Hari ke-25 Ramadhan, pukul 4 pagi. “Jima…, ayo sahur,” Ini sudah kali ke sepuluh dalam pagi ini Mama membangunkanku. Semakin muak rasanya aku mendengar itu. Aku menutup telinga dengan bantal rapat-rapat sambil berteriak kesal. Tidak mau. Sungguh. Ramadhan adalah waktu dimana sangat kubenci.
“Kak…, ayo. Kamu Ramadan ini baru puasa 5 kali, mau bolong lagi? Kamu sudah baligh loh kak,” Aku sekali lagi menolak keras. Mama akhirnya keluar kamarku, sambil menghela nafas.
“Kalau tidak mau puasa, jangan lupa shalat Subuh ya kak,” Mama masih berkata di depan kamar. Aku mendengus. Menutup seluruh tubuh dengan selimut. Memutuskan untuk memejamkan mata kembali tanpa memedulikan perintah Mama untuk shalat. Entah kapan terakhir kali aku mengambil wudhu dan menggelar sajadah. Lagipula, Kenapa sih, Mama selalu menyuruh nyuruhku? Apalagi di bulan Ramadan ini berkali kali lipat lebih cerewet daripada hari biasa. Aku sudah besar. Aku bisa bebas melakukan hal yang aku mau.
—
Aku termasuk anak langganan guru BK di sekolah. Tingkah dan perilakuku yang semakin hari semakin menjadi membuatku selalu dipanggil. Aku pernah diskors 1 pekan dari sekolah karena kelakukanku yang semakin buruk. Awalnya aku biasa saja, bahkan cenderung senang. Aku tidak bisa membayangkan betapa kecewanya Mama. Tapi, peduli apa aku?
“Eh ntar nongki yuk di cafe baru pertigaan situ,” Ajakku pada 5 cewe kecentilan alias sahabat-sahabatku. “Wah parah lu gila ga puasa lagi,” timpal salah satu temanku. “Gas lah bodo amat,” “Gue gak dulu deh, masih inget Tuhan,” “Anjir lo,” kami semua tertawa. Entah kenapa aku bisa bergaul dengan mereka. Aku berpikir. Mungkin karena pergaulan pertemananku inilah yang membuat pribadiku bisa berubah seperti ini. Dunia pertemanan memang sangat berpengaruh. Percayalah itu.
Dalam pertemananku sebenarnya merokok, party, dan minum-minum adalah hal yang sangat biasa. Tiap akhir pekan aku bisa pulang diatas jam 12. Mama yang mengetahui hal itu hanya menatapku dengan prihatin dan membuang napas pelan, seakan di hatinya masih berharap agar anaknya kelak bisa kembali ke jalan yang benar dan sukses di masa depan.
Sepulang dari cafe, aku merasakan suasana yang sangat amat ganjil. Pikiranku sudah tidak karuan. Tubuhku bergetar hebat dengan nafas yang tidak teratur setelah melihat sebuah bendera di depan dan rumah yang mendadak ramai. Aku berlari ke dalam rumah, menyeruak diantara tetangga-tetannga yang sedang menangis, menuju ke ruang tengah. Memperlihatkan mimpi buruk yang paling buruk bagi seorang anak.
“Ikhlaskan ya nak…,” tak kusadari ternyata budeku ada disitu sambil mengusap bahuku. Aku mengelak, jatuh terduduk di depan Mama yang sudah dilapisi kain putih bersih. Aku memeluk Mama. Lalu memegang tubuhnya yang kaku dan dingin. Kulitnya lembut, wajahnya menyunggingkan senyuman tipis. Matanya terpejam dan tidak akan bangun lagi. Tangisanku meledak. Padahal, tadi pagi Mama masih membangunkanku untuk sahur. Namun sekarang dihadapanku ia sudah tak bernyawa.
Ma… Apa ini tidak terlalu cepat?
Ini bagaikan beribu ribu panah menusukku.
