Tiada malam tanpa menangis, dunia suram, pikiran tenggelam. Hampa dan hampa, sudah berapa tahun gadis yang jarang tersenyum itu merasakan riuhnya isi kepala.
Amarita, dahulu gadis itu tidak menyangka bahwa menjadi dewasa sangat membutuhkan tenaga. sehingga waktu kecil ia sempat berfikir, betapa indahnya menjadi dewasa seperti orang lain. medapatkan uang, bepergian, liburan semuanya serba menyenangkan. sedangkan yang ia rasakan waktu kecil, hanya harus menuruti teman-temannya dan mau disuruh ini itu. oleh karena itu dia lebih memilih menjadi dewasa, agar ia bisa kuat menghadapi semuanya.
Seiring bertambahnya usia, Amarita merasa ada kesalahan dalam dirinya. mengapa sedikit demi sedikit rasa kekhawatiran itu kian bertambah, bukannya malah mengurang. Di usianya yang memasuki bangku Sekolah Menengah Pertama, awal saat dirinya masuk ke sekolah, ia bertemu dengan teman-teman yang baik. namun yang ia rasakan, lagi-lagi ada kesalahan dalam pertemanan. Amarita pun mulai kebingungan, kok ga ada kemajuan. Kemudian ia menduduki kelas 2 SMP, lagi dan lagi sama, dan malah semakin parah. di situ ia sudah sadar arti keegoisan dan rasa ingin menguasai, tanpa mempedulikan orang lain. Ia mempelajarinya dari tingkah teman-teman di sekitarnya. pada saat itu, Amerita merasa bahwa semakin hari semaki tidak beres dengan semuanya. ia ingin marah, namun ia tidak ingin menciptakan suasana yang bertambah parah.
Kadang ia sempat berfikir, kapan semuanya berjalan dengan stabil. mengapa manusia selalu nampak egois dengan perilakunya? apakah tidak ada belas kasihan sedikit saja pada hatinya untuk sedikit saja meminta maaf pada manusia yang disalahkan. Mengapa dari dulu Amerita selalu mengenal kekuasaan dalam pertemanan, tidak bisakah Netral saja? sehingga tidak ada dalam fikirannya untuk membeda-bedakan. saat memasuki kelas 9 pun, masih tetap sama, namun lebih beruntung karena ada jeda.
Saat ini, masa-masa Amerita tumbuh menjadi gadis dewasa. memasuki sekolah menengah atas dan masuk jurusan sesuai yang dia inginkan. ia rasa awalnya baik-baik saja, namun mengapa lagi dan lagi ia harus melihat pemandangan yang sama. di mana pertemanan membeda-bedakan. Amerita nampak kebingungan, ia harus bagaimana supaya bisa bahagia? dengan melihat pemandangan sekitar yang memuakan? lalu di pertemananya pun ia juga merasakan, bahwa ada yang salah dengan dirinya ataupun keadaan.
“Kenapa aku merasa dibedakan?” itulah kalimat yang kerap kali diucapkan dalam hatinya. “Dia beruntung bisa jadi orang pintar. pantas orang-orang banyak berteman dengannya dan memujinya, sedangkan aku..” riuh, kepala saat itu mulai sedikir demi sedikit menjadi riuh.
Buang, hilangakan pikiran buruk itu dan keluarlah dari pemikiran dangkal. Amerita selalu melakukan hal itu supaya menjadi lebih tenang.
Beberapa kali Amerita merasakan kesakitan, dan akhirnya berkali-kali Amerita merasakan ketakutan. sakit hati, sebuah dendam dan amarah tekumpul dalam hatinya. Amerita merasakan hal yang di luar dugaan bahwa dirinya dikhianati oleh cinta seseorang. ia merubah dirinya sehingga bukan Amerita yang dulu, dia merubah wajahnya, merias dirinya agar menjadi manusia Cantik, supaya bisa dihargai. Namun lagi-lagi ia merasa keliru, menjadi Cantik bukanlah semudah itu.
Tatapan-tatapan benci selalu gadis-gadis lain berikan padanya, sepertinya rasa iri memang sudah tepatri di hati manusia. Amerita menjadi ragu kembali, apakah dirinya harus menjadi gadis biasa-biasa saja supaya orang lain menjadi biasa saja.
ditambah lagi, usianya yang kini sudah 18 tahun. ah, sesuai impiannya, ingin menjadi dewasa. Impian, harapan dan cita-cita yang dulu entah diletakan dimana. semuanya hilang, hilang harapan. dewasa yang ia pikir bahagia, kini malah memberika lara. Amerita harus menjadi apa yang orangtuanya inginkan, ia harus menjadi contoh tauladan yang baik bagi adiknya. ia bingung, Amerita pusing dengan semuanya. Harus ditaruh di mana mukanya ketika harapan itu tidak sesuai kenyataan?
