Minggu, 08 Januari 2023. Pukul 06 di kota seribu gereja, tanpa segelas kopi aku menghangatkan badan dengan menjemurkan diri di balik kain pemberian mama. Mata terpana melihat pakaian berserakan di ember anti pecah.
“Hufff, cuci lagi”, ocehanku seakan-akan pakaian bisa membalasnya.
Sambil menyuci aku mengkhawatirkan ujian yang akan berlangsung besoknya.
“Ersi, coba buka HPmu” kata temanku sambil berhati-hati ia ucapkan. “Iya” pintaku memelas. “Ada apa sih”, merajukku. Perlahan aku membuka PIN Hp, tepat pukul 08:30 Panggilan masuk tak terhitung jumlahnya, pikiran tak terarah, Hp bergoyang akibat gemetaranku. “Berita apakah ini? Ada apa dengan iparku? Mengapa adiknya meneleponku berkali-kali?” Aku mengkhawatirkan iparku yang sedang mengandung.
Rasa penasaran melonjak terus menelusuri WhatsApp. Aku tercengang, melihat story dari sanak saudaraku.
“Hah, Masa sih?” Responku tak percaya dengan nada yang penuh khawatirku, mata berlinang. “Tolong telepon kakak” dengan nada lemah tak berdaya aku meminta bantuan dari teman-temanku. Sebenarnya hatiku menangis tapi aku menahan tak menangis.
“Halo” dengan nada menangis kakakku menjawab telepon dari adik bungsunya ini. Aku langsung menangis jadi-jadi mendengar suara kakak. “kakak Nas, Mama!” Suaraku pelan-pelan bertanya. “Mama kenapa? Ada berita apa ini? Mengapa? Ini semua bohong kan?”
Aku tak memberikan ruang untuk ia menjelaskan. Hanya menangis ia menjawab semua pertanyaanku. Aku pun menangis histeris karena kakak tidak mengungkapkan apa yang terjadi. Aku tahu itu pertanda berat baginya dan benar apa yang telah terjadi dengan mama. “Mamaaaaa” aku menangis tak henti. “tut, Tut, Tut” bunyi Hp memisahkanku dengan kakak.
“Ersi, tanta kenapa?” tanya teman sekamarku sambil menangis. Aku hanya bisa menangis tidak menjawab. Hati ini seperti tertimbun lumpur, yang bisa diungkapkan hanyalah “mama” berat rasanya.
Aku melawan rasanya sakit tanpa berdarah dengan mengatakan, “teman-teman kalian senang masih bisa memanggil dan mendengar suara Mama, sedangkan aku” suaraku terbata-bata “hari ini terakhir aku memanggilnya”. Teman-teman kos menangis ikut merasakan sakitnya kehilangan.
Helaan nafas untuk menahan rasa sakit hati, supaya bisa bertemu dengan mama. Aku bersama sepupu berangkat ke rumah kakak Nas. Dalam perjalanan aku memikirkan bagaimana dengan ujian akhir semester yang akan dilaksanakan esoknya, masa depanku, semuanya aku pikirkan. Aku berjalan menelusuri lorong rumah tetangga menuju rumah kakakku. Kakak tidak henti menangis, sementara aku terus bertanya,
“Mama, kenapa tidak beri tanda-tanda perpisahan selama ini?” sambil menangis. “Kakak, kalau bisa telpon sopir supaya cepat berangkat ke kampung!” “Sabar enu! Saya sudah telpon tadi” ia menjawab dengan suara tak jelas.
Awal kuliah banyak caci maki terhadap perjuangan untuk kuliah. Satu kalimat saja mama mendewasakanku, Eme retang neka mese bail, eme beti neka ciek bail (kalau menangis jangan terlalu besar dan kalau sakit jangan berteriak), singkat namun penuh makna.
Semester dua, kedua orangtuaku dituduh. Semester tiga, tepat mau ujian akhir mama melangkah jauh tanpa tanda-tanda perpisahan. Dalam perjalanan pulang kampung. Aku membuka lembaran lama masa kecil sekitar umur 8 tahun. Mama dipukul, dicaci maki, disepelekan oleh orang-orang terdekat. Masih lengkap kisah pilu yang tersimpan dalam memori. Kisah itu selalu menakutkan, kini aku merasakannya lagi dengan cara yang berbeda.
Sungguh mentalku diremuk, batinku ditekan. “Tuhannnnn, teka-teki apalagi yang harus aku mencari jawabannya, permudahkanlah Tuhan!” Aku berteriak dalam hati supaya kakak tidak terlalu mengkhawatirkanku.
Kaki tidak kuat melangkah, melihat banyak orang di depan rumah. “Mamaaaaaaa, mama e” aku berteriak air mata mengalir. Aku meronta protes, “mengapa mama tidak beri tanda-tanda sebelum aku berangkat ke kota Ruteng”.
Dulu aku selalu mengelus baju kotor yang robek, kini aku mengelus kain kafan yang bersih putih. “Mama, bagaimana dengan kuliahku untuk selanjutnya? Mama, teman-teman besok mengikuti ujian, lalu aku harus bagaimana? Mama, aku akan mengeluh ke siapa lagi? Mama tahukan papa orangnya pendiam, pasti orang-orang tidak akan meminjamkan uang untuk keperluan kuliahku”. Seperti orang gila yang berbicara sendirian di depan mama yang terbaring.
Acara-acara adat kian berganti dengan tangisan kami. Sebelum penutupan peti berbisiklah ke telinga mama Sebet untuk yang terakhir kali. Tua adat mengelabui tangisan kami.
“Mama aku minta maaf dan terima kasih” hanya itulah kata-kata yang bisa aku ucapkan, sungguh berat.
“Mamaaaaa, mamaaaaa e, Mamaaaaaaaa” aku memanggilnya sekencang-kencangnya karena itu panggilan terakhirku untuknya walaupun ia tidak menjawab. Kini alarm alamiku telah hancur. Suaranya masih bergetar di telinga ini “Enu bangun, mari kita minum kopi bersama”. Aku tutup lembaran kisah ini walaupun tidak tertutup rapat.
“Selamat sore kota Ruteng” suara serak menyapa, kesakitan, capek, semuanya aku rasakan begitu sakit. Aku menyesuaikan situasi hati supaya tetap damai untuk mengikuti ujian bersama teman-teman. Tawa riang yang mereka buat tidak aku rasakan. Mungkin ini namanya kesendirian di tengah-tengah keramaian.
Hari demi hari aku mengikuti ujian susulan. Nikmat sekali, lorong yang hening menyapa hati yang sepi aku seorang. Terima kasih lorong yang hening hanya kamu yang sefrekuensi dengan isi hati ini, hari ini aku pamit untuk bertemu dengan kenangan-kenangan bersamanya di rumah tua, aku berpamitan tanpa seorang.
Cerpen Karangan: Teresiana Jemina Blog / Facebook: Ershy Teresiana Jemina adalah Mahasiswi Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng. Program studi: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia