Kamu menghela napas, kemudian mengacak rambutmu kasar. “Gue cabut,” ucapmu dengan nada datar. Tanpa menunggu tanggapan dari teman-temanmu yang lain, kamu bergegas berjalan menuju parkiran. Meninggalkan para temanmu yang memandang kamu dengan tatapan bingung.
“Dia kenapa?” Tanya salah satu dari mereka. Walau kamu mendengar kalimat itu, kamu tak menoleh apalagi menjawabnya. Hanya terus melangkah dengan tatapan mata ke depan. Kamu menaiki motor sport milikmu lalu menuju ke suatu tempat dengan kecepatan penuh.
Setelah sampai di tempat tersebut kamu turun dari motor lalu berlari tergesa-gesa. Tempat yang penuh dengan lalu-lalang perempuan berbaju putih itu entah kenapa kamu merasa bahwa hari ini sangat ramai padahal biasanya sepi. Atau malah kqelompang.
“KAKEK!” Suara teriakan kamu setelah sampai di depan ruangan tempat kakekmu dirawat. Kamu menyorot sendu seseorang yang terbaring lemah di dalam sana. Perlahan tubuhmu meluruh. Kamu mendongak ketika seseorang menepuk bahumu.
“Bagaimana keadaan kakek saya?” Tanya kamu kepada dokter yang keluar dari ruang rawat. Sang dokter menghela napas. “Maaf, kakek anda telah pulang. Tuhan lebih menyayanginya. Saya turut ber–” Belum selesai dokter itu berucap, kamu telah berlari masuk ke dalam ruangan. Kamu tak mempedulikan ucapan belasungkawa itu. Bagimu, itu hanya basa-basi.
“ENGGAK MUNGKIN! KAKEK GA MUNGKIN TINGGALIN EL …” “El minta maaf …” “El salah. El menyesal. Tolong bangun …” “Bangun Kek, bangun!!”
Kamu menggoyangkan tubuh kakekmu yang telah terbujur kaku. Tubuhmu mulai luruh dengan bibir yang terus menggumamkan kata maaf. Untuk ketiga kalinya, kamu kembali meneteskan air mata. Untuk ketiga kalinya, kamu kembali terpuruk karena ditinggal pergi oleh keluarga. Untuk ketiga kalinya, netra yang selalu menyorot tajam itu mulai meredup. Itu netramu.
Hari pemakaman pun tiba. Kamu yang hari ini memakai kemeja hitam dengan celana senada hanya terdiam menatap tiga makam yang berjejer. Wajahmu kembali seperti biasanya, dingin. Sedang netra kamu kembali menyorot tajam. Sekilas, kamu memang terlihat biasa saja. Kamu bahkan tak meneteskan air mata saat prosesi pemakaman.
Kamu memaksakan dirimu agar terlihat tegar, padahal perasaanmu rapuh. Dari luar, kamu terlihat kuat di pandangan orang-orang. Padahal sebenarnya, di dalam dirimu, kamu terpuruk.
“Kami duluan,” Salah satu dari temanmu berucap itu. Satu persatu mulai meninggalkan makam. Setelah menepuk bahumu, mencoba menguatkan walau itu sia-sia. Kamu hanya bergeming, tak menjawab ucapan belasungkawa itu.
Kamu sangat membenci saat-saat seperti ini. Di mana orang-orang memandangmu iba. Diperlakukan seolah mereka peduli, padahal itu hanya rasa kasihan semata.
Kamu yang semula berdiri mengubah posisi menjadi bersimpuh. Menatap dua makam di hadapanmu yang lama. “Mama Papa …” panggil kamu dengan suara bergetar.
“Kenapa kalian jemput Kakek? Padahal aku udah minta maaf karena ninggalin Kakek. Aku cuma ngobrol sebentar sama temen-temen. Aku pikir ga apa-apa kalo aku pergi sebentar. Tapi ternyata … kalian jemput Kakek waktu aku ga ada di samping beliau. Aku minta maaf.” Nada suara kamu terdengar mengadu. Netra kamu lalu beralih menuju makam yang masih baru.
“Kakek, apa suatu saat kakek juga bakal jemput Oma? Gapapa, aku bolehin. Tapi kumohon jangan dalam waktu dekat. Aku ga mau untuk keempat kalinya seperti ini. Aku tau suatu saat itu akan terjadi, tapi setidaknya aku udah dewasa. Atau saat aku memiliki seseorang yang ditakdirkan di sini, di sisiku.” Kamu menutup mata, berusaha agar tak kembali emosi. Sudah cukup malam tadi.
“Tapi jika kalian menjemput wanita itu,” netra kamu menajam saat memandang seorang wanita yang sedari tadi kamu tahu bahwa dia memperhatikanmu. “Aku tak akan menangis. Tak seperti saat kalian pergi dari sisiku.” Ucapmu sembari memalingkan wajah saat bertatap muka walau dari jauh dengan wanita itu.
“Aku akan mengikhlaskan kalian. Semoga Mama, Papa, Kakek tenang di alam sana.”
Kamu kemudian berdiri, masih dengan netra mengarah ke makam. “Aku pergi. Aku akan pulang ke rumah.” Pamitmu.
Kamu melangkah meninggalkan makam. Netra kamu menatap lurus ke depan. Tetap memasang sorot tajam khas netra hitam kelam. Di dalam sana, sinar netramu meredup dan akan kembali berbinar saat kamu menemukan seseorang yang memang untukmu.
—
Cerpen ini adalah prekuel (bener ga sih namanya itu?) dari novel Kelabu Biru yang sedang dalam masa penulisan. Tapi berbeda POV. Di novel menggunakan POV 3 (nama). Cerpen ini ditulis dalam satu hari di tahun 2020. Terima kasih telah membaca
Cerpen Karangan: Da Azure Biasa dipanggil Da Dapat ditemui di Wattpad Akun pribadi: @Daa_zure Akun bersama bestie: @Filila_3