Malam yang sunyi, itulah yang senantiasa menemani malam malam ku. Tak ada yang istimewa, bintang bertaburan seperti biasanya ditemani bulan separuh yang berwarna putih. Sesekali terdengar suara lolongan anjing yang sedikit membuat bulu roma merinding. No body special! padahal aku sangat menginginkan kehadiran tiga sosok inspiratif bagiku biarpun aku belum sempat mengenalnya, merabanya, merasakan hangat dekap tubuhnya, melihat indah senyum dan kelembutan tangannya. Ya itulah nasib sialku.
Akulah Lara Prihatini, gadis malang 19 tahun yang sejak kecil telah ditinggal mati kedua orangtuaku karena kecelakaan maut di daerah Jakarta Selatan 14 tahun silam. Sungguh menyedihkan memang. Waktu itu, aku dan adikku yang baru berumur 2 tahun hanya bisa menangis terisak isak menyaksikan kedua orangtuaku dibawa dengan ambulan lalu dimasukkan ke dalam keranda mayat dan dibawa dengan iringan lantunan shalawat menuju tempat peristirahatan terakhir mereka. Aku dan adikku yang masih kecil tak sanggup berbuat banyak apalagi adikku belum mengerti tentang kematian, mungkin ia mengira ayah dan ibu pergi rekreasi sebentar dan akan pulang dalam waktu dekat. Sejak kejadian itu, aku dan adikku dirawat oleh nenek dari ayah yang juga sudah renta. Beliau pun harus bekerja sebagai buruh cuci untuk membesarkan kami. Sungguh posisi yang sangat tertekan di tengah keterbatasan.
“Nek, biar Lara saja yang jualan kue nek, nenek dan zahra di rumah saja, nenek kan sekarang lagi sakit nek, biar di sekolah saja Lara jual nanti nek pasti banyak teman teman Lara yang membelinya,” pinta Lara kepada nenek saat ia bersiap ke sekolah. Lara tak tega melihat sang nenek yang sudah sangat tua harus berjalan ratusan meter untuk menghidupi dirinya dan Zahra. Sungguh ia tak tega. “Betul ndak papa nduk? apa kamu tak malu sama teman temanmu? nenek tak tega kalau kamu ditertawakan nanti. Kamu tu cantik, tak pantas jualan, tugasmu hanya belajar supaya nasibmu cerah dikemudian hari nduk!” jawab sang nenek dengan tatapan letih tapi penuh semangat dalam menasehati sang cucu. Seraya Lara pun menjawab dengan penuh keyakinan. “Aduh nek, ngapain Lara harus malu? ini kan pekerjaan halal. Ya udah deh nek, Lara berangkat dulu, Assalamualaikum..”
Lara pun langsung berlari dengan tangan kanannya memegang bakul berisi gorengan hangat nan nikmat. “Hati-hati cu… moga Allah memberi kemudahan padamu. Andai orangtuamu masih hidup nduk… pasti ia akan sangat bangga karena telah dikaruniai seorang gadis cantik berjiwa mulia seperti mu nduk” ungkap nenek dengan mata berkaca-kaca.
SMA Harapan Bangsa, disanalah Lara menuntut ilmu. Seragamnya memang sama dengan anak lainnya seolah tiada kasta di sekolah itu. Tapi sejatinya, dari segi style, pergaulan dan jajanan terlihat jelas pengkastaan di sekolah itu terutama di antara sesama murid. Hanya orang-orang berduit dan berotak yang mampu duduk di sekolah itu. Beruntung lah dengan dana yang tak mencukupi, tapi dengan bekal otak yang telah meraih berbagai penghargaan, ia pun mampu bersekolah disana setara dengan anak para pejabat pemerintahan.
Hari ini pun merupakan hari penentuan, apakah akan tetap menjadi murid senior nan tua atau langkah awal untuk menjadi mahasiswa. Para murid pun telah berkumpul di lapangan yang sangat luas dengan hamparan rumput hijau di sekeliling dan diselingi dengan pohon cemara yang kokoh sekaligus menjadi saksi kunci segala tindak tanduk siswa di lapangan tersebut.
“Baik para bintang Indonesia, siang ini bapak sangat bangga pada kalian. Karena, sekolah kita meraih nilai Ujian Nasional tertinggi se-Jakarta, artinya kalian semua lulus dengan nilai yang membanggakan. Selamat wahai para bintang Indonesia. Kami sangat bangga pada kalian” ungkap Bapak Ismet, selaku Kepala SMA Harapan Bangsa dalam pidatonya sore itu. “Yeee… kita lulus… kita lulus… terima kasih Tuhan” teriak Robin, salah satu murid kelas unggul. Bapak ismet kembali melanjutkan pidatonya. “Ada satu kabar membanggakan lagi para bintang, salah satu teman kalian berhasil mendapat scholarship langsung dari salah satu universitas untuk menimba ilmu di universitas ternama, bahkan dia adalah satu satunya siswa yang mendapat kesempatan emas ini se daerah Jakarta Selatan. Lara Prihatini, adalah satu satunya siswa undangan ke Harvard University dengan biaya kuliah ditanggung universitas sampai kamu meraih gelar doktor. Selain Lara, ada banyak dari kalian yang juga menjadi mahasiswa undangan di beberapa perguruan tinggi dalam dan luar negeri. Sekali lagi, kami sangat bangga atas prestasi kalian” ujarnya berapi-api.
