“Mah..! kenapa kaos kakiku ada di ember cucian sih? Kan hari ini mau aku pakai.” Caciku pada mama. “Lina, kamu tahu kan, pekerjaan mama tidak hanya mengurus kamu. Kamu mestinya bisa siapkan keperluanmu sendiri.” Lagi-lagi mama menasehatiku hal yang sama. Ya, begitulah keseharianku. Selalu ada saja omelan yang keluar dari mulutku. Aku memang sudah kelas 2 SMP tapi entah apa yang salah padaku, aku belum bisa mandiri dan mengontrol emosiku seperti temanku yang lain. Hal yang buruk tentunya, karena jika sudah panik akibat kemalasanku, aku selalu menyalahkan orang lain.
Dan hari ini peristiwa yang rutin terjadi sudah kembali lagi di depan mata. Kaos kaki yang akan kupakai hari ini malah masih nangkring dengan enaknya di ember cucian. Ini akibat ulahku pada suatu minggu sore yang cerah. Seharusnya itu waktu terbaik untuk mencuci semua seragam sekolah dan baju-baju rumahku. Tapi aku tergoda oleh keasyikan duniawi. Aku bermain layangan bersama anak-anak ingusan berumur 5 tahun. Indahnya bentuk dan warna layangan serta semilir angin menyepoi wajah membuatku lupa waktu. Kaos-kaos kaki yang ujung jempol dan tungkainya berwarna hijau kecoklatan dan seharusnya berwarna putih itu terlupakan juga olehku. Alhasil aku berangkat sekolah dengan kaos kaki yang menawan warnanya.
Sepulang sekolah, aku berniat membeli bakso yang biasa mangkal di depan sekolah. Saat itu aku bersama seorang teman, dia juga beli bakso sama sepertiku. Sedang asyik-asyiknya mengobrol atau lebih tepatnya bergosip sambil menunggu pesanan, tiba-tiba ada cairan lengket berwarna hitam mengenai bagian lengan kiriku. Sepersekian detik baru kusadari tutup botol tadi itu meloncat keluar bersama kecap-kecap yang bermuncratan. Aku kaget melihat kuah bakso pesananku yang baru dilayani itu warnanya hitam pekat. Bukannya merasa kasihan atau membantu membersihkan sisa kecap di gerobak, rasa kesal dan jengkel malah perlahan muncul dari benakku. “Lho pak, itu gimana bakso saya kok jadi hitam pekat seperti itu. Pasti rasanya pahit!” protesku pada bapak penjual bakso. Dengan sigap tukang bakso itu menggantinya dengan satu porsi bakso lain. Aku pun lega dan bergegas untuk pulang karena sepertinya hujan akan segera turun. Udara dingin terasa menyerbu mendatangkan rasa kantuk di pelupuk mata. Dari dalam bus kota kulihat titik hujan mulai membasahi kaca jendela.
Sisa hari ini akan kuhabiskan dengan membaca komik-komik baru yang belum sempat kusentuh. Baru beberapa menit menikmati gambar-gambar manga yang lucu, aku merasa haus. Aku bangun dari tempatku berbaring melangkah menuju dapur. Dengan cepat aku menyambar gelas keramik bergambar winnie the pooh dan membuat teh hangat yang manis. Dari dapur sayup-sayup kudengar suara orang bercengkrama, sepertinya melalui telepon genggam. Saat berjalan hendak kembali ke kamar, kulihat adikku yang masih berumur 11 bulan duduk manis sambil asyik mengutak atik sesuatu. Aku mendekat ke arahnya dan kulihat air menggenangi lantai. Kupikir itu semacam ompol hasil ekskresi adik. Tapi sepertinya prediksiku meleset karena kulihat kura-kura jepangku tergeletak di sebelah paha adik. Oh ternyata adikku telah berhasil membebaskan kura-kura dari penjara akuarium mini.
Memang dasar suasana hatiku sedang buruk, aku kehilangan kontrol. Aku mengambil akuarium mini dari tangan mungil adik dan mengembalikan kura-kura malang itu ke kandangnya. “Kak Ira, niat jagain adik atau mau ngapain sih? Ini adiknya disini kakak kemana aja? Malah sibuk sendiri nggak jelas. Tuh liat lantai basah semua, pokoknya aku nggak mau tahu!” aku mengomel sambil berlalu meninggalkannya. Aku menangkap siluet kakak yang melongo di depan pintu dan kemudian cemberut melalui ekor mataku. “Kamu sendiri gimana hah? Kamu juga asyik dengan urusanmu sendiri. Kata-katamu itu nggak sesuai sama keadaanmu. Jangan nasehatin orang lain kalau kamu sendiri belum bisa melakukan hal yang sama, ntar kamu bakal nyesal kalau selalu bicara tanpa dipikir!” teriak kak Ira.
Sampai di kamar aku mengurungkan niat untuk melanjutkan membaca komik. Aku sedikit gelisah dihantui kata-kata kak Ira tadi. Memang rasanya benar juga setiap kali aku marah pasti akhirnya diikuti rasa sesal. Kadang aku capek juga harus marah-marah setiap hari. Acap kali aku berimajinasi, mungkin saja ada selapis es abadi yang bisa menyelimuti hatiku. Hingga membuat hatiku selalu dalam balutan kesejukan tanpa ada rasa marah yang membara seperti api.
Hari sepertinya cepat sekali berlalu. Aku tenggelam bersama padatnya kesibukan belajar di sekolah menjelang ujian akhir. Huru-hara, guyonan, dan lelucon di dalam kelas seolah terasa pudar seiring berjalannya waktu. Waktu yang membawaku menuju ke pertambahan usia, yang otomatis menempatkanku dalam pusaran euforia remaja. Kebiasaan marahku masih berlanjut disana.
