Siang ini ku berdiri mematung di tengah hiruk pikuk penumpang bus jurusan Kota Pahlawan, tak ada satu pun kursi yang tersisa untukku, berat hati ini berpisah dengan sejuta kenangan indah yang tak terlupakan di kota kecilku. Mata ini mulai berkaca-kaca membayangkan perpisahan itu, padahal kepergianku kali ini tak lebih dari tiga hari. “Woi.. Naura kamu kenapa?” Sontak suara itu membuyarkan lamunan itu “Emm… nggak papa kok El, kamu mengagetkanku saja” “Kamu sih bengong aja dari tadi, ngelamunin apa sih?” “Capek juga ya berdiri dari tadi” ku berusaha mengalihkan pembicaraan “Biasa lah.. ini kan jam pulang kerja” jawab Ela dengan gaya santainya, tampaknya ia sudah terbiasa dengan suasana seperti ini. “Perjalanan ini sungguh sangat melelahkan” gerutuku dalam hati.
Bermula di hari dimana aku dan keempat temanku dipanggil ke ruang Kepala Sekolah sehubungan dengan adanya surat edaran penerimaan beasiswa yang kini ada di hadapan kami, kami membaca sekilas, tercantum disitu “Tes Baca Kitab Kuning”, tak heran jika semangat kami langsung kendor, wajah pesimis kami begitu terlihat saat itu, tiga temanku memutuskan untuk mundur, sebenarnya aku pun ingin melakukan hal yang sama, namun apa boleh buat, sebelum keinginan itu terungkap aku dan teman sebangkuku dipaksa untuk ikut, satu alasannya karena kita adalah anak pesantren ku anggap sangat pantas jika temanku Si kacamata ini diikukan karena dialah “Bintang Kelas” sekolah kami sejak MTs dulu, tapi aku Si Ratu tidur yang kerjaannya hanya tidur di kelas ini diikutkan hanya karena aku adalah satu-satunya siswi di sekolah ini yang berlebel Santri yang pernah menyandang Juara Harapan I tingkat Jatim bidang Lughoh 3 tahun lalu, itu pun karena aku adalah satu-satunya peserta waktu seleksi Kabupaten. Jangan ditanya lagi kemana bait-bait nadzom Imrithi itu sudah hilang ditelan bumi, (kebanyakan ma’siat sih… he he he).
Pihak sekolah menyerahkan semua urusan ini kepada pihak pesantrenku, jujur aku tak berminat sedikitpun untuk ikut, karena dari awal kelas XII ku sudah bertekad untuk kerja, tak ada bayangan sedikitpun untuk duduk di bangku kuliah, apalagi jalur beasiswa. Namun atas paksaan dari banyak pihak dengan berat hati aku harus mempersiapkan semuanya dalam waktu satu hari, mengingat besok adalah batas akhir pendaftaran, mereka memilihkan salah satu Kampus Agama yang terkenal untukku yang berotak pas-pasan ini, Sedangkan Jurusan Matematika menjadi pilihan sahabatku “Si Kutu Buku” ini.
Hari menakutkan itu pun tiba, Test. ku sempatkan sehari sebelumnya untuk pulang meminta do’a restu dari semua keluarga, dan hanya berbekal do’a mereka dan pihak Pesantren itulah aku pun berangkat dengan rasa pesimisku. Di lokasi test, rasa minder, pesimis itu pun semakin merasuk, gimana tidak! ku lihat notabene para peserta tes berwajah-wajah meyakinkan dengan para pendampingnya datang dari seluruh penjuru, Sedangkan kami hanya berdua diantar oleh kakak temanku yang kebetulan sudah lama tinggal di Kota Pahlawan ini. “Ya Allah, pantaskah aku berada ditempat ini?”
Sejenak menunggu, akhirnya detik-detik pertepuran ini akan dimulai, aku pun mulai membuka lembar demi lembar soal itu, sejenak ku tundukkan kepala sembari melantunkan do’a dalam hati, dan berbekal ingatan pelajaran MA dan Pesantren yang pernah ku enyam, aku pun berhasil menyelesaikan soal yang menurutku cukup rumit itu, “Seandainya ku mau belajar sejak awal mungkin ku tak akan seminder ini” Sesalku dalam hati.