Aku menatap cermin. Memperlihatkan wajahku yang sudah tidak terbentuk. Pipi merah dan rambut berantakan. Sedari tadi ku memukuli wajahku, menjambak, menangis, berteriak. Aku terlihat seperti orang gila sekarang. Separuh jiwaku sudah pergi. Dan separuhnya lagi sudah redup. Hidupku kosong sekosong kosong nya. Tuhan memang jahat.
Aku berteriak kencang, disusul tangisan yang sudah ke ratusan kali. Aku marah. Marah pada Tuhan, marah pada diriku sendiri yang berhati lebih keras daripada batu. Aku bodoh. sungguh bodoh. Sekarang aku sendirian, Tidak ada lagi siapa siapa yang mau-
“Allahu akbar allahu Akbar!” Adzan maghrib berkumandang. Hatiku mendadak sedikit lebih tenang. Aku pun terdiam menunggu adzan selesai, tertunduk sambil memejamkan mata. Merenungi di setiap lafadz adzan yang merdu.
“Laailaaha ilallah…” Aku berdiri. Tubuhku seakan bergerak sendiri. Entah siapa yang menggerakkan tubuhku ke kamar mandi. Tanganku menyentuh keran air, lalu mulai membilas, mengusap ke area tubuh tertentu dengan teratur. Aku menyadari sesuatu. Aku sedang mengambil wudhu setelah sekian lama.
Kugelar sajadah, kemudian mengenakan mukena pemberian Mama di hari ulang tahunku 2 bulan yang lalu yang bahkan belum pernah kupakai sama sekali.
Aku memulai shalat. Walau aku sudah lama tidak menunaikannya, aku tidak pernah lupa cara untuk beribadah. Rasa hangat mulai mengalir di tubuhku. Saat sujud, aku mulai menangis. Rasa hati ini sangat tentram dan tenang. Teringat kembali semua kelakuan kelakuanku 1 tahun terakhir.
Ya Allah… Apakah aku masih pantas menghadap padaMu… Apakah ibadahku masih diterima, aku pergi terlalu jauh dariMu Ya Allah.. Aku membantah Mama, Meninggalkan kewajiban, melakukan semua hal yang engkau larang. Apa aku masih pantas? Maaf… Maafkan aku yaAllah… Ampuni semua perbuatanku, Aku menyesal, Sungguh menyesal. Apa masih ada waktuku untukMu di Ramadhan ini…
Aku terbangun dari sujud. Sajadahku basah. Mataku semakin bengkak saja rasanya. Tapi hatiku lega. Sangat lega. Semua beban, kekosongan, dan marahku hilang. Kondisiku jauh lebih baik dari sebelumnya.
Allah benar-benar baik. Ia senantiasa menunggu HambaNya untuk kembali.
Allah memang mengambil Mama orang yang paling berharga bagiku, sakit sekali rasanya. Apa itu artinya Allah jahat? Tidak. Allah sangat menyayangi hambanya. Sangat. Aku memang menyayangi Mama, Tapi Allah lebih sayang Mama. Allah menyuruhku untuk belajar ikhlas, merelakan sesuatu. Allah akan memberikan pengganti yang lebih baik, aku yakin itu.
“Maaf ya Ma, Jima belum bisa banggain Mama. Mama pasti udah capek banget sama kelakuan Jima selama ini. Maaf ya Ma, Jima baru puasa 5 kali. Ma-ma kenapa cepet banget pergi Ma. Jima sendirian Ma…,” Aku berkata lirih di tengah doa. Air mataku terus bercucuran.
Di Bulan Ramadhan ini, Allah mulai membuka pikiran-pikiran orang yang tersesat yang jauh dariNya, memberikan sepercik hidayah yang luar biasa, kemudian kembali membuka pikiran dan menuntut ke jalan yang benar.
Dan Allah sangat baik. Ia masih memberikanku kesempatan 5 hari sebelum akhirnya bulan Ramadhan pergi dan baru bertemu satu tahun lagi.
Terima kasih Ya Allah…
“Robbighfirli waliwalidayya warhamhuma kamaa rabbayani saghiira…”
Cerpen Karangan: Khalawa Imana