Telinga gadis itu tiba-tiba menangkap dengungan. Bisikan-bisikan yang tadi memenuhi telinganya seketika buyar. Dengan cepat, seekor serangga menghantam telinga kirinya dan gadis itu refleks mengibaskan tangan ke telinganya agar serangga itu menjauh dari sana. Beberapa detik kemudian, ia menyadari bahwa hantaman serangga yang mengenai lubang telinganya itu meninggalkan benjolan kecil yang gatal. Ia pun menggaruk benjolan itu karena tidak tahan dengan gatalnya, namun yang terjadi kemudian adalah benjolan itu terasa sedikit perih.
Seseorang berjalan cepat mendahului gadis itu dari sebelah kanan. Pundak kiri orang itu menabrak pundak kanan gadis itu cukup keras karena langkahnya yang sangat cepat itu. Sadar akan kesalahannya, orang itu pun berbalik badan. Seorang laki-laki dengan kemeja putih dan dasi merah bermotif garis-garis. Ia lalu menunjukkan gestur tangan kanannya yang meminta maaf, sedangkan tangan kirinya berusaha mempertahankan handphone yang ditempelkan ke telinganya. Sedetik kemudian, laki-laki itu berbalik kembali dan meneruskan langkahnya, sedangkan kedua mata gadis itu terus mengikutinya hingga ia menghilang dari pandangan gadis itu setelah berbelok ke arah kanan untuk menaiki sebuah bus kota. “Ah. Sudah berapa lama aku melepaskan diriku dari handphone?” Pikir gadis itu.
Bukan melepaskan diri lebih tepatnya, tapi membatasi diri dari percakapan yang biasanya dilakukan di handphone. Di dunia nyata, gadis itu menciptakan gelembungnya sendiri dengan memisahkan diri dari kumpulan orang yang biasa mengelilinginya baik itu rekan kerja mau pun teman dekatnya. Di dunia maya, gelembung itu pun ia ciptakan dengan tidak menanggapi pesan-pesan pribadi yang datang dari keluarga, sahabat, dan teman dekatnya di kantor yang berusaha untuk menjangkaunya. Ia hanya menyalakan handphone untuk memeriksa info dari grup-grup yang ia ikuti.
Namun, semakin lama gadis itu tidak menanggapi pesan-pesan pribadi itu semakin membludak pula pesan yang diterima. Ibunya yang tinggal di desa setiap hari selalu mengirimkannya pesan yang bernada sama, yaitu menanyakan kabar dan aktivitasnya saat ini. Empat sahabat yang hampir selalu ia temui setiap akhir pekan terus menerus membombardirnya dengan pesan-pesan karena ia tiba-tiba menghilang tanpa kabar setelah membatalkan pertemuan mereka minggu lusa. Seorang teman dekatnya di kantor yang sering kali menghabiskan waktu untuk menikmati segelas vanilla latte usai pulang kantor pun berusaha menjangkaunya lewat pesan pribadi walau tidak seintens Ibu dan keempat sahabatnya.
“Vanilla latte?” Pikir gadis itu. Seperti yang sudah disebutkan, ia dan teman dekatnya, Anna namanya, sering kali menghabiskan waktu dengan menikmati segelas vanilla latte usai mereka pulang kantor. Tak lama, hanya sekitar setengah jam sebelum mereka pulang bersama menaiki bus kota. Namun, selama dua minggu ini ia yang sedang berada di dalam gelembungnya sendiri itu sering menolak ajakan Anna untuk menikmati vanilla latte seperti biasa. Aneh memang. Di saat hampir semua orang di kantor ramai menggunjingnya, Anna masih menjadi Anna yang ia kenal. Anna lah satu-satunya orang yang menyadari perubahan sikapnya namun tak pernah terlihat olehnya Anna ikut menggunjingnya meski pun ia sedang menggerombol bersama orang-orang itu. Anna juga lah satu-satunya orang yang mau terus berusaha menyapa gadis itu meski pun hanya mendapatkan sebuah senyuman yang dipaksakan atau bahkan tatapan kosong.