“Alhamdulillah, Lara senang banget bisa dapat kesempatan kayak gini, Lara gak pernah nyangka. Bahkan buat sekolah disini pun lara gak pernah mimpi dan Lara pun takut tuk bermimpi karena Lara bukan siapa siapa. Sungguh semua ini Lara persembahkan buat nenek yang lagi sakit di rumah. Beliau berjuang buat menghidupi Lara dan adek. Sehingga Lara masih bisa tetap merasakan indahnya dunia, gimana rasanya sekolah, bergaul sama teman teman yang solid. Pokoknya Lara bangga banget sama nenek. Mama dan Papa yang udah di surga, ini juga buat kalian. Lara gak bisa ngomong apa apa lagi selain bersyukur tiada tara pada Tuhan atas segala nikmat ini” tukas Lara dengan deraian air mata dihadapan seluruh murid kelas 12 yang sebagian dari mereka juga larut dalam suasana haru seperti itu.
Sepeda butut dengan rem blonk pun dikayuh oleh lara dengan sekuat tenaga supaya bisa cepat sampai di rumah tuk menceritakan kebahagiaan ini pada sang nenek dan Zahra, bahkan ia tak menghiraukan bakul gorengannya yang jatuh ke aspal, beruntung gorengannya sudah terjual habis semua.
Sesampai di rumah ia pun heran melihat warga telah memenuhi rumahnya yang kumuh dan sempit, ditambah dengan adiknya, Zahra yang menangis di pintu. Semua mata memandang iba kearah Zahra. Dengan langkah ragu, Lara pun memasuki rumahnya. Seketika ia terkejut melihat beberapa orang sedang mengangkat sang nenek dari tempat pemandian dan bersiap tuk mengafani, ya sang nenek telah tiada karena mengidap penyakit kronis yang tak pernah diobati. Sungguh malang tak dapat ditolak, sang nenek malah pergi tuk selama-lamanya disaat dia tengah merasakan kebahagiaan tiada tara yang sejatinya akan ia persembahkan tuk sang nenek. Tapi apa daya, yang namanya kematian tak dapat diundur sampai hari esok.
“Nenek, jangan tinggalin Lara, ayo bangun nek, lihat Lara bawa piagam penghargaan siswa terbaik se-Jakarta, Lara juga bawa surat undangan kuliah di Amerika, semuanya untuk nenek, ayo bangun nek… neneek… lara gak bisa hidup tanpa nenek” tangis Lara di hadapan sang nenek yang telah terbujur kaku tanpa napas.
“Kakak.. gimana nasib kita, kita udah tak punya siapa siapa lagi di dunia ini, mending Zahra ikut nenek saja, Zahra takut kak” isak Lara sambil memeluk sang kakak. “Zahra sayang, kamu gak boleh ngomong gitu, kita pasti bisa sayang” jawab Lara mencoba tegar sambil memeluk adiknya.
Sang nenek pun dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya, tempat ia beristirahat dari himpitan nasib dan kerasnya hidup tuk sesuap nasi. Wajahnya yang sangat keriput sangat jelas menampakkan keletihannya bekerja selama ini “Selamat jalan nek, semoga nenek mendapat tempat terbaik di sisiNya” do’a Lara dalam hati.
Hening, hampa, tak bersemangat, sedih, mewarnai langkah lara dan Zahra dalam perjalanan pulang ke rumah sederhana yang menyimpan segala kenangan mereka dengan sang nenek yang kini disebut In Memoriam.
Dengan perasaan sangat sedih, lara menitipkan Zahra ke panti asuhan karena esok pagi, Lara akan berangkat ke Amerika tuk menuntut ilmu.
“Sayang, 8 tahun lagi kakak akan kembali kesini dan menjemput kamu, supaya kita bisa sama sama lagi ya, maafkan kakak karena kakak harus meninggalkan kamu sendiri disini, karena ini demi masa depan kita ya dek” ungkap Lara saat akan berpisah dengan adik yang merupakan satu satunya keluarga yang tersisa di dunia ini. “Iya kak, Zahra ngerti, kakak belajar yang rajin ya, supaya cepat pulang dan kita bisa kumpul lagi” jelas Zahra menahan kesedihannya.
Delapan tahun sudah Lara berdomisili di negri Paman Sam ini. Tadi ia baru saja meraih gelar doktor sebagai tanda perjuangannya. Ia pun akan ditempatkan di salah satu perusahaan asing di Indonesia. Ia sangat merindukan adiknya yang sekarang juga telah meraih gelar sarjana berkat scholarship dari salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia.
“Dek, tunggu kakak ya, kakak besok berangkat, jemput ke bandara ya” ujar Lara via telpon. “Terima kasih Tuhan. Akhirnya perjuangan kami berbuah manis. Tapi sayang, sosok inspiratif kami telah kau ambil. Semoga mereka semua bangga di surga” pikir Lara sambil menatap indahnya langit yang ditaburi bintang.
Ya sekarang dua sosok yang menderita di masa kecil telah menjelma menjadi wanita sukses di tengah keterbatasan dengan segudang prestasi. Berbanggalah wahai ayah, ibu dan nenek Lara-Zahra.
Cerpen Karangan: Dona Ariani Blog: dona ariani Facebook: dona ariani saya dona, mahasiswi matematika universitas andalas padang, sumatera barat. saat ini saya tergabung dalam organisasi pers kampus, genta andalas.