Sepulangku dari tes, seperti tak pernah terjadi apa-apa, ku pasrahkan semua pada Allah SWT, ku juga tak terlalu berharap untuk diterima, karena dari awal ku memang tak menginginkannya, yang ku harapkan saat ini hanya LULUS dalam Ujian Nasional-ku, tak lebih dari itu.
Hari pengumuman itu pun tiba, temanku DITERIMA, seisi sekolah dan pihak Pesantrenku sangat bahagia dengan kabar ini, begitu juga aku. Tapi “Bagaimana dengan kamu?” ku tak tahu mengapa pertanyaan itu selalu membuntutiku Everywhen n Everywhere, aku sadar bahwa selama ini mereka mempedulikan masa depanku dan berharap aku diterima, tapi mengapa mereka tak pernah peduli pada perasaanku? Jujur aku bahagia aku tak diterima, karena dari awal aku tak ingin pisah terlalu jauh dari orangtuaku, apa yang harus ku abdikan ke Pesantrenku kelak jika ku diterima? dan ku merasa masih terlalu kecil untuk menghadapi kerasnya kehidupan Surabaya.
Namun Dia berkehendak lain, ketika aku baru pulang nglimput dari rumah teman, tak sempat ku masuk kamar, “Naura, ditimbali Neng teng ndalem…”. Dag-dig-dug hatiku, baru kali ini aku berani melanggar peraturan tak langsung pulang ke ma’had sepulang sekolah, ketahuan kah? “Assalamu’alaikum… ” ku berdiri tegang di depan pintu ndalem, “Wa’alaikumsalam Naura, baru datang?” ku mengangguk tanpa berani mengangkat wajah. “Tadi ada surat dari Depag, katanya kamu diterima masuk tes beasiswa, jadi sekarang kamu harus kesana untuk melengkapi administrasinya” AKU DITERIMA, antara percaya dan tidak ku kayuh sepeda miniku menuju Depag yang jaraknya tak begitu jauh dari ma’hadku, ku sempatkan mampir ke Wartel untuk mengabarkan kabar bahagia ini ke rumah.
Sesampainya di Kantor Depag Kabupaten, ku terima lembaran kertas yang menyatakan AKU DITERIMA, ku tak tahu harus sedih atau bahagia, di satu sisi aku senang bisa membuat mereka bangga, namun di sisi lain lain ku belum siap meninggalkan semua kenanganku disini, belum lagi mendengar celotehan orang-orang yang hanya bisa ku bilang syirik itu.
Tapi walau bagaimanapun aku harus bersyukur dengan ANUGERAH YANG TAK TERDUGA ini, mungkin jalan inilah yang terbaik yang Dia pilihkan untukku, sebisa mumgkin ku harus berusaha menghilangkan rasa minder yang masih melekat dalam diriku ini dan membuktikan bahwa aku pantas menerima semua ini. “Ya.. Allah, Kuatkan aku dan Ikhlashkan aku untuk mengemban amanah besar ini”.
Kemampuan memang penting, tapi do’a orangtua dan guru tak dapat kita remehkan, berkat do’a merekalah aku bisa seperti ini, untuk itu sampai hatikah aku untuk menyia-nyiakan kepercayaan mereka? Aku teringat bahwa dulu aku juga pernah punya impian untuk sampai di kampus ini, mungkin inilah jawaban atas semua impian itu. Harus kita sadari bersama bahwa dalam hidup kita harus selalu Optimis, “Allah tak selalu memberi apa yang kita inginkan tapi selalu memberi apa yang kita butuhkan”, dan untuk orang-orang yang masih syirik aku hanya bisa mengutip perkataan temanku “Anda memang lebih pintar daripada kita, hanya saja kita lebih beruntung dibanding Anda”
Cerpen Karangan: Khoiriyatul Mukarromah Facebook: Putri Huanzhu Lulus dari IAIN SUnan Ampel TAhun 2012