Sebenarnya ia sangat rindu menikmati secangkir vanilla latte. Kopi susu lembut yang berpadu dengan aroma dan rasa vanilla yang khas itu selalu berhasil menutup harinya di kantor dengan perasaan rileks, bahkan memberinya semangat baru. Gadis itu selalu menyukai vanilla latte dan tak pernah bosan memesannya di kafe lantai dasar kantornya usai mengerjakan tugas-tugas kantornya. Bersama Anna, ia menyeruput vanilla lattenya di sebuah sofa empuk dan berlatarkan pemandangan jalan raya di sore hari yang riuh sesak oleh kendaraan. Tak peduli betapa pun ramainya kendaraan yang terus bersahut-sahutan klakson, ia tetap tenang dengan vanilla lattenya.
Vanilla latte itu memang mencuri seluruh fokus dari indra penglihatan, penciuman, pengecapan, dan perasaannya. Sehingga ia hanya duduk terdiam menyeruputnya perlahan dengan mata yang setengah tertutup. Perlahan, mata gadis itu menyipit dan memerah. Ingatan akan secangkir vanilla latte itu membuat hatinya bergejolak. Ia sangat merindukan dua hal yang hilang darinya belakangan ini, yaitu ketenangan dan kenyamanan. Dua hal yang tercipta dari balutan kekuatan kopi yang ada didalam vanilla latte yang biasa ia nikmati.
Matahari senja pun undur diri meninggalkan sisa semburat-semburat jingga yang mulai pudar. Lampu-lampu jalanan mulai menyala secara bersamaan, termasuk kedai-kedai kecil di pinggir jalan. Semilir angin bertiup membawa udara dingin yang menusuk, seakan meminta siapa pun yang mengenainya untuk menyingkir. Gadis itu masih tetap berjalan lurus kedepan. Sesekali lampu kendaraan yang melaju berlawanan darinya menyorot wajahnya yang semakin kering karena terpapar udara dingin dari angin yang berembus itu. Bukan, ia bukan ingin pulang ke rumah kostnya. Kalau pun rumah kostnya adalah tempat yang ia tuju, seharusnya ia sudah sampai disana sebelum matahari terbenam. Namun kali ini kakinya terus melangkah tanpa memedulikan kemana tempat yang ia tuju.
Gumpalan asap yang berasal dari proses pembakaran salah satu kedai yang menjual sate tiba-tiba datang menghampirinya dari sebelah kiri dan terus menguar hingga menyelimuti dirinya. Sepertinya kedai itu sedang kebanjiran pesanan, terlihat dari gumpalan asap yang semakin membumbung dan menyelimuti benda-benda di sekelilingnya. Dengan cepat, gumpalan asap itu pun mengaburkan pandangan gadis itu. Namun, ia tak segera menepisnya sehingga matanya terasa perih dan berair.
Samar-samar, matanya justru memproyeksikan ingatan akan kejadian dua minggu lalu di kantornya. Saat itu, ia sedang berjalan kembali ke ruangannya usai rapat untuk proyek ketiganya. Sesampainya di ambang pintu ruangan itu, ia melihat seorang laki-laki dan seorang perempuan berdiri di depan meja kerjanya.
Yang perempuan berkata, “Ini orang sebenarnya emang polos atau bodoh sih? Gak sadar apa kalau dia dimanfaatin orang-orang disini biar karirnya melesat kayak dia?” Dan langsung digubris oleh yang laki-laki, “Harusnya tuh dia gak usah baik-baik amat. Jaman sekarang kan orang kalau ditolong malah gak tahu diri. Lihat kan? Faktanya dia malah jadi dimanfaatin orang.”
Seketika gadis itu tersentak mendengar perkataan mereka lalu berjalan mundur perlahan. Kepalanya terasa pening, seperti ada gumpalan besar yang memenuhinya. Laki-laki itu lalu mendorong kursi milik gadis itu hingga membentur pembatas antara meja di belakangnya dan percakapan itu pun ditutup dengan ucapan, “Kampungan.”
Mereka berdiri dengan posisi membelakangi gadis itu, sehingga tidak menyadari kehadirannya yang mendengar seluruh perkataan mereka. Melihat gestur mereka yang sepertinya akan segera membalikkan badan, gadis itu pun berlari ke arah lift yang terbuka tak jauh dari ruangannya. Hatinya seperti dibanting lalu diinjak-injak.