Pada suatu hari, temanku yang bernama Osha dengan mata berbinar bercerita bahwa ia sedang jatuh hati pada seseorang. Betapa terkejutnya aku karena Osha menyukai lelaki yang sama denganku. Aku sendiri tak pernah menceritakan hal ini. Tapi saat Osha curhat tentang perasaannya, aku jadi marah besar dan akupun mencari-cari alasan untuk bisa menjauh darinya. Aku sangat membencinya kala itu.
“Sha, kamu bisa kan jangan dekatin aku?” aku mulai bicara dengan emosiku yang meluap-luap sampai air mataku hampir menetes. “Aku bosen tau gak sama kamu. Setiap kali aku jalan, ke toilet, ke kantin selalu ada kamu. Masih banyak kok orang lain yang bisa kamu ajak curhat-curhatan tentang gebetanmu itu. Aku capek dengerinnya.” Ucapanku kali ini sungguh yang paling kejam dan tidak mempedulikan perasaannya. Saat itu pastilah jika aku menjadi tokoh dalam sebuah cerita, akulah yang menjadi tokoh paling jahat dan dibenci oleh pembacanya.
Aku mengatur langkahku supaya cepat-cepat kembali ke kelas. Saat aku lihat dia duduk di bangku belakangku, aku hanya mendiamkannya dan tidak menganggapnya ada. Padahal aku pun sadar bahwa dia sama sekali tidak salah, karena dia tidak akan pernah tahu apa yang kupikirkan jika aku tidak mengatakannya. Tapi aku tidak mau tahu, aku mengutamakan egoku dan hubungan persahabatan kamipun mulai renggang.
Ujian sekolah berlangsung selama seminggu. Aku lega atas hasil yang kuperoleh meski nilaiku belum menjadi yang paling baik di sekolah. Tapi ada satu hal yang mengganjal perasaanku. Jujur, semenjak Osha “menghilang” dari kehidupanku aku merasa hampa kesepian. Perlahan sesalku mulai muncul. Bertambah pula sesalku ketika membayangkan dulu saat aku mengabaikannya. Bahkan Osha pun tak tahu dimana letak kesalahannya, jika aku ditanyapun aku pasti akan bingung menjawabnya. Karena aku menjauhinya hanya karena tak ingin punya saingan dalam hal yang konyol dan sama sekali tidak penting itu.
Kini setelah kupikirkan selama beberapa hari belakangan aku mengambil sebuah keputusan. Aku akan meminta maaf padanya. Akan kubuang segala ego hatiku dan rasa gengsiku. Bahkan akupun berjanji jika nanti dia tidak menerima ketulusan maafku aku akan terus mencoba. Harus kudapatkan maaf darinya karena kini aku tahu betul, akulah yang salah dalam hal ini. Dan aku akan berdosa jika tidak mampu memperbaiki kesalahanku.
Bus kota melaju dengan kencangnya dan menurutku ini sedikit ugal-ugalan, tidak wajar memang. Tapi aku senang karena bus itu aku jadi tidak terlambat. Awalnya aku mengira akan telat masuk karena aku bangun dan beranjak dari tempat tidur sekitar pukul 06.10 . Kebiasaan burukku rupanya mulai kambuh lagi.
Dengan berlari-lari kecil aku menuju kelasku, kelas 3A. Aku memandang sekeliling. Kelas baru, teman baru, guru baru, dan semangat baru mewarnai awal pagi ini. Tak kusangka aku kembali berada dalam satu kelas bersama Osha. Dia duduk di bangku depan kelas sedang bercengkrama dengan seorang teman, temanku juga rupanya. Aku ingin segera menyelesaikan misiku. Dan dengan senyum yang khas dan kurindukan selama ini, Osha menerima maafku. “Iya nggak masalah kok Lin. Aku udah lama maafin kamu, tapi aku maunya kamu minta maaf dulu biar kamu tahu bahwa kata-kata yang sering keluar saat kamu marah itu menyakitkan hati orang. Aku harap kamu nggak ngulangin itu lagi.” Katanya sambil meneguk sebotol jus jeruk yang ada di tangannya. “Oh iya, kamu mestinya tahu satu hal. Saat kamu mulai menghindariku, aku mencari tahu apa sebabnya. Dan terbukalah semuanya. Aku tahu kamu juga suka sama kak Rio, makanya mulai saat itu aku membuang rasaku pada kak Rio biar bisa menjaga persahabatan kita. Tapi apa boleh buat kamu keras kepala nggak mau lagi temenan sama aku. Ya sudah, aku bisa apa?” katanya sambil cemberut yang dibuat-buat.
Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Malah perlahan titikan air mata mulai membasahi pipiku. Aku merasa jadi anak umur 2 tahun yang cengeng. Sebenarnya aku malu, tapi luapan bahagiaku tidak bisa terbendung.
Kini aku tahu, makna sebuah kata itu sangat dalam. Aku pernah mendengar sebuah cerita. Jika kita marah anggaplah kita menancapkan paku pada sebuah balok kayu. Kata maaf ibarat bisa menghilangkan paku-paku itu dari kayu. Tapi bekas dari tancapan paku itu tak akan bisa hilang dan itu ibarat seseorang yang telah kita sakiti hatinya dari kata yang terlontar saat kita marah. Meski maaf telah tercapai tapi perkataan kita yang menyakitkan akan tetap berbekas di hati sampai kapanpun. Maka maknailah setiap kata dengan berucap hal yang positif dan menyenangkan.
Cerpen Karangan: Intan Laksitadewi Blog: intanlaksitadewi.blogspot.com