Persahabatku dengan ARFAN kala di SMA demikian dekatnya, dimana ada Arfan disitu juga aku berada. Orangnya tinggi, berotot, putih kekuningan, punya hidung agak mancung, rahang persegi, dan rambutnya cepak. Wajah mirip orang timur tengah, orangtuanya mempunyai toko serba ada lumayan besar di kotaku. Arfan sangat menjaga bentuk tubuhnya agar tetap ideal, tiap minggu pergi ke tempat gym ditambah olahraga renang, naik sepeda, lari dan jalan sehat. Jadwal bulanan olahraganya diaturnya secara rapi.
Sejak dari kelas satu sampai kelas 3 PASPAL aku selalu satu kelas dengannya. Kepandaiannya biasa-biasa saja, tidak sesuai dengan Namanya, Arfan yang artinya kecerdasan, bahkan ada kesan jurusan yang dipilihnya merupakan paksaan, untuk jaga gengsi. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan siswa bahwa jurusan PASPAL adalah kumpulannya siswa yang pintar-pintar. Arfan sering mengalami kesulitan terutama pada pelajaran trigonometri (ilmu ukur sudut segitiga) dan strerometri (ilmu ukur ruang). Aku menjadi tumpuannya, aku memang jago dalam kedua pelajaran tersebut. Kalau jam istirahat, Arfan berbelas kasih kepadaku, aku bebas makan jajanan sepuasnya di kantin yang letaknya di belakang. Ya…, Arfan selalu mentraktirku, bukan berarti aku meminta bayaran atas ilmu yang kuberikan, tapi lebih pada persahabatan.
Karena kegantengannya, banyak siswi yang terpikat kepadanya. Namun Arfan sangat memilih gadis yang akan dijadikan pacarnya: mata yang agak besar, pinggang kecil, payudara sedang, dan bibir mungil yang selalu basah. Gadis yang memenuhi kriteria tersebut melekat pada diri Dewi dan Putri. Keduanya kakak-beradik, Dewi kakaknya dan Putri adiknya. Wajahnya mirip, namanya saja kakak beradik, yang sedikit membedakan bentuk tubuhnya, Dewi lebih langsing, lebih tinggi sedikit, sementara Putri lebih montok. Keduanya juga sekolah di SMA yang sama. Dewi satu angkatan, jurusan Budaya, sementara Putri adik kelas, satu tingkat di bawahku.
“Juno, persahabatan kita kalau bisa menjadi persaudaraan. Aku naksir sama Dewi, engkau sama Putri, yaa…” Aku tidak menaggapinya. Pikiranku tidak sejauh apa yang dipikirkannya. Bagiku, pacaran ya…, pacaran, tidak lebih. Kalau cocok berlanjut, kalau tidak cocok ya.. putus, sangat sederhana. Pernikahan masih sangat jauh, tidak sekedar kecocokan tetapi juga kesiapan dalam berumah tangga serta melibatkan orangtua kedua belah pihak dan masih banyak pertimbangan lainnya.
Sepertinya, Arfan tidak mengetahui kalau tangan mungil Dewi sudah aku gemgam sejak kelas 3 SMP. Apakah gemgamanku harus aku lepaskan demi suatu persahabatan? Cukup lama, aku memikirkannya, itupun hasil konsultasi dengan beberapa teman dekatku. Akhirnya aku lebih memilih persahabat yang telah cukup lama terbina, persahabatan yang bagai persaudaraan. Egoku untuk selalu menggemgam tangan Dewi aku lepaskan, apalagi Arfan telah mengutarakan perasaannya terlebih dahulu.
