Pagi yang biasa, tak ada burung yang terbang kian kemari. Hal yang biasa terjadi padaku, pada anak berumur 6 tahun. Pagi hingga malam hanya tampak beton-beton tebal, suara kebisingan kendaraan di atasnya selalu mengiang-ngiang sampai rasanya telinga ini tuli untuk mendengar suara selain itu. Kala malam aku tak dapat melihat indahnya bulan sabit yang tersenyum, tak dapat melihat kemilau jutaan bintang-gemintang. Terkadang aku merasa setiap hari adalah malam, tak ada cahaya matahari yang menyinari, tak ada kupu-kupu yang terbang kian kemari. Jika hujan tutun pun aku hanya bersimpuh di sebuah gubuk kecil terbuat dari kardus, tak ada apa-apa di sana selain aku dan Ayah.
Tiga tahun sudah aku ditinggal oleh Ibu dan Kakak-kakakku, ditinggal bagai telah mati ditelan bumi. Merasa bosan sudah pasti kurasakan, tapi apa yang dapat kulakukan selain mengikuti gerak langkah kaki Ayah. Tak ada sesal di wajahku, senyum pun selalu kusunggingkan pada orang lain. Sampai saat ini aku masih berbesar hati berkat kata-kata Ayah yang selalu diucapkan ketika malam telah datang, ketika matahari yang tak dapat kulihat benderangnya mulai menyinari.
“Bermimpilah anakku, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu itu, dan jangan pernah menangis sesakit apapun itu pastikan hanya kau dan Tuhan yang tahu.” Begitu aku mendengar kata-kata itu setiap hari kuhafalkan, dan kusampaikan pada orang lain. Sampai mereka tertawa dan tidak percaya kata-kata Ayah itu, kata mereka, “Sungguh bodoh, jika kau mempercainya, beritahu Ayahmu, bermimpilah saat kalian tertidur. Jangan bermimpi ketika kalian terbangun, lama-kelamaan kalian akan gila.” Begitu katanya, tapi tak kuhiraukan itu.
Sampai pada hari ini Tuhan menjawab doa-doaku dan Ayah. Langit, bumi dan awan sempurna terbalik. Aku dan Ayah melangkahkan kaki ke jalan yang biasa kami lewati, di taman kota karena banyak botol bekas di sini. Sembari aku lihat anak seumuranku berjalan sambil tersenyum dan bergandeng tangan dengan Ibunya, mengenakan tas, sepatu dan beramai-ramai menyeberangi jalan lewat zebra cross ketika lampu merah dinyalakan. Ingin kutanyakan pada Ayah, sebenarnya apa yang mereka lakukan, tapi aku selalu saja tak berani.
Hari ini kubulatkan tekadku untuk bertanya. Aku menghentikan langkahku, Ayah menatapku dengan tanda tanya. “Ayah, apa yang mereka ingin lakukan? setiap hari selalu beramai-ramai menyeberangi jalan dan memakai baju yang sama pula.” Kataku sambil terus memandangi mereka berjalan ke sebuah gedung yang tak kuketahui. “Tasya, mereka ingin ke sekolah” kata Ayah singkat, tanpa memikirkan anaknya yang tak mengerti apa itu sekolah.” “Apa itu yah? memangnya di sana ada banyak botol bekas?” tanyaku teramat lugu. Ayah mengajakku untuk duduk di bangku taman yang telah reot. “Sekolah itu mencari ilmu, ilmu untuk masa depan nanti. Di sana tidak ada botol bekas, tetapi di sana banyak sekali gudang ilmu. Di sana Tasya bisa membaca, menulis, menggambar dan banyak hal lain yang bisa Tasya lakukan di sana” jelas Ayah.
Aku semakin tak mengerti, karena selama ini kegiatan hidupku terlalu biasa dan selalu sama setiap harinya. Terbangun ketika telah ramai kendaraan, mengambil karung rongsokan, berjalan, makan, tidur, hanya begitu setiap harinya.
Apa yang bisa diistimewakan benar-benar tak ada sama sekali, aku hanya mengerti mengais sampah, melewati dingin semalaman dengan pakaian ala kadarnya, melihat senyum Ayah tanda ketegaran hati dan satu hal yang paling aku mengerti adalah, menangisi penderitaan. Karena itu yang selalu Ayah lakukan setiap malam. Ayah kembali mencari botol bekas, aku masih terdiam, Ayah tahu dan paham aku tidak mengerti apa yang ia katakan barusan. Ayah melengok ke arahku bermaksud agar aku melanjutkan kegiatan hari ini, aku menatap Ayah dan keluarlah kata-kata itu.
