku juga menyerahkan 5.000 ekor lembu dan 10.000 ekor ayam hutan kepada gudang pangan Kerajaan Serampat, untuk menunjukkan rasa cintaku kepada negeri ini.” Raja Suwardana VII terkesan dengannya, lalu mengeluarkan titah untuk menikahkan putri bungsunya dengan Raja Hasim IV, serta untuk menyebarkan berita sukacita mengenai aliansi antara Serampat dan Tugawa.
Malam pernikahan pun tiba, Putri Ayu duduk didepan meja perhiasannya, melihat refleksi dirinya di cermin. Ia menghela nafas panjang, lalu mulai menyisir rambut panjangnya yang indah dengan perlahan-lahan. Sang Putri merasa sesalan dengan pernikahannya yang akan datang oleh karena dirinya yang tidak mempunyai keberanian atau kuasa untuk melawan perintah Raja. Dengan mengurut dada, Putri Ayu berlutut di dekat jendela kamarnya, memejamkan mata, dan berdoa kepada Bulan yang dipercayai oleh para penduduk Serampat merupakan pelindung tanah air tersebut. “Rembulan cahaya kehidupan, apa dayanya aku kepadamu? Keelokanmu bersinar di malam yang penuh duka. Menemani sepinya hati ini. Kumohon, tunjukkanlah kuasa kebajikanmu padaku. Terangilah jalan yang benar untukku. Di dalam namamu, aku berdoa.” Malam itu, Putri tidak dapat tertidur.
Ketika hari sudah fajar, Kepala Dayang beserta 6 bawahannya berjalan menuju kediaman Putri Ayu demi mempersiapkannya untuk pernikahan dengan Raja Hasim IV. Sang Putri ragu-ragu pada awalnya, namun ia meyakini diri sendiri. Tanpa disadari, ia sudah berada di dalam kereta kuda menuju Candi Hasim, kediaman Raja Hasim IV. Mereka mengadakan pesta pernikahan disana selama 7 hari 6 malam. Sesuai tradisi, Sang Putri yang kini berstatus sang Ratu hendak bermalam dengan Raja untuk pertama kalinya di Istana utama Serampat sebagai pensahan. “Ayunda, Ratuku, mari habiskan malam ini bersamaku.” Tentu saja, sang Ratu berkeberatan akan hal ini. Namun dengan segala tekanan yang diberikan Ayahnya akan pernikahan ini, maka ia setuju untuk menghabiskan malam bersama Raja.
Tahun demi tahun berlanjut, seiring waktu, Raja kini menghabiskan sebagian besar waktunya di bekerja di Istana, demi menemani Sang Ratu. Dan pada saat ini, Raja Hasim IV dan Ratu Ayu sudah menikah selama 5 tahun. Sang Ratu juga sudah mulai merasa nyaman dengan pernikahannya, oleh karena Raja yang selalu rela memberinya apapun yang ia inginkan. Namun, mereka masih belum mempunyai anak walau sudah 5 tahun menikah. Raja Hasim IV juga menginginkan seorang anak. Lebih tepatnya seorang anak laki-laki agar dapat ia angkat menjadi putra mahkota dan berharap suatu hari nanti dapat meneruskan tahta kerajaan.
“Ayunda, Ratuku, bilamana diriku turun tahta? Siapakah yang akan menggantikan posisiku?” Tanya Raja. “Kita belum mempunyai anak!”. Ratu pun mengangkat bahu. Ia juga merasa memang sudah waktunya memiliki seorang anak. “Jika paduka berkehendak, maka siapakah aku untuk menolak.” Raja tersenyum, lalu memberikan pelukan kepada Sang Ratu. Namun, ia membisikkan sesuatu ke dalam telinga Sang Ratu. “Aku berharap akan kedatangan anak laki-laki.”
Dan benarlah, setelah seminggu berlalu, Ratu Ayu sudah hamil anak pertama. Tugawa dipenuhi sukacita pada saat itu. Pesta perayaan diselenggarakan di ruang dansa Istana. Ruang itu dipenuhi oleh tawa dan canda dari para bangsawan. Segalanya pada saat itu berjalan dengan sempurna. Dengan aliansi Tugawa dan Serampat, serta berita kehamilan Ratu Ayu, Kerajaan Tugawa mencapai puncak kejayaannya.
Namun, dari setiap kebaikan, selalu ada penyesalan. Setelah 7 bulan mengandung, Ratu Ayu melakukan kunjungan ke tabib untuk cek kehamilan rutin sebelum upacara nujuh bulan. Akan tetapi, tabib juga memberikan informasi mengenai jenis kelamin anak yang dikandung Ratu Ayu. Betapa terkejut dan takut terlihat pada raut wajah Ratu, ketika menyadari kalau anak yang ia kandung selama ini merupakan seorang bayi perempuan. Ratu pun memberitahu kepada para dayang yang bersamanya saat itu untuk merahasiakan hal ini kepada Raja. “Janganlah kalian beritahu paduka akan hal ini! Kumohon, hanya sampai Upacara Nujuh Bulanku!” Namun, realita berkata lain. Pada saat upacara nujuh bulan berlangsung, Sang Ratu turun ke dalam permandian untuk disirami dengan air bunga. Yang tidak ia sadari, Raja sebenarnya sudah mengetahui akan hal ini. Raja merasa sangat kecewa atas anaknya yang ternyata adalah seorang perempuan. Maka, ia memerintahkan salah satu dari Dayang kerajaan untuk mencampur air bunga upacara nujuh bulan Ratu Ayu dengan merkuri untuk meracuni dan membunuh anak yang dikandung olehnya.
Secara perlahan, Sang Ratu mulai merasakan rasa sakit yang sangat luarbiasa pada perutnya. Permandian itu juga perlahan mulai dipenuhi darah dari dalam kandungan sang Ratu. Terungkap juga, kala dayang yang meracuni air permandian selama ini merupakan selingkuhan dari Raja. Ia hanya mau menikahi Ratu Ayu dengan harapan untuk mengambil alih Kerajaan Serampat.
Karena menyadari akan rencana Raja, semua dayang yang berada disana meninggalkan ruangan dan membiarkan Ratu di dalam pemandian dengan kondisi sekarat. Menjelang ajalnya, Sang Ratu hanya dapat berdiam diri karena seluruh tubuhnya mulai mati rasa. Ia lalu dengan pasrah, berdoa untuk terakhir kalinya kepada bulan di malam hari itu, “Rembulan Cahaya Kehidupan, aku memohon untuk terakhir kalinya kepadamu. Terangilah jalan yang benar. Bukan untukku, ya mahakuasa, bukan untukku. Melainkan untuk putriku tercinta.” Setelah berdoa, ia lalu membelai kandungannya dan berkata, “Tidur yang nyenyak, dinda. Ibu mencintaimu.” Ratu Ayu pun menghembuskan nafas terakhirnya.
Ketika gelap gulita melanda Tugawa pada tengah malam, munculah cahaya yang terang dari selasar-selasar istana. Sosok putih yang bersinar bagaikan bulan di malam hari berjalan menuju permandian dimana letak jasad sang Ratu berada. Ia memasuki ruangan itu, berlutut, dan menangis penuh duka. Dengan tekad yang bulat, sosok itu meletakkan tangan kanannya di dalam air pemandian tersebut dan berkata dengan lantang, “Anak Agung Ratu Ayunda, Aku akan menjawab doa yang dipanjatkan oleh ibumu. Dalam namaku, engkau terlahir kembali!”.
THE END.
Cerpen Karangan: Nicholas Jhonson Arya @ccboyc di Instagram