“sa, aku bingung sama hidup. orang-orang kayanya kebanyakan bahagia, aku kenapa lebih banyak sedihnya?” Amarita bertanya pada lelaki yang kini menjadi teman dekatnya, Esa. “Tuhan ngasih kesedihan sama kebahagiaan itu setara. ga mungkin kalo sedih bakalan sedih terus-terusan,” jelas Esa sambil mengerjakan tugas-tugasnya. Amarita hanya tertawa hambar, “menurut kamu, kebahagiaan yang aku punya apa?”
Esa berfikir sejenak dan mengehentikan aktifitas menulisnya, “lo orang mampu, ta. sedangkan gue..” “aku ga mau kamu adu nasib sih sebenernya, tapi aku tau kok gimana maksudnya..” sambar Amerita memotong pembicaraan dari Esa. “pasti menurut pendapat kamu, kamu berfikir bahwa kekurangan kamu itu dari segi materi, sedangkan dari segi materi aku itu cukup. tapi dari segi kemampuan, kamu itu pinter, sedangkan aku bodoh dalam hal itu..” tebal Amarita. “hampir tepat sih jawabannya. tapi ta, menurut aku pemikiran kamu yang dangkal, sama kamu ga mau berusaha.” “kok gitu? ” Esa mengangguk, “coba lo ilangin pikiran-pikiran riuh yang ada di kepala lo. berfikir positif dan menganggap tatapan orang lain sebagai tatapan memuja bahwa kamu itu cantik. biar aja orang lain mau iri atau dengki, itu urusan mereka sebab mereka ga mau berjuang memperbaiki diri dan pertanda tidak mampu, maka dari itu sesuatu yang ia miliki dalam hatinya hanya rasa iri,” kata Esa.
“gini deh, lo jangan mikir apa kata orang lain dan fokus pada diri lo sendiri. terserah deh mereka mau jauhi lo mau anggep rendah lo karena ketidak mampuan lo, udah biarin aja. bahkan sebenernya mereka lebih ga mampu, karena ga punya otak buat berfikir atas tindakannya yang mereka lakukan dapat melukai hati orang lain. kadang manusia emang bodoh ta, untuk itu supaya lo ga mirip sama mereka, ya ga usah peduliin.” Nasehat Esa panjang lebar.
Amarita merasa tersindir dalam hatinya. benar yang diucapkan Esa, bahwa ia seharusnya menerapak sikap bodo amat atas perilaku dan komentar orang lain terhadapnya.
“dan satu lagi, kalo lo mau wujudin keinginan lo kuncinya ya harus usaha sama do’a. minta sama Allah supaya segala urusannya mudahkan, minta restu orangtua supaya bisa mudah dalam menggapai Cita-cita. jangan takut sama kegagalan, semua orang pernah merasakan itu dalam hidupnya. kalau lo rasa hanya lo yang ngerasain hidup susah, berarti otak lo dangkal. meskipun gue pintar, tapi kalau masalah bisa datang di manapun dan kapan pun. kita hanya butuh keberanian untuk melawan rasa takut itu,”
“satu lagi, lo ga usah takut ga punya sahabat. karena sahabat itu bukan seseorang yang pergi saat susah dan mendekat saat ada maunya aja. sahabat itu, bisa menerima duka dan bahagia lo..” jelas Esa. “kaya kamu dong,” celetuk Amarita sambil terkekeh. “ya bagus kalo lo sadar,” balas Esa.
Amarita melirik Esa, ia menatap lelaki itu dengan tatapan teduh. “makasi ya, sa..” ucap Amarita. “untuk?” Esa bertanya pertanda kurang mengerti. “semuanya dan nasehat tadi. Aku akan berusaha buat ga mikirin hal yang ga guna untuk aku pikirin. yang penting, aku bisa mewujudkan keinginan ku sendiri,” ujar Amarita sambil tersenyum.
Esa membalas dengan senyuman juga, “sama-sama, ta. ga usah takut sama hidup ya, perbanyak bersyukur dan berani lawan rasa takut itu,” jawab Esa. Amarita pun mengangguk mengiyakan.
Amarita sekarang tau bahwa dewasa tidak semenyenangkan saat ia masih kecil dan belum mengerti apa-apa. dulu ia dengan mudah mengucapkan cita-citanya menjadi apa, ‘dokter bu!’ tapi sekarang, memikirkannya saja sudah membuat otak seolah akan pecah. memang benar, yang dikatakan enak belum tentu enak ketika kita merasakannya. untuk itu, tutup telinga untuk komentar orang yang tidak suka dan buka telinga untuk nasehat orang lain yang diberikan untuk kita. tetap jalani hidup sebaik mungkin, meskipun hidup tidak selurus jalan tol.
Cerpen Karangan: Amelia Putri Tyfani Blog / Facebook: Amel
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com