1940 Yang ia ingin hanya mengingat lagi semuanya dari awal. Itu yang pilot tua itu pikirkan. Ia mencoba memutar ulang kehidupannya sejauh yang ia bisa, setidaknya sekali sebelum pesawat tempur yang ia kendarai itu menghempas laut dingin Dunkirk dengan sepenuhnya. Di posisi darurat seperti ini entah kenapa kepala pesawat tak bisa dibuka lagi. Ia hanya bisa pasrah sambil menahan panasnya kobaran api yang melilit badan pesawat dan menunggu ajal. Tapi, setidaknya siang itu ia berhasil menembak jatuh satu pesawat musuh, setidaknya ia mati dengan membawa sebuah kebanggaan yang bisa ia tunjukkan kepada Tuhan nantinya: Tuhan, sebelum menjumpai-Mu aku terlebih dahulu berhasil menghentikan langkah seorang lalim! Atau itu kebanggaan yang bisa dituliskan di koran ketika mengumumkan gugurnya seorang pilot pemberani atau untuk dituliskan di buku-buku sejarah melengkapi namanya.
Ia mencoba mengingat semuanya dari awal: Pelukan ibu yang hangat dan sarapan-sarapan dua lembar roti serta telur goreng tiap pagi di meja makan. Ayah? Ia pun tak pernah mengenal ayahnya. Ayahnya sudah wafat selagi ia masih dua bulan dalam kandungan. Yang tersisa dari ayahnya hanya dua buah nama yang tertera pada makam yang selalu ia sebut berulang-ulang sebelum tidur. Ia juga ingat dongeng-dongeng yang selalu ibunya bacakan. Semua detailnya dan semua imajinasinya yang hampir tak masuk akal. Tapi tak mengapa. Setidaknya itu lebih baik daripada sekadar hari-hari yang berlalu dengan kosong.
Ibunya selalu riang dan gembira. Itu yang selalu tergambar di benaknya ketika ditanya tentang sang ibu. Setiap sore pada musim gugur, ibunya selalu membersihkan daun-daun yang berserakan di halaman dengan sapu besarnya sambil menyanyikan lirik lagu yang tak ia ingat lagi. Sepertinya lagu itu memang tak begitu populer waktu itu. Begitulah, ibunya suka lagu-lagu yang jarang didengarkan orang. Tapi, pada suatu kemarau di tahun 1899 nyanyian itu hilang. Sekelompok pencuri bersenjata membobol rumah mereka yang tak punya sedikit pun barang berharga. Karena kesal tak mendapatkan rampasan apa pun, pencuri-pencuri itu melampiaskannya dengan menghabisi nyawa sang ibu dengan dua bilah pisau. “Aku juga punya anak seumuranmu. Tumbuhlah dengan baik.” Ia masih hafal kata-kata terakhir pencuri itu kepadanya sebelum meninggalkannya seorang diri di depan mayat ibunya yang bersimbah darah malam itu.
Ia bisa sedikit tertawa ketika mengingat masa-masa remajanya ketika membantu pamannya melaut dari pelabuhan di Liverpool dengan sampan kecil miliknya: pernah suatu ketika ia nyaris terjungkal ke dalam laut dalam sebab kalah kuat saat tarik-menarik dengan seekor marlin besar, atau hal-hal konyol lain yang terjadi di atas sampan. Pamannya itu adalah seorang nelayan yang rajin. Ia menikah namun tak juga dikaruniai anak. Semenjak dirinya diasuh pamannya, sang paman sudah menganggapnya seperti anak sendiri.
Pamannya menyukai buku. Ia punya segudang penuh buku lawas di gudangnya. Ia juga yang mengenalkannya pada puisi-puisi Alfred Tennyson, penyair kenamaan Inggris itu.
In words, like weeds, I’ll wrap me o’er, Like coarsest clothes against the cold: But that large grief which these enfold Is given in outline and no more …
Puisi itu—seperti nama ayahnya, lalu ibunya setelah kematiannya—sering sekali ia ulang-ulang sebelum tidur, bahkan hingga menginjak kepala empat seperti sekarang.
Tapi kadang-kadang memang ada hal yang harus direlakan dari hidup, seperti setangkai bunga yang ia beli pada suatu hari di musim semi. Ia lalu menaruhnya di sebuah vas yang ia pajang di atas meja kerjanya. Mungkin karena terlalu khawatir layu atau karena ia yang tak mahir merawat bunga, ia selalu menyiraminya pagi, siang, sore, dan malam, hingga akhirnya bunga itu mati membusuk. Maaf, aku lancang sudah menyakitimu. Ia yang merasa bersalah akhirnya memilih untuk menguburnya dengan layak di samping landasan pacu udara, bahkan mengadakan upacara pemakaman sendiri untuk itu. Tenanglah, aku sudah mengubur keegoisan dalam-dalam di hatiku. Aku tak akan menyakitimu lagi. Aku akan menghilang dari pelupuk lembaran mahkotamu. Ia menepati janji itu dan maka dari itu tak pernah lepas landas dari sana dan selalu memilih landasan pacu di seberang. Ketika ditanya, ia selalu punya alasan untuk menghindar, lagipula tak ada sesiapa pun yang akan menghalanginya.
