Minggu, 29 Mei 20xx. Hari yang cerah untuk melangkah bebas. Hari ini tidak ada jadwal yang kubuat. Tugas sudah diselesaikan dengan baik menjelang akhir pekan menghampiri. Berbagai target capaian di minggu ini pun sudah terlaksana. Ya, begitulah kiranya hari Minggu yang kujalani.
Aku melangkah keluar dari kamarku. Kamar petak yang punya dua jendala berkarat yang tidak bisa dibuka. Tapi untungnya ketika pindah ke sini aku mau berbesar hati untuk membersihkan tebalnya debu yang menempel pada dua petak jendela ini. Hasilnya sangat memuaskan karena setidaknya dengan menghilangnya debu di jendela itu bisa membuatku sedikit tahu bagaimana suasana hati langit hari demi hari. Sengaja kusisihkan uang untuk sedikit mendekorasi kamar petak ini. Hal ini tentu saja karena nasihat ibu. Ya, ibu selalu berpesan padaku agar membuat nyaman tempat yang aku tempati. Kamar petak ini menurutku sudah berhasil membuatku nyaman.
Hari Minggu. Definisi hari Minggu di tiap kepala orang itu berbeda-beda, tapi menurutku kesimpulannya berada di titik yang sama, yaitu hari libur. Semenjak pindah ke pusat rantauan manusia ini aku begitu sangat memahami waktu-waktu yang aku lewati. Sebelum memutuskan untuk meliburkan diri di hari Minggu pun aku melewati berbagai konflik pada diriku sendiri. Konflik yang membuatku kehilangan begitu banyak momen yang seharusnya aku lewati.
Haa … sudahlah.
Aku meraih ponsel, menghidupkan layarnya dan ternyata sudah pukul 7.15. Kubuka tirai jendela dan mematikan lampu kamar. Aku duduk di depan jendela dan meraih toples kue. Nastar yang tersisa tiga buah. Itu artinya tiga hari lagi tersisa di bulan Mei. Satu notifikasi muncul di layar ponselku.
Arin nggak pulang?
Begitulah pesan yang tertera di layar ponselku. Kutatap layar ponsel itu sampai layarnya kembali tertutup. Pulang. Menurutmu bagaimana definisi pulang? Rumah? Orang-orang yang kau sayang? Atau banyak definisi yang membuatmu sadar bahwa itu adalah pulang.
Yang aku tahu dari pulang adalah tenang. Aku tenang ketika tahu hari esok aku akan pulang. Aku tenang ketika menyambut pulangnya seseorang. Aku tenang ketika pulangku menjadi tunggunya seseorang. Aku ingin pulang. Amat teramat sangat ingin pulang.
Seperti jumlah nastar di dalam toples ini. Tersisa tiga hari lagi untukku memutuskan kepulanganku. Berat. Aku juga bingung mengapa aku sangat tidak tenang untuk menyambut pulang kali ini. Sebenarnya aku sangat tahu mengapa pulangku berubah menjadi tidak tenang. Aku tidak enak hati untuk mengingat kembali tentang itu. Tapi, kurasa untuk kali ini saja aku akan mengizinkan diriku untuk mengingat kembali tentang pulangku yang berubah menjadi tidak tenang.
—
Kembali pada hari itu. Minggu, 1 Mei 20xx. Hari itu adalah kepulanganku. Hari kepulanganku yang kukira akan tenang karena ada tunggu dari orang-orang yang kusayangan. Aku sudah berada di bandara. Sangat ramai. Satu notifikasi masuk di ponselku. Kuabaikan karena aku tengah sibuk membawa barang bawaanku yang cukup banyak. Tidak lama setelah itu, ponselku bergetar cukup lama, tapi tetap kuabaikan. Ponselku tetap bergetar tanda panggilan masuk dan itu cukup menyita perhatianku. Kuambil ponsel di saku jaket abu-abu yang kupakai hari ini.
Panggilan masuk dari rekan kerjaku. Aku menjawab panggilan itu. Panggilan yang berada pada kesimpulan untuk menyuruhku kembali ke kantor hari ini. Sangat menyebalkan. Aku sudah mengambil cuti, tapi profesi ini tidak mengenal kata cuti. Aku terdiam cukup lama di tengah lalu lalang orang-orang di bandara. Langkah mana yang harus kupilih.
Akhirnya langkahku menuntun untuk kembali. Aku kembali dan menunda kepulanganku. Tidak apa-apa untuk menunda pulangku sebentar saja bukan? Aku sendiri ragu dengan pertanyaan yang berputar di pikiran ketika aku sudah berada di dalam taksi yang membawaku kembali.
—
Senin, 2 Mei 20xx. Hari di mana pulangku bukanlah tenang. Aku sudah di bandara lagi. Kukira nasib baik menghampiriku karena ada tersisa satu tiket untukku pulang di hari kemenangan umat islam ini. Aku melangkah ringan meski barang bawaanku cukup banyak. Aku tersenyum di balik masker yang aku pakai.
Panggilan masuk di ponselku. Perasaanku sudah mulai tidak enak, kulihat di layar ponsel, dan itu panggilan dari abangku. Aku menjawab panggilan itu. Menjawab salam. Suara dari seberang terdengar bergetar. Aku tahu nada ini. Suara ketika seseorang menahan tangis. Kenapa? Perasaanku campur aduk. Kalimat selanjutnya yang diucapkan abang membuatku terduduk lesu. Air mataku mengalir begitu saja. Aku menepuk-nepuk dadaku yang terasa amat sesak. Aku tersedu sendiri di tengah-tengah orang yang keheranan melihatku.
Aku tidak ingin pulang. Aku benar-benar tidak tenang. Kalimat ibu sudah berpulang membuatku tidak sanggup untuk melangkah pulang. Karena yang menungguku pulang adalah ibuku. Karena pulangku adalah ibuku. Dan sekarang pulangku sudah hilang.
Seharusnya aku pulang hari Minggu kemarin. Seharusnya aku tidak bekerja kemarin. Seharusnya aku sudah di kampung kemarin. Seharusnya … seharusnya … seharusnya …
—
Aku tidak bisa membedakan hangat matahari atau hangat air mata yang menerpaku pagi ini. Matahari bersinar begitu cerah ketika aku menahan tangis di kamar petak ini. Tanganku kaku, tidak bisa untuk sekadar membuka tutup toples kue nastar yang dibuat oleh ibuku.
Tersisa tiga hari lagi untukku menemukan makna pulang. Sinar matahari yang menyengat ini seolah mengatakan padaku bahwa dunia tetap berjalan meskipun diriku runtuh. Aku meraih toples nastar itu dan membukanya. Aku memakan satu demi satu nastar yang tersisa di dalam toples itu hingga toples itu kosong. Aku tersenyum di antara air mata yang mengalir.
Ibu, Arin pulang.
Cerpen Karangan: Diny Aprilisyanda