Malam Minggu itu, malam Minggu terakhir aku datang ke rumah Dewi, suatu keterpaksaan harus aku sampaikan kepadanya. “Dewi, aku akan mengutarakan sesuatu yang tidak mengenakan bagi kita berdua.” Dewi menatapku agak lama. “Apa maksudmu?” “Dewi, nampaknya hubungan kita sampai disini saja, Arfan lebih cocok denganmu dibandingkan denganku, namun aku berharap kita tetap berteman.” “Juno.., kamu gila, kamu jahat, aku tidak mau. Aku cinta kamu, Juno.” “Dewi…, ma’afkan aku.” Aku dekap Dewi yang menangis dengan suara sangat pelan nyaris tanpa suara. Air matanya membasahi bajuku. Aku cium rambutnya, keningnya dan bibirnya. Namun, Dewi diam bagai patung yang bernyawa.
Malam-malam Minggu berikutnya aku sudah tidak lagi menggandeng tangannya yang mungil. Cinta yang sedang mekar-mekarnya, aku bunuh demi suatu persahabatan.
Arfan menggantikanku, datang dengan mengendarai sepeda motor yang dibanggakannya. Sepertinya, Arfan ingin menunjukkan bahwa ia termasuk salah satu the have, maklum di kotaku hanya beberapa orang saja yang mempunyai sepeda motor. Arfan sangat yakin kalau tiap malam Minggu Dewi didatangi lama-lama akan tumbuh cintanya. Tiga bulan Arfan rajin berkunjung ke rumahnya, dan pada akhirnya Arfan dapat menggandeng Dewi. Mereka berboncengan ke tempat-tempat yang diinginkan, bahkan ke sekolah pun Dewi berada diboncengannya. Witing tresno jalaran soko kulino, kata orang tua.
Aku senang dan sekaligus sedih, cinta pertamaku telah aku serahkan pada Arfan. Kala Arfan sudah menggemgam tangan Dewi, aku mulai mendekati Putri. Beruntung Dewi tidak keberatan aku menggandengnya. Hubunganku dengan Dewi pun tetap terjaga dengan baik. Kini wajah Dewi telah berubah menjadi wajah Putri. Arfan juga gembira saat aku sudah menggandeng tangan Putri. Dengan Arfan aku sampaikan kalau datang ke rumah Dewi tidak pada waktu bersamaan. Aku merasa nggak enak saja sama Putri, datang dengan sepeda sementara Arfan datang dengan sepeda motor. Hal lain yang aku sampaikan, tidak boleh ada acara yang sama di rumahnya. Permintaanku dipenuhi Arfan dengan senang hati, Arfan lebih senang berboncengan dengan Dewi ke luar rumah, sementara aku lebih sering ngobrol di rumahnya, ngobrol apa saja tentang teman-teman, tentang bapak dan ibu guru, tentang sekolahan. Hanya kadang-kadang saja jalan-jalan disekitar alun-alun atau nonton bioskop di Sasana Budaya atau mbakso di warung Suryani.
Lulus dari SMA, aku dan Arfan juga kuliah di salah satu perguruan tinggi yang sama, perguruan tinggi terbesar dan ternama di Yogya. Arfan memilih Fakultas Ekonomi sementara aku memilih Fakultas Kehutanan. Masa kuliah dilalui dengan normal-normal saja. Gelar kesarjanaannya diperoleh pada waktu yang sama. Dengan ilmu yang telah diperolehnya, Arfan melanjutkan usaha yang dirintis ayahnya. Toko yang dimiliki ayahnya dikembangkan, pembelinya pun semakin bertambah. Aku sendiri memilih kerja di Perhutani dan diangkat menjadi Sinder dan ditempatkan di bagian hutan Lawu Ds. Sebagian besar hutannya berupa hutan pinus, sebagian hutannya berada di Kabupaten Madiun dan sebagian masuk Kabupaten Ngawi.