“Kenapa Tasya tidak sekolah? kenapa Tasya di sini? Tasya ingin bisa melakukan apa yang Ayah katakan. Menulis, menggambar, membaca, Tasya ingin kesana yah. Tasya ingin pergi bermain bersama teman-teman.” Ayah terduduk lemas di depanku, Ayah menitikkan air matanya yang tak ku ketahui apa sebabnya. “Maafkan Ayah, Ayah belum bisa memenuhi permintaanmu. Maafkan Ayah telah merampas semua hak dan kewajiban kamu” katanya, sambil memelukku erat. “Hak dan kewajiban itu apa yah?” tanyaku, tetapi Ayah hanya tersenyum.
Kami melanjutkan kegiatan, aku iseng berpisah dengan Ayah. Dan lihat apa yang baru saja aku temukan, sepasang kaus kaki dan sepatu yang sudah kotor dipenuhi bau tak sedap pula, tetapi jika dibersihkan akan kelihatan sedikit lumayan. Aku mengambil kedua benda itu dan ternyata ada anak perempuan yang sedari tadi melihatku.
“Kamu cari apa di situ?” tanyanya, aku hanya menunjukkan benda yang aku temukan tadi. Aku mengamatinya. “Kamu sekolah ya? bagaimana rasanya di sekolah?” tanyaku. “Rasanya senang karena gurunya baik dan aku selalu mendapat nilai seratus jika pelajaran matematika.” katanya yang sekarang sambil tersenyum bicaranya. “Aku juga ingin sekolah.” kataku sedikit lesu. Dia hanya terdiam. “Oh iya, kebetulan tadi aku membeli 2 buku gambar, ini yang satu untuk kamu, ini juga.” katanya, sambil menyerahkan sebuah buku gambar dan satu buah alat tulis. Dia celingak-celinguk entah mencari apa dan siapa.
“Diva, kenapa masih di sini?” tanya seorang Ibu yang kurasa ia adalah orangtuanya. Pantas tadi dia memberi isyarat padaku untuk menyembunyikan buku gambar. “Diva menunggu Mama, ayo ma kita berangkat, oh iya nama kamu siapa?” tanyanya. “Tasya.” singkatku. “sampai bertemu lagi” katanya sambil melambaikan tangan.
Huh sudah lama aku tak menyebutkan kata Mama, aku rindu bertemu sosok itu. Namun segera kuenyahkan pikiran itu dan terfokus kembali pada buku gambar itu. Aku menceritakan semua kejadian saat bertemu dengan Diva dan ibunya. Ayah hanya tersenyum tanpa menghiraukan kenakalanku.
“ini untuk Tasya, dimakan ya.” kata Ayah sambil menyerahkan satu buah roti, tetapi aku menggeleng. “Tasya tidak mau makan roti ini sendiri, Tasya ingin makan jika Ayah juga makan.” kataku sambil cemberut. “Tasya, Ayah sudah makan.” kata Ayah meyakinkanku. Aku tahu Ayah berbohong, karena merasa kasihan padaku, karena seharusnya anak seumuranku mengkonsumsi makanan yang bergizi selain roti. Aku memahami itu. “Ayah, Tasya sudah besar dan Tasya harus bisa berbagi, Ayah sendiri kan yang mengajarkan itu pada Tasya.” kataku, tetapi Ayah hanya terdiam.
Aku berpikir selah-olah bisa membaca pikiran Ayah saat ini, mungkin Ayah berpikir: Seandainya Ayah memiliki cukup uang untuk memenuhi keinginanmu itu, Ayah akan melakukannya sekarang, bersabarlah anakku, Tuhan mulai memeberi setitik cahaya suci untuk kehidupan kita. Yah, seperti itu lah kira-kira.
Aku seringkali melihat Ayah melakukan gerakan seperti sedang berolahraga, tapi mulut Ayah juga komat-kamit seperti dukun. Salat katanya, perintah Tuhan yang wajib dikerjakan. Tak peduli, sesengsara apa kita, yang terpenting kita tetap menyembah Allah SWT. Ayah juga kerap kali mengajariku untuk mengucapkan kata ‘Alhamdulillah’ sebagai wujud syukur dengan apa yang telah Allah SWT berikan terhadap hidup kita, yah setidaknya itulah Ayahku yang religius.
Pagi harinya, ketika mendung menutupi awan cerah dan menutupi kemilau setitik embun yang indah diterpa sinar matahari di pagi ini. Aku dan Ayah bertemu dengan Diva dan Ibunya, di tempat kemarin. Ibu Diva tersenyum seolah telah lama mengenali kami sambil memberi bungkusan semirip kado ulang tahun orang-orang kota Di sana. Aku memandang Ayah, tetapi Ayah sama bingungnya denganku, serentak aku dan Ayah menatap Diva dan Ibunya dengan pertanyaan yang tak kami ucapkan dengan lisan melainkan dengan mimik yang telah jelas mengatakan: Apa yang kalian maksudkan dengan memberikan sesuatu ini pada kami, sedangkan kami adalah seorang yang tak pernah bersosialisasi di lingkungan elit, dan berpakaian seluruhnya usang. Lama kami saling pandang memandang, tak satupun jawaban terlintas.