Ah, Jim yang malang. Tiba-tiba ia teringat kawan seangkatannya itu. Untuk suatu alasan yang tak jelas, atasan memindahkannya dari Angkatan Udara untuk menjadi tentara bantuan di darat. Padahal, seperti yang selalu Jim ceritakan padanya, mengemudikan pesawat terbang sudah jadi cita-citaku dari dulu tahu! Kau tahu, seperti burung yang dengan bebas mengepak-ngepakkan sayapnya di langit! Padahal, dulu mereka akrab sekali sewaktu di asrama militer. Mereka sering mengopi bersama sambil mengobrol di loteng. Ada banyak hal yang mereka obrolkan, mulai dari sepak bola sampai seremeh apakah kau cocok bila makan biskuit kering yang dicelup ke teh tawar? Tapi Jim cukup beruntung dikirim ke tempat lain dan tak ikut terkurung di pantai Dunkirk bersama yang lain. Jadi apakah ia benar-benar malang? Entahlah.
Pilot itu menghela nafasnya. Coba saja ia punya sedikit waktu tambahan untuk menyelesaikan dua pucuk surat yang akan ia kirimkan ke Jim dan juga pamannya yang kini sudah renta. Surat itu baru setengah jadi, ia menyesal tak menyelesaikannya dari seminggu lalu. Ia inging mengucapkan selamat tinggal dan terimakasih yang banyak. Masalahnya ia terlalu naif bisa kembali dengan selamat dalam misinya kali ini. Ia pikir bisa menuliskannya nanti. Ia juga mengandaikan punya kesempatan sekali lagi untuk menjenguk makam bunga sekaligus memberi penghormatan terakhir kepada keegoisan yang bersemayam jauh di dasar hatinya.
Ia sebenarnya juga sedikit naif mengajukan diri untuk bertempur di medan kematian itu. Bukan, ini bukan medan kematian, ini medan pengorbanan.
Apapun itu yang penting ia cukup puas bisa sedikit membantu evakuasi 400.000 koalisi tentara Inggris dan Prancis yang malang di pantai Dunkirk, meski bayarannya adalah nyawanya sendiri. Baginya pun tak pernah ada yang salah dalam hidup. Ia selalu mensyukuri jalan hidup yang ia pilih, sebab Tuhan selalu menyiapkan sesuatu di balik itu selama kau teguh dan percaya. Aku harap aku telah cukup berjasa untuk tanah air yang kucintai, yang bahkan benderenya kubawa mati bersamaku.
Pilot itu ingin mengingat sesuatu yang lain, sepertinya masih cukup untuk satu memori lagi sebelum pesawat benar-benar jatuh. Tapi apa, ya? Pria itu tertawa. Seberapa mengenaskannya hidupku untuk mengingat satu hal lain pun kesusahan? Atau aku yang memang pikun? Haha. Sekeras apapun ia coba mengingat tetap saja tak ada memori yang muncul. Apa mungkin ini kesempatan yang Tuhan berikan untuk menikmati kematian dengan tenang? Mungkin begitu. Lagipula jarang-jarang ia merenungi hidup. Kematian barangkali akan menjadi momen yang pas nan indah untuk merenungi hidup dengan baik.
Ia melepas sabuk pengamannya sendiri, juga helm yang melekat di kepalanya. Lalu ia pejamkan matanya dalam-dalam untuk terakhir kalinya menghirup udara di sekelilingnya dan bersiap menghadapi dentuman keras yang akan jadi rasa sakit terakhir yang ia emban pada misi terakhirnya di atas laut Dunkirk.
—
/satu/
Adakah barang seekor marlin di dekat sini yang mendengar
tangis bahagia kami
di laut Dunkirk yang tenang kala kami mati dengan gagah sebagai dedaunan yang gugur untuk melindungi benih-benih harap?
/pesan/
Angin, tolong sampaikan maafku pada bunga bahwa aku pun tak lagi sempat meminta maaf secara langsung.
Tak akan lagi. Tak ada lagi.
*Selesai ditulis sehari sehabis menonton film Dunkirk yang disutradarai Christopher Nolan.
Cerpen Karangan: Daffa Allamsyah Facebook: Daffa Allamsyah