Kisah kasih percintaan antara Arfan dan Dewi dan antara aku dan Putri normal-normal saja, tidak ada yang aneh. Satu tahun setelah lulus Arfan nikah sama Dewi dan satu tahun kemudian aku menyusulnya, nikah sama Putri. Kini, persahabatan telah menjelma menjadi persaudaraan. Cita-cita Arfan tercapai. Sejak itu, aku memanggilnya Mas Arfan dan Mbak Dewi, mereka berdua telah menjadi kakak iparku. Kehidupan keluargaku dan kehidupan keluarga Mas Arfan berjalan normal, riak-riak kecil pasti ada dalam rumah tangga. Kata orang, itu bumbu dalam rumah tangga.
Aku dan Putri telah merencanakan perkawinan secara matang, hanya akan mempunyai dua anak saja, laki atau perempuan sama saja. Satu tahun pertama menjadi bulan madu, setiap minggu berwisata di berbagai hutan di Jawa: Telaga Sarangan, Taman Nasional Cibodas, Kebun Raya Cibodas, Taman Saraswati, Curug Sewu, Tawangmangu, Taman Nasional Bromo Tengger, Hutan Pinus Cikole dan tempat wisata lainnya. Gemericik aliran sungai yang airnya masih murni, air terjun yang memercikan embun-embun, mentari yang baru bangun dari peraduan, pancaran sinar matahari yang menerobos pepohonan, nyanyian merdu binatang malam dan masih banyak lagi keindahan alam yang dinikmatinya. Bulan madu yang murah meriah, nginap gratis di cottage Perhutani.
Tahun kedua Putri mengandung dan melahirkan bayi laki-laki yang aku beri nama Rimbawanto dengan panggilan Anto. “Juno, selamat ya…, Putri telah menjadi ibu dan engkau sudah menjadi ayah. Aku iri pada kalian.” Tahun kelima, Putri melahirkan bayi kedua. Kali ini bayi yang dilahirkan perempuan dan aku beri nama Rimbawati, dengan panggilan Wati. “Juno, selamat ya…, telah dikaruniahi sepasang anak. Sampai saat ini Dewi belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan, aku sudah rindu tangisan anak.” “Ya… sabar saja Mas, sering berdoa.” Hanya itulah jawaban yang aku sampaikan.
Lengkap sudah kehidupan rumah tanggaku, dikarunahi sepasang anak yang lucu-lucu, yang laki ngganteng dan yang perempuan cantik. Tangisan dan rengekan anak-anak menjadi nyanyian merdu di telingaku.
Aku sebenarnya agak heran dengan keluarga Mas Arfan, kenapa Mbak Dewi belum juga hamil, pasti ada penyebabnya. Ketidakhamilan Mbak Dewi aku pelajari dari berbagai sumber. Saat suami istri memadu kasih, suami akan mengeluarkan sperma yang jumlahnya jutaan. Hanya diperlukan satu sperma saja untuk membuahi sel telur di dalam rahim yang akan menjadi zigot, cikal bakalnya bayi. Apakah dari jutaan sperma Mas Arfan yang ditaburkannya tidak satupun dapat membuahi telurnya Mbak Dewi? Mustahil. Apakah kulit telurnya Mbak Dewi begitu tebal, sehingga sperma Mas Arfan tidak mampu menembusnya. Bisa jadi. Kalau Mbak Dewi mandul rasanya tidak. Putri buktinya, sudah mempunyai dua anak. Analisaku sederhana, sperma Mas Arfan terlalu lemah untuk dapat menembus ketebalan telurnya Mbak Dewi.
Menginjak tahun keenam, aku dipindahkan ke KPH Kendal, menjadi Sinder di Boja, bertanggungjawab terhadap pengelolaan hutan produksi jati. Tentu saja aku dan Putri sangat senang, dekat dengan orangtua, dekat dengan keluarga Mas Arfan. Sejak usia perkawinan Mas Arfan dengan Mbak Dewi menginjak tahun ketujuh, keretakan keluarganya sering diceritakan Putri. Sumber pertengkarannya, Mbak Dewi belum bisa memberikan anak, Mbak Dewi dianggap mandul. Rumah tangganya bagai kapal yang terombang-ambing di tengah samudera. Terpaan angin yang tidak begitu kencang sudah mampu menenggelamkannya.