“Jadi selama ini…” Dirinya pun tidak mampu memikirkan hal yang mungkin akan jauh lebih menyakitkan lagi.
“Sakit..” Ujarnya dalam hati, sambil kakinya terus melangkah meninggalkan kedai beserta gumpalan asapnya yang terus membumbung tinggi. Mata gadis itu semakin terasa perih. Seharusnya tadi ia tepis gumpalan asap itu agar tidak menyambar matanya yang memang sudah kering sebelumnya. Matanya tak mampu membendung air yang sedari tadi menggenang di pelupuknya. Dengan perih dari asap pembakaran dan sakit dari ingatan akan kejadian itu, kini air matanya pun tumpah dan mengalir membasahi pinggir hidung dan sekitar pipinya. Anehnya, semakin deras air mata yang keluar, ia merasa semakin lega. Rasanya seperti saat ia dahulu pernah menarik duri yang tertancap di jari tengah tangan kanannya secara perlahan. Sakit memang, namun semakin ditarik maka semakin lega karena tak ada lagi pikiran bahwa ia akan dioperasi hanya karena sebuah duri yang tertancap itu. Akhirnya, ia biarkan air matanya terus mengalir tanpa sekali pun mengusapnya hingga tak tersisa lagi rasa perih itu. Berjalanlah ia di bawah langit petang dengan pandangan yang sedikit buram karena air mata yang masih terus mengalir.
“TIN..TIN..” Tiba-tiba suara klakson mobil memanggil gadis itu. Dengan jarak yang sangat dekat dan suara yang cukup nyaring, ia pun refleks segera menoleh ke arah sumber suara. Sebuah sedan hitam berhenti tepat di sampingnya. Dari kacanya yang terbuka dan di bawah remang-remang lampu sedan itu, tampaklah dari dalamnya seseorang yang menoleh ke arahnya, Anna. Gadis itu terkejut mengetahui kehadiran Anna di sana. Dilihatnya Anna hanya menunjuk ke arah kursi kosong di sampingnya. Dengan ekspresi datar dan tatapan tegas, ia sudah paham bahwa itu merupakan perintah yang harus ia lakukan. Dalam sekejap, segera ia singkirkan seluruh memori yang sedari tadi terus berputar di kepalanya lalu menaiki sedan Anna.
“Kemana?” Tanya gadis itu. “Nganter lo.” Jawab Anna tanpa menoleh atau bahkan berekspresi. Pandangannya lurus kedepan. Kedua tangannya terpaku seakan menggenggam kuat kemudi mobilnya. “Gue gak punya tujuan. Bahkan..” Belum selesai gadis itu berbicara, Anna segera memotongnya, “Taman Cattleya.” Gadis itu tersentak. Ia menoleh ke arah Anna. “Tempat di mana lo sering nemuin ide-ide baru buat project lo. Bahkan ngembanginnya juga di sana.” Lanjut Anna. Mereka lalu terdiam cukup lama sampai Anna berkata, “Mungkin otak lo gak kepikiran kemana tujuan lo pergi, tapi hati lo yang nuntun langkah kaki lo ke sana.”
Kemudian, gadis itu hanya terdiam sambil menghela napas panjang. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi itu lalu memandang ke arah kedai-kedai kecil di sebelah kirinya. Saat itu kondisi jalan sedikit tersendat dikarenakan adanya perbaikan jalan sekitar 100 meter di depan mereka.
“Vanilla latte, Na.” Tiba-tiba gadis itu berujar pelan.
Pandangannya tetap mengarah ke kedai-kedai itu. Tanpa menolehkan kepalanya, Anna melirik matanya sedikit ke arah gadis itu. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyum kecil, namun sudah mampu memperlihatkan lesung pipi kanannya. Segera ia memutarkan mobilnya di putaran terdekat lalu menuju ke kafe kantor mereka.
Cerpen Karangan: Risya Nurcholis Blog / Facebook: Risya Nurcholis (Facebook) Saya adalah seorang penulis cerpen dan puisi. Karena berbicara lebih melelahkan dari pada menulis, jadi saya lebih suka bercerita lewat karya tulis.