Senyummu memang selalu indah. Sayang sekali, hari ini kita hanya bisa berbalas senyum dari jarak kurang lebih 10 meter. Ranjang rumah sakit ini sedikit lebih nyaman bukan? Daripada ranjang di rumah kita. Tapi tetap saja, aku lebih suka ranjang di rumah dan dekat denganmu. Daripada harus berbeda ranjang di ruangan yang sama. Tapi aku bersyukur, masih bisa berbalas senyum denganmu.
Aku tak ingat apa yang membuat kita terbaring di sini, sampai suster mengatakan “Bapak tadi tertabrak rombongan pejabat.” Setelah mendengar kalimat itu, aku terbelalak melihat ke arahmu. Awalnya aku resah melihatmu dengan mata terpejam. Tapi, tak lama kemudian kau menoleh padaku dan tersenyum. Dan senyummu memang seutas pancaran kebahagiaan.
Suster datang lagi dengan membawa buah-buahan yang terlihat segar. Ditaruhnya buah-buahan itu di meja yang terletak di antara dua ranjang yang kita tempati. Kemudian suster berkata “Nanti malam gubernur akan datang untuk menjenguk,” aku membalasnya dengan bahasa mata dan senyuman, sebab tak ada tenaga untuk bicara sepatah pun. Aku terus memandangimu dari jarak 10 meter. Mengirim kekuatan untukmu di balik embusan-embusan yang keluar dari hidungmu.
Jika saja tadi pagi aku tak menuruti keinginanmu untuk menjenguk temanmu yang sedang sakit. Mungkin kita tak akan tertabrak mobil rubicon itu. Sekarang ingatanku mulai pulih. Tadi pagi, tepat di jalan Ahmad Yani, aku dengan sengaja melintas ke tengah jalan untuk persiapan menyeberang. Dan aku sedikit merapat pada garis batas jalan. Dari arah berlawanan, terdengar sirene mobil polisi. Melaju paling depan memimpin rombongan. Ada salah satu mobil yang mursal. Mobil itu menyalip mobil yang ada di depannya dan keluar dari garis batas jalan. Tepat di depan kita, mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi. Dan itulah mengapa kita bisa ada di sini.
Entahlah, apa yang membuat mobil pejabat itu tergesa-gesa. Walaupun sudah dipimpin oleh mobil polisi, masih saja mursal. Aku tahu dalam senyuman indahmu juga terdapat kebencian terhadap mobil pejabat itu. Kau kemas dalam seri-seri di ujung bibirmu. Ini sudah malam, gubernur belum juga datang. Padahal tadi sore suster bilang bahwa dia akan datang. Mungkin dia lupa, atau ada urusan lain yang lebih penting dari pada menjenguk kita.
Pukul 20:00 tiba di rumah sakit sekelompok kecil orang dengan mobil mewahnya. Mereka mencari informasi tentang sepasang suami istri yang naas tadi pagi. Ternyata kamarnya kelas ekonomi dengan nomor 129 c. Diketuklah pintu kamar oleh sang gubernur lalu dibukakan suster.
“Bagaimana keadaan mereka sus?” tanya si gubernur dengan lugas. “Mereka sudah tak tertolong sejak siang tadi pak”
Cerpen Karangan: Satria Alfauzi Ramadhan