Memasuki tahun ke sembilan, Mas Arfan curhat kepadaku via HP. “Juno, masa sembilan tahun masih belum punya keturunan? Apakah ada yang salah? Rasanya, saya normal-normal saja. Apakah Dewi mandul? Apakah aku perlu kawin lagi?” “Sabar Mas, belum waktunya saja, rajin berdoa. Insyah Allah, nanti pasti dapat keturunan.” “Juno, kalau sampai menginjak tahun ke 10 Dewi tidak mengandung, aku berencana akan kawin lagi, kalau Dewi tidak setuju ya.. aku akan ceraikan.” “Mas Juno, kasihan Mbak Dewi, Mas Arfan sudah mengultimatum mau kawin lagi, bila Mbak Dewi tidak segera hamil. Mas Juno, Mbak Dewi minta Rimbawati tinggal bersamanya, untuk “mancing” keturunan, boleh nggak.”
Memang ada kepercayaan di daerahku, jika suatu keluarga yang sudah cukup lama berumah tangga, tapi belum mempunyai anak, sebaiknya mengambil anak dari keluarga lain, namun akan lebih baik kalau masih ada hubungan keluarga dan mengadopsinya harus sejak dari bayi. Tentu saja aku tidak percaya untuk hal-hal seperti itu. Permintaan untuk mengambil Rimbawati, aku tolak.
Namun, menginjak tahun ke 9, kabar yang menggembirakan datang dari Putri. “Mas Juno, ketika saya ke rumah Mbak Dewi, rupanya Mbak Dewi dan Mas Arfan baru saja pulang dari Semarang, berbelanja perlengkapan bayi. Begitu gembiranya Mbak Dewi.” “Putri…, Putri .., aku telah mengandung. Beberapa hari ini perutku terasa mual, muntah-muntah, kepengin makan yang asem-asem dan setelah diperiksakan ke dokter, benar aku hamil. Mas Arfan senangnya bukan main. Setiap malam, perutku selalu diusap-usap, kadang-kadang telinganya ditempelkan ke perutku, ingin dengar suara bayi katanya, aku tidak boleh bekerja terlalu berat.” Cerita Mbak Dewi.
Aku pun sangat bersyukur atas kehamilannya. Kapal yang oleng, kini telah berdiri kembali dan siap berlayar kembali. (bersambung)
Cerpen Karangan: Bambang Winarto Blog / Facebook: Bambang Winarto BAMBANG WINARTO dilahirkan di Magelang 15 Juni 1954. Setelah lulus dari SMA Kendal, mengikuti pendidikan di Fahutan- IPB (1974-1978). Bekerja sebagai ASN di Kementerian Kehutanan sampai purna tugas (1979-2010). Memperoleh gelar Magister MM di UGM tahun 1993. Ia aktif menulis berbagai artikel tentang kehutanan di majalah kehutanan. Saat ini sedang menekuni penulisan Cerita Pendek. Cerpen-cerpen yang dikirim di CERPENMU masuk nominasi terbaik : Matinya Hantu Pocong (Oktober, 2022) (Perempuan Berkaos Kuning Dua, Sahabat (Part 1,2) Firasat (Part 1,2), Doa Penggali Kubur (Part 1,2) (bulan September, 2022) Dulkamdi (Part 1,2) (bulan Agustus 2022) Sepasang Album Kembar (Part 1, 2), Malam Yang Tidak Diharapkan (Part 1,2) (Bulan Juni, 2022) Malaikat Keempat, Sepenggal Catatan (Part 1,2), Konspirasi, Menjemput Rindu. (Bulan Mei 2022). Pencuri Raga Perawan, Pita Putih Di Pohon Pinus.(Bulan April 2022). Alamat: Kebun Raya Residence F-23 Ciomas, BOGOR, Email: bambang.winarto54[-at-]gmail.com ;