Akhirnya semua kendaraan yang berlalu lalang berhenti ketika lampu merah dinyalakan, seketika pula Diva dan Ibunya berjalan menuju zebra cross sembari mengatakan. “untukmu bersekolah.” Masih tak percaya apa yang terjadi barusan, aku memeluk Ayah dan memandang haru semua ini. Tak ada yang bisa kusimpulkan untuk hari ini, hanya saja hari ini adalah hari terhebat dan terbaikku, tentu saja sesuai ajaran Ayah aku harus senantiasa mengucapkan “Alhamdulillah.”
Malamnya, aku tak mampu menuangkan perasaanku pada semua orang. Akhirnya secara tak sadar kugambarkan di kertas putih tak beralaskan, sebuah tempat di mana aku dan Ayah sedang bergandeng tangan penuh kebahagiaan di setiap langkah jalan. Ayah tersenyum melihat gambar pertamaku itu, gambar yang pertanda kebahagiaan, gambar yang pertanda pula ini akan menjadi sebuah kenangan. Kenangan yang tak tergantikan oleh apapun, bahkan oleh menara eiffel sekalipun tak akan.
Sebentar lagi aku lulus SD, segala usaha dan upaya kulakukan agar tak mengecewakan. Doa selalu Ayah panjatkan, aku meng-aminkan dan Allah yang nantinya akan me-ridhokan. Malam ini. “Ayah lihat apa yang ku lukiskan, baris kerut indah wajahmu, terawang bola matamu yang memancarkan ketegaran, kelopak bola matamu yang telah menjadi saksi siang dan malam, aku ingin menjadi pelukis, menjadi seorang novelis, aku ingin membopong semua mimpimu di pundakku pula, aku ingin Ayah selalu di sampingku, Tasya sayang Ayah” kataku memeluk Ayah sambil memperlihatkan hasil lukisanku tadi siang.
Entah kenapa, tubuh Ayah seperti ditaburi percikan es dari kutub utara, sangan dingin. Aku melihat senyum seorang lelaki tua yang masih ingin berjuang demi mimpi anaknya, aku semakin memeluknya erat. Ayah hanya tersenyum diam dalam kebisuan di dinginnya malam.
Pagi harinya terjadi kecelakaan, korban kritis ditangani di rumah sakit. Orang itu bukan Diva atau Ibunya, Tepat orang itu adalah Ayahku. Aku seperti melewati lorong-lorong kegelisahan, melewati sekian dokter yang berlalu lalang. Dalam dimensi bayanganku semua tulisan bertuliskan kata Ayah. Petir menggelegar menyambar, hujan turun deras, angin seakan mengamuk dan berkecamuklah semua itu, seperti berkecamuknya perasaan dan pikiranku saat ini Ibu Diva tak bisa menghentikan tangisku.
Semua telah berakhir, Ayah telah tiada. Ayah meninggalkanku setelah aku menunjukkan lukisan terbaikku, setelah aku melihat senyum terbaiknya, setelah tadi malam aku merasakan kehangatan pelukannya. Tapi yang lalu biarlah berlalu, kini aku tinggal bersama keluarga Diva hingga tamat kuliah S1, aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di salah satu universitas terbaik di inggris.
Aku telah dewasa, tapi mimpiku masih muda, aku masih bisa melakukan dan mewujudkannya. Aku sadar, ini semua adalah takdir dan jalan Allah SWT untuk kehidupanku. Aku juga tak menyangka, aku pernah mempunyai Ayah yang hebat, Ayah yang terbaik, dan Ayah adalah paradoks terindah yang pernah diberikan yang kuasa untukku.
Tetapi, aku harus mengakui aku masih tidak percaya aku berhasil melampaui perjalanan hingga pada titik ini. Hal yang dulu rasanya tak mungkin untukku, kini benar-benar terjadi dalam hidupku. Terima kasih Allah, terima kasih Ayah dan terima kasih keluarga Diva.
TAMAT
Cerpen Karangan: Hafilda Nisma Facebook: http://facebook.com/Hafilda Nisma Nama : Hafilda Nisma kelas : X sekolah : SMAN 111 Umur : 15 tahun twitter : @Filda_nisma penulis idola : DEE LESTARI, ANDREA HIRATA, 🙂